Mataram,  (ANTARA) - Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu provinsi dengan tingkat konflik yang cukup tinggi, bahkan proses terjadinya bervariasi, mulai dari persoalan agama, etnis, suku, adat dan budaya, pengelolaan sumber daya alam, ekonomi hingga politik.

     Data Polda NTB, sepanjang 2007 sampai Februari 2011, misalnya, tercatat 79 kali konflik komunal di provinsi ini.

     Kabupaten Lombok Barat berada di posisi teratas dengan 24 kali konflik, menyusul Lombok Tengah (20), Kabupaten Bima (14), Lombok Timur (9), Sumbawa (3) dan Dompu satu kali konflik.

     Konflik komunal yang terjadi itu berupa perkelahian antarwarga sebanyak 49 kasus dan kekerasan massa disertai  perusakan tercatat 30 kasus.

     Menurut tokoh nasional asal NTB Din Syamsuddin, penanganan konflik komunal di wilayah NTB membutuhkan pendekatan khas karena pemicu konfliknya juga dilatari persoalan khusus. 

     "Butuh pendekatan khas untuk menangani konflik komunal di NTB dan itu harus dilakukan secara terpadu," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din itu saat berkunjung ke tanah kelahirannya di Pulau Sumbawa, belum lama ini.

     Dalam pandangan Din, watak bangsa Indonesia saat ini sedang tergerus oleh zaman sehingga diperlukan instrumen untuk mengatur irama masyarakat akar rumput.

     Masyarakat Indonesia pada umumnya membutuhkan relaksasi sosial dan pemerintah perlu memfasilitasinya.

     "Mungkin yang tinggal bersama masyarakat di daerah konflik komunal itu yang lebih tahu cara penanganannya, namun penanganan konflik seperti itu harus dimulai dari penelusuran penyebab konflik kemudian dicarikan solusinya secara komprehensif," ujarnya.

     Sementara itu, Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Universitas Mataram (Unram) H.M. Natsir, mengatakan, pihaknya telah melakukan serangkaian penelitian konflik komunal di dua titik utama yang sering mencuat konflik. 

     Kedua lokasi itu yakni Desa Ketara, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, dan Desa Renda dan Desa Ngali, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima.

     Metode penelitian yang digunakan yakni kualitatif dengan pendekatan etnografi yakni dekripsi dan interpretasi budaya kelompok sosial dan masyarakat di daerah intensitas konflik itu.

    Terdapat dua parameter yang diteliti yang faktor penyebab konflik komunal itu dan upaya pihak-pihak terkait seperti pemerintah daerah, aparat kepolisian dan masyarakat setempat.

     Natsir mengatakan, dari penelitian yang dilakukan di kedua lokasi daerah konflik itu tersimpulkan bahwa konflik terjadi karena adanya suatu solidaritas mekanis masyarakat yang menyebabkan adanya solidaritas kolektif yang sempit sehingga mempermudah pecahnya konflik komunal di tengah-tengah masyarakat.

     Selain itu, kondisi masyarakat di daerah konflik itu "anomi" atau "normalessness" yakni adanya stadium masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

     "Dalam kondisi seperti itu tidak ada tokoh panutan yang didengar, dan norma-norma yang ada pada masyarakat umumnya tidak ditaati dan ditakuti, kearifan lokal seperti musyawarah dan gotong royong pun mulai ditinggalkan," ujarnya.

     Hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi seringkali karena penanganan pemicu yang lambat diantisipasi oleh aparat kepolisian karena terpaku oleh mekanisme normatif, tidak adanya kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah desa dan TNI.

    Juga tersimpulkan bahwa pemerintah cenderung hanya bertindak bak pemadam kebakaran namun tidak menyelesaikan akar masalah dari konflik tersebut, bahkan di beberapa lokasi cenderung ada proses pembiaran yang dilakukan pemerintah daerah karena masalah politik.

     Di daerah tertentu hubungan antara pemerintah daerah, kepolisian dan TNI dalam menangani konflik cenderung tidak harmonis, yang disebabkan tidak adanya suatu sistem penanganan konflik yang integral dan terpadu.

     "Masalah-masalah politik juga sering menjadi akselerator terjadinya konflik di wilayah NTB," ujar Natsir selaku Ketua Tim Peneliti Konflik Komunal di NTB.

     Lalu, apa tanggapan Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, soal konflik komunal di daerah kepemimpinannya itu?.

     Majdi, berharap hasil penelitian konflik komunal oleh peneliti Unram bersama Kepolisian Daerah NTB, tidak hanya teori.

     "Saya banyak berharap hasil penelitian itu bukan hanya sekadar teori, tetapi bermanfaat bagi masyarakat banyak," ujarnya.      

     Menurut gubernur termuda di Indonesia yang baru berusia 38 tahun itu, strategi penanganan konflik komunal itu penting, apalagi berbagai konflik komunal di NTB yang sulit diredam juga erat kaitannya dengan pola penanganan tidak komprehensif.

     "Sangat mungkin pihak-pihak yang berkewajiban menuntaskan konflik komunal itu tidak tahu cara penanganannya atau harus memulainya dari mana," ujarnya.

     Karena itu, tokoh agama kharismatik di NTB itu menekankan pentingnya pembahasan tentang akar permasalahan disertai solusi yang mengarah kepada penanggulangan masalah yang terarah dan komprehensif.

