Pemuda bertubuh tegap itu tampak tersenyum. Sesekali ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya setelah keluar dari lubang tambang sambil membawa beberapa karung bebatuan untuk diproses di mesin gelondongan dengan harapan bisa mendapatkan "bongkahan" emas seperti har-hari sebelumnya.
        Taka Maru (25), pemuda asal Desa Lekong, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa bersama tiga temannya berhasil mendapatkan tiga ons atau 300 gram emas 24 karat dari beberapa karung bebatuan yang ditambang di lokasi penambangan emas tanpa izin (PETI) di Olat (bukit) Labaong Dusun Hijrah, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa.
        Emas batangan seberat 300 gram itu kemudian dijual seharga Rp90 juta lebih. Uang hasil penjualan emas tersebut dibagi masing-masing Rp24 juta per orang.
        "Kami sedang mujur. Awalnya kami tidak menduga akan mendapat  bongkahan emas dari bebatuan itu. Setelah digelondong ternyata kandungannya cukup banyak dan ketika ditimbang beratnya mencapai 300 gram," kata pemuda pemuda berkulit legam itu.  
     Namun setelah itu empat pemuda, pelaku  penambang emas liar di Olat Labaong itu tidak lagi menemukan emas, kendati puluhan karung telah diproses.
      Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke kampungnya untuk menambang di lokasi baru di Desa Lekong, sekitar 500 meter dari tempat tinggalnya. Para penambang itu menilai situasi di lokasi PETI di Olat Labaong itu tidak lagi kondusif.
      "Kami memutuskan untuk pulang, karena di Olat Labaong terlalu ramai dan harus bersaing ketat dengan ribuan penambang lainnya, sehingga sulit menemukan bebatuan yang mengandung bijih emas," kata Taka yang sekitar satu tahun mengadu nasib di lokasi PETI di Olat Labaong.
       Kini semakin banyak 'gurandil' (penambang emas liar) yang meninggal dunia tertimbun tanah di tempat penambagan liar di Olat Labaong. Namun itu tidak menyurutkan niat ribuan penambang yang sebagian berasal dari luar NTB itu.
       Kalau Taka bersama kawan-kawannya pernah mendapatkan "bongkahan"  di Olat Labaong, nasib yang menimpa Boy (25), pemuda asal  Dusun Padak,  Desa Lalar Liang, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat itu justru memilukan.
       Boy bersama bapaknya, Ibrahim (54) yang mencoba mengadu nasib di lokasi penambangan liar di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat bernasib malang. Ia meninggal dunia tertimbun tanah longsor di "lubang maut" di lokasi penambangan liar bersama beberapa penambang lainnya.
       "Kami mencoba mengadu nasib menambang emas di Sekotong, karena menurut informasi di lokasi penambangan liar itu banyak penambang yang berhasil mendapatkan emas. Namun kami kurang beruntung, anak saya meninggal dunia bersama beberapa penambang lainnya karena tertimbun tanah di lubang tambang itu," kata Ibrahim dengan mata berkaca-kaca.
       Kisah pilu para penambang liar itu agaknya tidak hanya menimpa Boy, tetapi juga puluhan, bahkan mungkin ratusan penambang lainnya. Mereka meninggal dunia tertibun tanah  di lokasi penambangan liar.  
      Selama berlangsungnya penambangan liar di sejumlah lokasi PETI baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa telah banyak yang berhasil meraup jutaan rupiah, namun tidak sidikit yang menjadi korban tertimbun runtuhan tanah. Mereka meregang nyawa dalam lubang galian tambang liar itu.
       Fenomena penambangan liar yang kian menjamur akhir-akhir ini telah banyak menimbulkan masalah. Selain menelan korban meninggal dunia, kegiatan PETI juga menimbulkan dampak lingkungan yang cukup serius akibat penggunaan zat berbahaya, seperti merkuri atau air raksa.
       Sebagai contoh, di hanya dalam waktu  kurang lebih tiga  bulan aktivitas penambangan liar di satu titik di Olat Labaong Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa jumlah mesin penghancur bebatuan atau mesin gelondongan tidak kurang dari 400 unit.
         Selain itu penggunaan zat berbahaya juga cukup besar setiap hari menghabiskan sedikitnya dua kilogram. Ini berarti selama tiga bulan telah menghabiskan ribuan kilogram raksa yang limbahnya dibuang begitu saja di atas permukaan tanah.
