Bogor, 11/11 (ANTARA) - Staf pengajar Institut Pertanian Bogor Dr Ricky Avenzora menyerukan semua pihak untuk apa yang disebutnya "penyelamatan IPB" dari tengarai hegemoni partai politik tertentu di k ampus perguruan tinggi itu.
"Masuk dan terbentuknya kekuatan partai politik tertentu ke kampus IPB tentu harus ditolak semua pihak, sedangkan proses penolakannya juga tidak boleh bersifat kontra produktif dengan pentingnya kesadaran untuk menegakkan 'ukhuwah' dan rasa guyub di antara warga IPB secara keseluruhan di masa kini, maupun di masa panjang," katanya di Bogor, Jawa Barat, Ahad.
Untuk itu, kata dia, sejalan dengan semakin kuatnya kegelisahan warga IPB tentang ditengarainya hegemoni Parpol tertentu dalam pemilihan Rektor IPB periode 2012-2017, maka suatu proses "penyelamatan IPB" perlu dilakukan semua pihak.
Saat ini, katanya, proses pemilihan Rektor di IPB telah masuk tahap akhir, di mana tiga nama calon rektor telah dikeluarkan melalui proses pemilihan raya maupun proses pemilihan oleh senat akademik (SA).
Mereka adalah calon petahana Prof Herry Suhardiyanto, Prof Zairin Junior dan Dr Asep Saefuddin.
Munculnya salah satu nama calon rekor yang ditengarai sebagai bagian dari hegemoni Parpol tertentu, kata dia, bagi sebagian orang mereka jadikan sebagai indikator kurang sensitif dan kurang strategisnya warga IPB dalam merajut masa depannya.
Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, malah dijadikan sebagai indikator dan bukti dari eksistensi kekuatan hegemoni Parpol itu sendiri.
Ia menyatakan, timbulnya persepsi-persepsi warga IPB tersebut adalah tidak dapat dielakkan sejalan dengan proses pemilihan yang bukan hanya jauh dari tatacara yang madani, melainkan adalah juga penuh dengan "nila yang merusak susu di belanga".
Kondisi itu, kata dia, dapat dilihat mulai dari kasus "mencuri-start" yang tampak pada baliho-baliho yang terpampang sampai dengan kasus integritas moral menyangkut NIDN (nomor induk dosen nasional) salah satu anggota majelis wali amanat (MWA) yang menjadi wakil tenaga kependidikan (bukan dosen).
"Semua itu, sampai saat ini tidak pernah dihiraukan oleh panitia pemilihan rektor (PPR). Entahlah, apakah para petinggi sedang tidak sensitif atau para petinggi sedang terpasung oleh hegemoni yang ditengarai banyak pihak," kata doktor lulusan Universitas Goettingen, Jerman itu.
Contoh buruk
Menurut Ricky Avenzora, jika keberadaaan hegomoni Parpol tertentu ini tidak bisa diselesaikan saat ini di IPB, maka jangan heran jika esok lusa IPB akan menjadi contoh buruk bagi rusaknya kampus oleh kekuatan politik.
"Logika dinamika sosial yang akan muncul adalah sangat sederhana, yaitu, 'jika partai tertentu bisa maka kenapa partai
lain tidak'. Atau 'jika telah membentuk hegemoni, maka mari kita lawan'," kata pengajar di Fakultas Kehutanan itu.'
Jika hal ini terjadi, kata dia, maka yang akan rusak adalah bukan IPB saja, melainkan modus operandi ini pasti akan menular pada berbagai kampus lainnya.
Melihat dinamika yang ada saat ini, maka secara pribadi ia menilai perlu adanya suatu gerakan "penyelamatan di IPB", baik dalam arti penyelamatan dari potensi kehancuran yang akan terjadi, maupun dalam arti "penyelamatan muka" semua pihak. "Sensitifitas dan kecerdasan warga IPB akan terlihat dan teruji melalui langkah-langkah penyelamatan yang harus dilakukan," katanya.
