Mataram (ANTARA) - Pejabat Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menyebutkan persoalan penagihan piutang milik Gubernur Nusa Tenggara Barat Zulkieflimansyah senilai Rp1,45 miliar kepada Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PKB NTB Hadrian Irfani masuk bidang perdata.
"Jadi, persoalan itu arahnya ke perdata. Itu yang kami temukan," kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Rabu.
Dengan temuan itu, Ely menyatakan bahwa tim pidana khusus sudah tidak lagi menangani persoalan tersebut karena arahnya perdata. "Jadi, sudah selesai penanganan di kami," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa pihaknya menangani persoalan itu pada tahun 2022 berdasarkan adanya surat perintah tugas dari Sungarpin, Kepala Kejati NTB saat itu.
"Jadi, bukan saya diam-diam, ada surat perintah tugas. Kami diminta menelusuri ada atau tidak tindak pidana dalam persoalan itu. Ternyata, tidak ada. Makanya kami sepakat dengan teman-teman (tim pidsus), arah dari persoalan itu utang-piutang," ucap dia.
Soal adanya pertemuan tim pidsus dengan anggota DPRD NTB Najamuddin Moestafa, dia menegaskan bahwa yang bersangkutan bukan menjalani pemeriksaan.
"Sebetulnya, pak dewan itu dengan kami hanya ngobrol-ngobrol. Pak Hasan (jaksa pidsus) awalnya mau ngomong dan nanya-nanya, akhirnya datanglah Pak Najam ngobrol dengan kami. Jadi, saat itu bukan pemeriksaan," ujarnya.
Pada periode Juli 2022, anggota DPRD NTB Najamuddin Moestafa mendatangi Kejati NTB. Kepada wartawan, Najamuddin mengaku memberikan klarifikasi terkait dirinya yang menerima kuasa dari Zulkieflimansyah untuk menagih piutang Rp1,45 miliar kepada Hadrian Irfani, Ketua DPW PKB NTB.
Pemberian kuasa tersebut tertuang dalam surat kuasa bernomor 388/W/Not/VII/2018 yang ditandatangani di hadapan notaris Ali Masadi di Kabupaten Lombok Timur, tertanggal 9 Juli 2018.
Dalam surat itu, posisi Zulkieflimansyah sebagai pemberi kuasa masih berstatus Anggota DPR RI. Sedangkan penerima kuasa, Najamuddin Moestafa, tertulis bekerja sebagai petani. Informasi soal surat tersebut sudah tersebar luas hingga viral di media sosial.
Mengenai pemanggilan ini, Najamuddin yang ditemui wartawan di Kejati NTB mengakui bahwa dirinya berhadapan langsung dengan Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, Ely Rahmawati.
Dia pun mengaku sudah menceritakan secara menyeluruh perihal surat kuasa tersebut kepada jaksa. Kronologis mulai dari munculnya pemberian kuasa hingga kemana dan untuk apa uang tersebut digunakan, telah dijelaskan Najamuddin kepada pihak kejaksaan.
Meskipun enggan menjelaskan kepada media, ia meminta pihak kejaksaan untuk mengusut persoalan ini, apalagi jika terdapat indikasi gratifikasi.
Ia pun meminta masyarakat untuk lebih cerdas menanggapi surat kuasa yang tersebar luas di media sosial tersebut. Penagihan piutang Rp1,45 miliar itu ditujukan bukan secara pribadi ke Hadrian Irfani, melainkan dalam statusnya sebagai Ketua DPW PKB NTB.
"Pada hari itu (9 Juli 2018) ada apa, Zul (Gubernur NTB) kan sebagai calon gubernur. Antara ketua partai dan calon gubernur. Ada transaksi. Saya tukang tagih," kata Najamuddin.
"Jadi, persoalan itu arahnya ke perdata. Itu yang kami temukan," kata Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Rabu.
Dengan temuan itu, Ely menyatakan bahwa tim pidana khusus sudah tidak lagi menangani persoalan tersebut karena arahnya perdata. "Jadi, sudah selesai penanganan di kami," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa pihaknya menangani persoalan itu pada tahun 2022 berdasarkan adanya surat perintah tugas dari Sungarpin, Kepala Kejati NTB saat itu.
"Jadi, bukan saya diam-diam, ada surat perintah tugas. Kami diminta menelusuri ada atau tidak tindak pidana dalam persoalan itu. Ternyata, tidak ada. Makanya kami sepakat dengan teman-teman (tim pidsus), arah dari persoalan itu utang-piutang," ucap dia.
Soal adanya pertemuan tim pidsus dengan anggota DPRD NTB Najamuddin Moestafa, dia menegaskan bahwa yang bersangkutan bukan menjalani pemeriksaan.
"Sebetulnya, pak dewan itu dengan kami hanya ngobrol-ngobrol. Pak Hasan (jaksa pidsus) awalnya mau ngomong dan nanya-nanya, akhirnya datanglah Pak Najam ngobrol dengan kami. Jadi, saat itu bukan pemeriksaan," ujarnya.
Pada periode Juli 2022, anggota DPRD NTB Najamuddin Moestafa mendatangi Kejati NTB. Kepada wartawan, Najamuddin mengaku memberikan klarifikasi terkait dirinya yang menerima kuasa dari Zulkieflimansyah untuk menagih piutang Rp1,45 miliar kepada Hadrian Irfani, Ketua DPW PKB NTB.
Pemberian kuasa tersebut tertuang dalam surat kuasa bernomor 388/W/Not/VII/2018 yang ditandatangani di hadapan notaris Ali Masadi di Kabupaten Lombok Timur, tertanggal 9 Juli 2018.
Dalam surat itu, posisi Zulkieflimansyah sebagai pemberi kuasa masih berstatus Anggota DPR RI. Sedangkan penerima kuasa, Najamuddin Moestafa, tertulis bekerja sebagai petani. Informasi soal surat tersebut sudah tersebar luas hingga viral di media sosial.
Mengenai pemanggilan ini, Najamuddin yang ditemui wartawan di Kejati NTB mengakui bahwa dirinya berhadapan langsung dengan Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, Ely Rahmawati.
Dia pun mengaku sudah menceritakan secara menyeluruh perihal surat kuasa tersebut kepada jaksa. Kronologis mulai dari munculnya pemberian kuasa hingga kemana dan untuk apa uang tersebut digunakan, telah dijelaskan Najamuddin kepada pihak kejaksaan.
Meskipun enggan menjelaskan kepada media, ia meminta pihak kejaksaan untuk mengusut persoalan ini, apalagi jika terdapat indikasi gratifikasi.
Ia pun meminta masyarakat untuk lebih cerdas menanggapi surat kuasa yang tersebar luas di media sosial tersebut. Penagihan piutang Rp1,45 miliar itu ditujukan bukan secara pribadi ke Hadrian Irfani, melainkan dalam statusnya sebagai Ketua DPW PKB NTB.
"Pada hari itu (9 Juli 2018) ada apa, Zul (Gubernur NTB) kan sebagai calon gubernur. Antara ketua partai dan calon gubernur. Ada transaksi. Saya tukang tagih," kata Najamuddin.