         Dampak keberadaan penambangan liar di Kecamatan Sekotong, Lombok Barat dan lokasi-lokasi lainnya di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa juga tidak jauh berbeda. Kegiatan penambangan liar itu juga menimbulkan dampak ligkungan yang cukup serius akibat penggunaan zat berbahaya itu.        
      Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menertibkan  PETI, namun tampaknya belum membawa hasil yang menggembirakan. Penambangan liar kini semakin marak, bahkan semakin meluas.
       Dalam beberapa tahun ini muncul lokasi penambangan liar baru terutama di Pulau Sumbawa.
       Dalam kaitan itu Pemerintah Provinsi NTB kemudian  merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi NTB.
      Salah satu pasal yang direvisi adalah pasal 38 yang membatasi persetujuan penambangan yang diterbitkan para bupati di Pulau Lombok yang menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang berakibat pada penurunan kualitas lingkungan.
        Namun Pasal 38 Perda Nomor 11 Tahun 2006 itu mendapat penolakan terutama dari Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, karena dinilai akan menghilangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daeri sektor pertambangan.
        Regulasi itu tidak mampu menghentikan penambangan liar. Aktivitas penambangan justru kian marak. Para penambang baik warga setempat maupun yang datang dari luar NTB semakin berani melakukan  penambangan secara liar.
        Pemprov NTB menetapkan 16 Kawasan Strategis Pembangunan (KSP), salah satunya yakni zona tambang baik di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa. Dalam perda itu ditetapkan Wilayah Penambangan (WP) seluas 891.590 hektare.  
   Kekayaan alam berupa mineral tembaga, emas dan perak memang menarik minat  banyak investor untuk membuka industri pertambangan di NTB.
       
                 Potensi mineral  
     Dari hasil penyelidikan pendahuluan dan rinci sumber daya mineral golongan B telah ditemukan berupa logam mulia (emas dan perak), logam dasar (timbal dan tembaga), dan logam besi.
      Mineral  emas, perak dan tembaga yang terkandung di perut bumi NTB ini merupakan endapan hidrothermal dengan indikasi berupa urat-urat kwarsa dengan ketebalan bervariasi, serta tipe pofiri.
       Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi NTB indikasi bahan galian logam itu hampir terdapat di seluruh wilayah NTB terutama di Kabupaten Sumbawa bagian barat.
        Endapan bahan galian tembaga yang terdapat di Batu Hijau saat ini sedang ditambang PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT)  sekitar  930.000.000 ton bijih  dengan kadar 0,54 persen  atau setara dengan 5.020.000 ton tembaga.
        Sementara potensi bahan galian emas sebagai mineral ikutan dari mineral tembaga di Batu Hijau dan lima daerah prospek lainnya yaitu Dodo-Elang, Rinti, Lunyuk Utara, Teluk Panas di Pulau Sumbawa dan Sekotong di Pulau Lombok juga cukup besar.  
    Di hampir seluruh perbukitan Kabupaten Sumbawa Barat mineral tembaga dan mineral pengikutnya teridentifikasi seperti emas dan tembaga, seperti di Kecamatan Jereweh, Maluk, Brang Rea, Sateluk, Taliwang dan Sekongkang Kabupaten Sumbawa, dan Kecamatan Moyo Hilir, Lape, Meronge, Tarano, Plampang, Empang, Ropang, Lunyuk, Alas dan Utan Kabupaten Sumbawa.
        Pegunungan Olat Labaong, di Desa Hijrah, Kecamatan Lape, Kabupaten Sumbawa juga ditemukan potensi mineral tembaga, emas dan perak yang kini sedang ditambang secara tradisional oleh ribuan warga.  
   Sementara di Pulau Sumbawa bagian timur, kandungan emas dan mineral pengikutnya teridentifikasi di Kecamatan Hu'u dan Pajo Kabupaten Dompu, Kecamatan Langgudu, Sape, Lambu, Wawo, Belo, Bolo, Woha, Parado, Danggo dan beberapa kecamatan lain secara sporadis di Kabupaten Bima dan sebagian Kota Bima.
         Kilau emas di gugusan perbukitan Pulau  Sumbawa dan Lombok nampaknya menjadi magnet bagi para investor  selain potensi kekayaan mineral lain yang seperti tembaga dan perak serta bahan galian lainnya yang tersimpan di dalam perut bumi "Swarna Dwipa" NTB.