Sayangnya, kata dia, hingga saat ini dirinya masih belum melihat munculnya kesadaran, sensitifitas serta kecerdasan politik tersebut.
"Saat ini arus yang terlihat hanyalah masih sebatas pola-pola tindak politik praktis. Itu pun dalam logika linear yang umum. Sebagai masyarakat akademik, mestinya semua warga IPB harus mampu mengelaborasi suatu langkah politik yang memang menunjukan indikator eksistensi populasi madani dan terdidik," katanya.
Peran tersebut, kata dia, sangat diharapkan bisa muncul dari para guru dan "sesepuh" IPB, bukan saja sebagai bentuk
dari "contoh terbaik dari para guru dan senior" melainkan adalah juga sebagai bentuk "pengorbanan para guru dan senior" di usia yang telah senja.
Namun, katanya, contoh dan pengorbanan di usia senja para guru dan senior tersebut menjadi lebih sangat penting dan sangat diharapkan para generasi muda IPB saat ini, sejalan dengan belum adanya kejelasan tentang "bersih atau tidaknya" pimpinan IPB saat ini dalam kasus dugaan korupsi yang menyangkut IPB yang sedang ditelisik KPK.
Ditegaskannya bahwa praduga tidak bersalah adalah harus tetap ditegakkan. "Namun saya fikir sebagai masyarakat pendidik maka semua juga harus sepakat bahwa modus operandi 'menyembunyikan bangkai' adalah juga harus diharamkan," katanya.
Ia mengajak untuk membayangkan apa yang akan terjadi pada IPB jika pimpinan yang sedang menjabat menjadi "terenggut" oleh kasus yang sedang ditelisik oleh KPK tersebut.
"Jika hal itu terjadi, maka bukan hanya kinerja IPB yang akan terganggu ataupun nama IPB akan menjadi rusak, melainkan hakikat pendidikan yang harusnya ditegakkan oleh IPB malah menjadi ikut tercoreng dan hancur berantakan. Untuk itu, sekali lagi saya ingin berpendapat bahwa proses 'penyelamatan IPB' harus segera dilakukan," demikian Ricky Avenzora. (*)
"Masuk dan terbentuknya kekuatan partai politik tertentu ke kampus IPB tentu harus ditolak semua pihak, sedangkan proses penolakannya juga tidak boleh bersifat kontra produktif dengan pentingnya kesadaran untuk menegakkan 'ukhuwah' dan rasa guyub di antara warga IPB secara keseluruhan di masa kini, maupun di masa panjang," katanya di Bogor, Jawa Barat, Ahad.
Untuk itu, kata dia, sejalan dengan semakin kuatnya kegelisahan warga IPB tentang ditengarainya hegemoni Parpol tertentu dalam pemilihan Rektor IPB periode 2012-2017, maka suatu proses "penyelamatan IPB" perlu dilakukan semua pihak.
Saat ini, katanya, proses pemilihan Rektor di IPB telah masuk tahap akhir, di mana tiga nama calon rektor telah dikeluarkan melalui proses pemilihan raya maupun proses pemilihan oleh senat akademik (SA).
Mereka adalah calon petahana Prof Herry Suhardiyanto, Prof Zairin Junior dan Dr Asep Saefuddin.
Munculnya salah satu nama calon rekor yang ditengarai sebagai bagian dari hegemoni Parpol tertentu, kata dia, bagi sebagian orang mereka jadikan sebagai indikator kurang sensitif dan kurang strategisnya warga IPB dalam merajut masa depannya.
Sedangkan bagi sebagian orang lainnya, malah dijadikan sebagai indikator dan bukti dari eksistensi kekuatan hegemoni Parpol itu sendiri.
Ia menyatakan, timbulnya persepsi-persepsi warga IPB tersebut adalah tidak dapat dielakkan sejalan dengan proses pemilihan yang bukan hanya jauh dari tatacara yang madani, melainkan adalah juga penuh dengan "nila yang merusak susu di belanga".