     "Siapa lakukan apa, dan bagaimana siapa itu melakukannya. Pada intinya semua pihak baik pemerintah daerah, kepolisian, TNI, akademisi, tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri harus kebagian tugas," ujarnya.



Upaya nyata

     Pemerintah Provinsi NTB telah memulai upaya pencegahan konflik sosial melalui film perekat bangsa yang berjudul Sape-Ampenan Satu Cinta.

     Film kebudayaan itu mengedepankan penanganan konflik sosial yang sering terjadi di Pulau Lombok dan Sumbawa, untuk dimaknai generasi muda penerus bangsa di wilayah itu. 

     Diyakini film Sape-Ampenan Satu Cinta mampu menjadi perekat bangsa di wilayah NTB, sehingga pemerintah setempat melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) terus berupaya menayangkannya di berbagai kesempatan.

     Film tersebut menceritakan keragaman tradisi, kultur dan agama dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah NTB atau dari Sape (ujung timur pulau Sumbawa) hingga Ampenan (ujung barat Pulau Lombok), yang dipersatukan dengan cinta dan sentuhan kemanusiaan.

     Pembuatan film perekat bangsa itu diilhami dari berbagai konflik sosial yang sering terjadi seperti di Desa Ketara Kabupaten Lombok Tengah (Pulau Lombok) dan Desa Ngali-Renda di Kabupaten Bima (Pulau Sumbawa).

     Kasus kekerasan seperti perang kampung di Ketara, Kabupaten Lombok Tengah dan di Bima, yang berujung korban tewas dan luka-luka serta kerusakan material berharga, hanya karena persoalan sepele.

     Berbagai kejadian itu merupakan bukti betapa rendahnya moral masyarakat sehingga perlu dicari ramuan perekat bangsa.

     Pembuatan film itu juga merupakan bagian dari program pengembangan kebangsaan sebagai tindaklanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.

     Di level nasional, film karya anak bangsa itu pernah ditayangkan dalam Festival Film Kearifan Lokal tahun 2010 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal (Ditjen) Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF) Kementerian Kebudayaaan dan Pariwisata (Kembudpar).   

     Kepala Disbudpar NTB Lalu Gita Aryadi, mengakui, penayangan film perekat bangsa itu harus terus dilakukan agar memotivasi generasi muda penerus bangsa untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.               

     Hanya saja, kata Aryadi, film-film perekat bangsa harus terus diproduksi seiring dengan perkembangan zaman, dan pemerintah pun harus mempermudah aturan produksi bidang perfilman.

     "Makin banyak film perekat bangsa tentu akan makin memumpuk persatuan dan kesatuan, selain menampilkan pesona dan keunggulan daerah," ujarnya.

     Aryadi menyarankan instansi terkait seperti Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika, dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri NTB juga terus memotivasi produksi film perekat bangsa lainnya selain "Sape-Ampenan Satu Cinta" yang sudah ditayangkan.

     Apalagi, Direktorat Perfilman Kembudpar tengah berupaya membenahi regulasi perfilman Indonesia seiring dengan tekad kuat pemerintah untuk terus mendukung semua upaya perbaikan di dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas film di Tanah Air.

     Upaya pemerintah itu sejalan dengan hiruk-pikuknya dunia film yang gemerlap dan selalu mengundang keingintahuan masyarakat.

     Diharapkan sikap pemerintah dalam menyikapi perkembangan film nasional terkait pajak dan dampak film asing yang sedang digalakkan, dapat menjadi bagian dari upaya lebih memperbanyak film-film perekat bangsa.

     Selain itu, potensi konflik komunal di wilayah NTB itu juga dapat dicegah dengan memperbanyak kegiatan pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan konflik.

     Rektor Unram Prof Dr H Sunarpi PhD mengatakan, sejak tahun ajaran 2010, pihaknya menerapkan program pemberdayaan mahasiswa yang mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk beraktivitas di daerah konflik baik di Pulau Lombok maupun Sumbawa.

     Unram mulai beralih dari pola KKN "pasang papan nama" ke pola tematik yang lebih banyak memberdayakan kemampuan mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat.

     "Para mahasiswa KKN diterjunkan ke lapangan untuk membantu masyarakat mengatasi persoalan yang dihadapi, atau bersama-sama mencari akar masalah yang sering memicu konflik serta mencari solusinya," ujarnya.

     Lokasi KKN di daerah konflik itu antara lain Desa Ketara, Kecamatan Pujut, atau kawasan di sekitar Bandara Internasional Lombok (BIL) di Tanah Awu, dan Desa Ngali dan Rendra, Kecamatan Belo, Kabupaten Bima.       

     Mahasiswa KKN itu mulai diterjunkan ke daerah konflik mulai 12 Juli 2010 selama tiga bulan, sedangkan gelombang kedua Januari-Maret 2011. 

     "Saya sudah yakinkan para mahasiswa yang akan KKN di daerah konflik  bahwa daerah yang akan dituju tidak berbeda dengan daerah lainnya, sehingga yang penting adalah daya adaptasi dan kemampuan mengimplementasikan pengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat," ujarnya. 

     Agaknya, selain perbanyak program pemberdayaan masyarakat di lokasi rawan konflik, alangkah baiknya film-film perekat bangsa juga ditingkatkan dan lebih sering ditayangkan. (*)

 


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025