        Hingga kini cukup banyak investor yang menanamkan modalnya di sektor pertambangan. Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB menyebutkan hingga kini sudah diterbitkan  76 izin penambangan di wilayah NTB dan paling banyak di Pulau Sumbawa.
        Dari jumlah tersebut, dua diantaranya berbentuk Kontrak Karya (KK) yang diberikan kepada PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) untuk wilayah penambangan emas dan mineral ikutannya di Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, dan PT Sumbawa Timur Mining, di Kabupaten Dompu dan Bima.
       Selebihnya izin penambangan berupa Izin Usaha Penambangan (IUP) yang diberikan kepada 68 investor dan Kuasa Penambangan (KP) kepada   enan investor.
       Namun dari puluhan perusahaan yang telah mengantongi izin tersebut hingga kini baru PT Newmont Nusa Tenggara yang telah berproduksi di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa. Perusahaan tambang itu mulai berproduksi tahun 2000.
       
            Hadapi tantangan    
     Perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia termasuk NTB telah menangguk banyak keuntungan. Namun tidak sedikit permasalahan  dan kendala yang dihadapi yang jika tidak ditangani secara serius akan berdampak buruk terhadap kelangsungan usaha.
       Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara Martiono Hadianto mengatakan, berbagai permasalahan dan hambatan itu, antara lain terjadi tumpang tindih peraturan antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), demikian juga peraturan dan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah dan terlalu banyak peraturan.
       Pemberlakuan  undang-undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) juga menimbulkan permasalahan sekaligus menjadi kendala, karena undang-undang tersebut menetapkan tidak ada lagi kontrak karya, pengolahan konsentrat diharuskan di dalam negeri dan adanya pembatasan wilayah eksplorasi.
        "Penambangan liar, penentangan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kurangnya insentif infrastruktur, seperti listrik, jalan, pelabuhan, air bersih dan transportasi juga menjadi permasalahan dan kendala lain yang dihadapi insdustri pertambangan," katanya pada seminar internasioanl yang digelar bekerjasama dengan Universitas Mataram belum lama ini.
         Menurut dia, selain berbagai permasalahan kendala tersebut, industri pertambangan juga menghadai berbagai tantangan, secara mikro terkait dengan keberlanjutan pertumbuhan usaha, karena secara global penemuan cadangan emas baru telah mengalami penurunan dalam kurun waktu 30 tahun terkahir.
        Kondisi ini, menurut Martiono, memaksa perusahaan tambang untuk mencari cebakan baru di negara-negara yang kurang berkembang. Karena itu PT Newmont Nusa Tenggara akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya potensi mineral yang ada di NTB, seperti di Blok Elang, Kabupaten Sumbawa.
        "Dalam upaya mengatasi tantangan makro terkait dengan konsep keberlanjutan kita harus mampu menyelaraskan tekanan antara kebutuhan untuk mendapatkan keuntungan, keberlanjutan pertumbuhan bisnis dan tanjungjawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR)," kata Martiono yang juga Ketua Asosiasi Pertambangan Indonesia.
        Perusahaan pertambangan juga harus siap terhadap kendala kondisi yang menantang baik politik, budaya, sosial, iklim, geografi, ekologi, agama dan mampu berhasil mengatasinya.
        Industri pertambangan di tanah air termasuk di NTB nampaknya tidak pernah sepi dari berbagai persoalan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertambangan telah terbukti menunjang pertumbuhan perekonomian daerah dan geliat ekonomi masyarakat pun semakin menggembirakan.
          Menurut data Bank Indonesia (BI) Mataram tiga tahun terakhir ekonomi NTB mengalami pertumbuhan sebesar 2,63 persen tahun 2008, kemudian meningkat cukup tinggi menjadi 8,99 persen pada 2009 dan 11.30 persen tahun 2010.
        Pemimpin Bi Mataram M Junaifin mengatakan, tingginya pertumbuhan ekonomi Provinsi NTB dalam tiga tahun terakhir didorong oleh akselerasi kinerja ekspor pertambangan yang tumbuh signifikan selain kegiatan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan lembaga swasta nirlaba menunjukkan pertumbuhan yang positif.  