Kondisi itu, kata dia, dapat dilihat mulai dari kasus "mencuri-start" yang tampak pada baliho-baliho yang terpampang sampai dengan kasus integritas moral menyangkut NIDN (nomor induk dosen nasional) salah satu anggota majelis wali amanat (MWA) yang menjadi wakil tenaga kependidikan (bukan dosen).
"Semua itu, sampai saat ini tidak pernah dihiraukan oleh panitia pemilihan rektor (PPR). Entahlah, apakah para petinggi sedang tidak sensitif atau para petinggi sedang terpasung oleh hegemoni yang ditengarai banyak pihak," kata doktor lulusan Universitas Goettingen, Jerman itu.
Contoh buruk
Menurut Ricky Avenzora, jika keberadaaan hegomoni Parpol tertentu ini tidak bisa diselesaikan saat ini di IPB, maka jangan heran jika esok lusa IPB akan menjadi contoh buruk bagi rusaknya kampus oleh kekuatan politik.
"Logika dinamika sosial yang akan muncul adalah sangat sederhana, yaitu, 'jika partai tertentu bisa maka kenapa partai
lain tidak'. Atau 'jika telah membentuk hegemoni, maka mari kita lawan'," kata pengajar di Fakultas Kehutanan itu.'
Jika hal ini terjadi, kata dia, maka yang akan rusak adalah bukan IPB saja, melainkan modus operandi ini pasti akan menular pada berbagai kampus lainnya.
Melihat dinamika yang ada saat ini, maka secara pribadi ia menilai perlu adanya suatu gerakan "penyelamatan di IPB", baik dalam arti penyelamatan dari potensi kehancuran yang akan terjadi, maupun dalam arti "penyelamatan muka" semua pihak. "Sensitifitas dan kecerdasan warga IPB akan terlihat dan teruji melalui langkah-langkah penyelamatan yang harus dilakukan," katanya.
Sayangnya, kata dia, hingga saat ini dirinya masih belum melihat munculnya kesadaran, sensitifitas serta kecerdasan politik tersebut.
"Saat ini arus yang terlihat hanyalah masih sebatas pola-pola tindak politik praktis. Itu pun dalam logika linear yang umum. Sebagai masyarakat akademik, mestinya semua warga IPB harus mampu mengelaborasi suatu langkah politik yang memang menunjukan indikator eksistensi populasi madani dan terdidik," katanya.
Peran tersebut, kata dia, sangat diharapkan bisa muncul dari para guru dan "sesepuh" IPB, bukan saja sebagai bentuk
dari "contoh terbaik dari para guru dan senior" melainkan adalah juga sebagai bentuk "pengorbanan para guru dan senior" di usia yang telah senja.
Namun, katanya, contoh dan pengorbanan di usia senja para guru dan senior tersebut menjadi lebih sangat penting dan sangat diharapkan para generasi muda IPB saat ini, sejalan dengan belum adanya kejelasan tentang "bersih atau tidaknya" pimpinan IPB saat ini dalam kasus dugaan korupsi yang menyangkut IPB yang sedang ditelisik KPK.
Ditegaskannya bahwa praduga tidak bersalah adalah harus tetap ditegakkan. "Namun saya fikir sebagai masyarakat pendidik maka semua juga harus sepakat bahwa modus operandi 'menyembunyikan bangkai' adalah juga harus diharamkan," katanya.
Ia mengajak untuk membayangkan apa yang akan terjadi pada IPB jika pimpinan yang sedang menjabat menjadi "terenggut" oleh kasus yang sedang ditelisik oleh KPK tersebut.
"Jika hal itu terjadi, maka bukan hanya kinerja IPB yang akan terganggu ataupun nama IPB akan menjadi rusak, melainkan hakikat pendidikan yang harusnya ditegakkan oleh IPB malah menjadi ikut tercoreng dan hancur berantakan. Untuk itu, sekali lagi saya ingin berpendapat bahwa proses 'penyelamatan IPB' harus segera dilakukan," demikian Ricky Avenzora. (*)