Mataram, (Antara) - Kabag Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat Fathul Gani menilai penarikan retribusi Rp1 juta melalui Peraturan Bupati Lombok Timur dari pegawai negeri sipil yang akan berpoligami tidak melanggar undang-undang.
"Perbup Lombok Timur yang mengenakan biaya Rp1 juta dar PNS yang akan berpoligami tidak melanggar undang-undang. Hanya warga masyarakat banyak yang salah menafsirkannya karena belum membaca secara utuh," kata Fathul Gani di Mataram, Rabu.
Kata dia, justru Perbup Lombok Timur yang salah satu itemnya mengenakan biaya retribusi senilai Rp1 juta , akan memberatkan bagi PNS yang ingin melakukan poligami.
Mantan Kepala Gelanggang Olahraga NTB menambahkan Perbup Lombok Timur itu tidak menjadi kontroversi jika semua pihak membaca dengan teliti dan menyeluruh isi dari peraturan tersebut.
"Intinya, masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi pemohon poligami, seperti izin dari istri pertama, izin atasan, tidak mendapatkan keturunan dan masih banyak lagi syarat yang harus dilengkapi. Jadi tidak hanya dengan membayar uang Rp1 juta diberi izin poligami," tegasnya.
Mengenai sikap Pemerintah Provinsi NTB apakah mendukung kebijakan Pemkab Lombok Timur tersebut, Gani mengaku Pemprov NTB tidak dalam kapasitas dukung mendukung, melainkan melihat sisi aturan dan undang-undang yang berlaku.
"Pada prinsipnya ini justru memberatkan PNS. Tetapi kami juga bukan dalam kapasitas dukung mendukung, melainkan ini soal aturan. Termasuk, aturan itu juga tidak melanggar aturan yang lebih tinggi. Cuman kebanyakan orang salah menafsirkan keluarnya Perbup itu," jelasnya.
IA menjelsskan Perbup ini diterbitkan, setelah Pemkab Lombok Timur melakukan koordinasi ke Pemprov NTB. Tetapi, jika itu juga dianggap melanggar, maka peraturan bupati tersebut akan dengan sendirinya dinyatakan gugur.
"Arti kata bisa saja Kementerian Dalam Negeri menganulir peraturan itu, jika dianggap melanggar peraturan yang lebih tinggi diatasnya. Tapi sebenarnya persoalan ini juga sudah di atur dalam PP 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS," jelasnya.
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, juga bersikeras akan tetap mempertahankan peraturan bupati tentang membolehkan poligami bagi PNS meskipun ditentang Kementerian Dalam Negeri.
Wakil Bupati Lombok Timur, Khairul Warisin, menyatakan pemungutan uang senilai Rp1 juta sebagai biaya retribusi yang harus dikeluarkan oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang akan melakukan poligami, tetap diberlakukan.
Sebab, kata dia, uang poligami sebesar Rp1 juta itu dimaksudkan sebagai denda yang harus dikeluarkan PNS yang tetap nekad berpoligami. Uang itu, bukan semata-semata menghimpun dana untuk menambah pendapatan asli daerah , melainkan sebagai penjera.
"Jadi biaya sebesar Rp1 juta itu murni sebagai denda bagi PNS yang akan menikah lagi," katanya.
Ia menjelaskan, Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 Tahun 2014 itu sudah sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang sumber pendapatan asli daerah lainnya yang sah.
Oorang nomor dua di kabupaten tersebut menegaskan biaya Rp1 juta merupakan persyaratan terakhir setelah semua persyaratan lainnya sudah dipenuhi PNS untuk berpoligami.
Apa yang dilakukan Pemkab Lombok Timur, tidak lain dimaksudkan semata-mata untuk mencegah agar para PNS untuk tidak berpoligami.
Hanya, katanya, karena peraturan tersebut tidak dibaca secara utuh dan runtun, maka seolah-olah bertentangan dengan undang-undang.
"Perbup Lombok Timur yang mengenakan biaya Rp1 juta dar PNS yang akan berpoligami tidak melanggar undang-undang. Hanya warga masyarakat banyak yang salah menafsirkannya karena belum membaca secara utuh," kata Fathul Gani di Mataram, Rabu.
Kata dia, justru Perbup Lombok Timur yang salah satu itemnya mengenakan biaya retribusi senilai Rp1 juta , akan memberatkan bagi PNS yang ingin melakukan poligami.
Mantan Kepala Gelanggang Olahraga NTB menambahkan Perbup Lombok Timur itu tidak menjadi kontroversi jika semua pihak membaca dengan teliti dan menyeluruh isi dari peraturan tersebut.
"Intinya, masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi pemohon poligami, seperti izin dari istri pertama, izin atasan, tidak mendapatkan keturunan dan masih banyak lagi syarat yang harus dilengkapi. Jadi tidak hanya dengan membayar uang Rp1 juta diberi izin poligami," tegasnya.
Mengenai sikap Pemerintah Provinsi NTB apakah mendukung kebijakan Pemkab Lombok Timur tersebut, Gani mengaku Pemprov NTB tidak dalam kapasitas dukung mendukung, melainkan melihat sisi aturan dan undang-undang yang berlaku.
"Pada prinsipnya ini justru memberatkan PNS. Tetapi kami juga bukan dalam kapasitas dukung mendukung, melainkan ini soal aturan. Termasuk, aturan itu juga tidak melanggar aturan yang lebih tinggi. Cuman kebanyakan orang salah menafsirkan keluarnya Perbup itu," jelasnya.
IA menjelsskan Perbup ini diterbitkan, setelah Pemkab Lombok Timur melakukan koordinasi ke Pemprov NTB. Tetapi, jika itu juga dianggap melanggar, maka peraturan bupati tersebut akan dengan sendirinya dinyatakan gugur.
"Arti kata bisa saja Kementerian Dalam Negeri menganulir peraturan itu, jika dianggap melanggar peraturan yang lebih tinggi diatasnya. Tapi sebenarnya persoalan ini juga sudah di atur dalam PP 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS," jelasnya.
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, juga bersikeras akan tetap mempertahankan peraturan bupati tentang membolehkan poligami bagi PNS meskipun ditentang Kementerian Dalam Negeri.
Wakil Bupati Lombok Timur, Khairul Warisin, menyatakan pemungutan uang senilai Rp1 juta sebagai biaya retribusi yang harus dikeluarkan oleh PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur yang akan melakukan poligami, tetap diberlakukan.
Sebab, kata dia, uang poligami sebesar Rp1 juta itu dimaksudkan sebagai denda yang harus dikeluarkan PNS yang tetap nekad berpoligami. Uang itu, bukan semata-semata menghimpun dana untuk menambah pendapatan asli daerah , melainkan sebagai penjera.
"Jadi biaya sebesar Rp1 juta itu murni sebagai denda bagi PNS yang akan menikah lagi," katanya.
Ia menjelaskan, Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 Tahun 2014 itu sudah sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang sumber pendapatan asli daerah lainnya yang sah.
Oorang nomor dua di kabupaten tersebut menegaskan biaya Rp1 juta merupakan persyaratan terakhir setelah semua persyaratan lainnya sudah dipenuhi PNS untuk berpoligami.
Apa yang dilakukan Pemkab Lombok Timur, tidak lain dimaksudkan semata-mata untuk mencegah agar para PNS untuk tidak berpoligami.
Hanya, katanya, karena peraturan tersebut tidak dibaca secara utuh dan runtun, maka seolah-olah bertentangan dengan undang-undang.