   
            Pertumbuhan ekonomi Tinggi
     Pertumbuhan perekonomian NTB itu yang tinggi mencapai 11,3 persen itu, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan nasional  sebesar 7,79 persen. Secara tahunan, sektor tambang mengalami pertumbuhan fantastis mencapai 41,50 persen, meningkat dibandingkan pertumbuhan periode yang sama tahun lalu yang tumbuh sebesar 35,09 persen.
       "Tingginya pertumbuhan sektor pertambangan dikonfirmasi oleh data prompt indicator jumlah produksi konsentrat tembaga yang merupakan komoditas utama sektor pertambangan yang kembali mengalami peningkatan signifikan. Sepanjang triwulan III-2010, total produksi konsentrat tembaga mencapai 287,57 ribu ton, tumbuh sebesar 25,23 persen dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 229,63 ribu ton," ujarnya.
         Industri pertambangan di NTB telah memberikan kontribusi cukup besar bagi NTB khususnya dengan kehadiran PT Newmont Nusa Tenggara yang mulai berproduksi sejak 11 tahun lalu atau mulai tahun 2000.
         Khusus tahun 2010, perusahaan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara  menyetor kewajiban keuangan kepada Pemerintah Indonesia sebesar Rp5,761 triliun selama 2010. Kewajiban keuangan kepada Pemerintah Indonesia itu berupa pajak, non-pajak dan royalti
       Senior Manajer Hubungan Eksternal PT Newmont Nusa Tenggara Arif Perdanakusumah mengatakan, kontribusi terbesar  dari Pajak Penghasilan Badan sebesar Rp4,658 triliun, disusul Pajak atas Dividen sebesar Rp636 miliar, Pajak Penghasilan Karyawan PPh 21 sebesar Rp177 miliar dan Pajak Penghasilan lainnya sebesar Rp24,3 miliar, sementara pembayaran royalti produksi selama 2010 mencapai Rp265,9 miliar.
        Kehadiran perusahan pertambangan tembaga itu juga dirasakan secara langsung masyarakat NTB terutama Kabupaten Sumbawa Barat baik yang terserap secara langsung sebagai karyawan di perusahaan tersebut maupun bagi para pengusaha lokal yang usahanya berkembang pesat dengan adanya PT Newmont Nusa Tenggara.
        Suprijo, pemuda asal Desa Lalar Liang, Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat mengaku sangat merasakan dampak kehadiran perusahaan tambang tersebut. Mulai duduk di bangku SMP ia mendapat beasiswa hingga bisa melanjutkan sekolah hingga SMA dan perguruan tinggi.
        "Saya merasa sekolah hingga sarjana dan sekarang ini bisa bekerja di perusahaan tambang ini dengan gaji yang cukup tinggi, Kalau hanya mengandalkan kemampuan sendiri mungkin kehidupan keluarga saya tidak seperti sekarang ini," ujarnya.
        Pengakuan serupa juga diutarakan Awaluddin, petani asal Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang dan sejumlah warga lainnya yang umumnya menilai kehadiran PT Newmont Nusa Tenggara telah memberikan dampak positif terhadap perekenomian keluarga terutama bagi warga lingkar tambang.
        "Sekitar tahun 1990, kehidupan petani di Sekongkang memprihatinkan. Kami sering gagal panen, karena tidak ada fasilitas irigasi yang memadai, namun kini kami bisa panen dua kali setahun dan sekali palawija," katanya.
        Selain menikmati penghasilan sebagai petani, dua anak dan menantunya juga bisa hidup mandiri secara layak, karena menjadi karyawan di PT Newmont Nusa Tenggara.
         "Dari sisi transportasi yang belasan tahun lalu hanya mengandalkan kuda, kini tinggal pilih apakah mau menggunakan bus ber-AC atau sepeda motor milik sendiri. Kehadiran perusahaan tambang itu telah mengubah kualitas hidup kami, sekarang ini warga lingkar tambang sudah bisa hidup secara layak," ujarnya.
         Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi juga menakui kehadiran perusahaan tambang tersebut memberikan dampak positif bagi perekonomian di daerah ini dan kini sebagian besar masyarakat sudah menikmati dampaknya.
        Karena itu kehadiran industri tambang di NTB kedepan diharapkan semakin meningkatkan perekonomian daerah ini agar kesejahteraan masyarakat semakin baik, namun tentunya kelestarian lingkungan juga harus tetap terjaga. (*)
    

    

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025