Mataram (ANTARA) - Terdakwa korupsi program penyaluran bantuan Sarana Produksi (Saprodi) dan Cetak Sawah Baru Tahun Anggaran 2016 pada Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima, Muhammad mengajukan diri sebagai "Justice Collaborator" di persidangan.
"Saya sudah siap, sehingga saya berani mengajukan diri sebagai 'Justice Collaborator'," kata Muhammad ketika hadir sebagai saksi untuk terdakwa pertama, M Tayeb di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin.
Baca juga: Terdakwa korupsi saprodi ungkapkan dokumen pengiriman uang ke Bupati Bima
Baca juga: Bupati Bima tantang terdakwa ungkap bukti terima Rp250 juta di persidangan
Muhammad di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Gede Hariadi, turut menyampaikan alasan mengajukan diri sebagai "Justice Collaborator". Dia pun menyatakan dirinya tidak pernah terlibat dalam program tersebut.
"Saya di sini menjadi korban, karena barang saprodi dipesan tanpa sepengetahuan saya. Barang itu dipesan sebelum saya menjabat," ujarnya.
Apalagi persoalan penagihan pembayaran untuk barang saprodi yang sudah dua bulan berada di Gudang Desa Teke.
Dia mengaku kaget adanya hal tersebut saat Abdul Rauf selaku perwakilan perusahaan penyedia saprodi dari CV Mitra Agro Santosa melakukan penagihan.
"Permintaan pembayaran yang dilakukan oleh Abdul Rauf itu katanya atas pesanan Kepala Dinas M. Tayeb," ucap dia.
Muhammad pun mengonfirmasi kepada M. Tayeb. Dia pun mendapat perintah dari M. Tayeb untuk melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa.
"Saya sempat menegur M. Tayeb bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan aturan pelaksanaan, tetapi karena perintahnya tetap demikian, sebagai bawahan, saya harus ikuti," ujarnya.
Bahkan, dalam pertemuan awal Abdul Rauf menawarkan jatah proyek Rp1,5 miliar untuk Muhammad dan dua terdakwa lain, yakni M. Tayeb dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Terkait tawaran itu pun, Muhammad meyakinkan dirinya menolak dan meminta agar uang Rp1,5 miliar dikembalikan ke kelompok tani.
"Karena itu hak para petani, makanya saya suruh dia untuk kembalikan ke petani," ujarnya.
Dia pun menjabarkan perihal adanya uang yang diterima dari kepala UPT dengan total Rp7 miliar. Karena adanya penagihan dari CV Mitra Agro Santosa, Muhammad melunasi barang yang ada di gudang tersebut dengan menyerahkan Rp3 miliar kepada Abdul Rauf dan sejumlah pengusaha lokal Bima Rp3 miliar.
"Dari uang tersebut saya juga berikan ke Abdul Rauf untuk diberikan ke Bupati senilai Rp250 juta dan ke CV Mitra Agro Santosa senilai Rp200 juta," ujarnya.
Lebih lanjut, majelis hakim yang menerima pengajuan diri Muhammad sebagai "Justice Collaborator", menyatakan masih akan melakukan kajian dan pertimbangan terlebih dahulu.
"Kita (majelis hakim) terima dahulu surat pernyataan diri sebagai JC Muhammad. Nanti akan kita sampaikan untuk proses lebih lanjut," kata Ariadi.
Diketahui pada tahun 2016 pemerintah Kabupaten Bima mendapat program cetak sawah baru dan bantuan saprodi dari APBN dengan dana Rp14,4 miliar untuk 241 kelompok tani. Rinciannya 83 kelompok tani mendapat Rp5,6 miliar dan 158 kelompok tani lainnya Rp8,9 miliar.
Dana tersebut dicairkan dalam dua tahap yakni pertama sebesar Rp70 persen dengan nilai Rp10,1 miliar. Kemudian pada tahap kedua sebesar 30 persen atau senilai Rp4,1 miliar. Namun, dana bantuan itu tercatat hanya dicairkan kepada 241 kelompok tani dengan nilai Rp9,3 miliar. Akibatnya, muncul kerugian negara Rp5,1 miliar berdasarkan hasil audit BPKP perwakilan NTB.
"Saya sudah siap, sehingga saya berani mengajukan diri sebagai 'Justice Collaborator'," kata Muhammad ketika hadir sebagai saksi untuk terdakwa pertama, M Tayeb di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin.
Baca juga: Terdakwa korupsi saprodi ungkapkan dokumen pengiriman uang ke Bupati Bima
Baca juga: Bupati Bima tantang terdakwa ungkap bukti terima Rp250 juta di persidangan
Muhammad di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Gede Hariadi, turut menyampaikan alasan mengajukan diri sebagai "Justice Collaborator". Dia pun menyatakan dirinya tidak pernah terlibat dalam program tersebut.
"Saya di sini menjadi korban, karena barang saprodi dipesan tanpa sepengetahuan saya. Barang itu dipesan sebelum saya menjabat," ujarnya.
Apalagi persoalan penagihan pembayaran untuk barang saprodi yang sudah dua bulan berada di Gudang Desa Teke.
Dia mengaku kaget adanya hal tersebut saat Abdul Rauf selaku perwakilan perusahaan penyedia saprodi dari CV Mitra Agro Santosa melakukan penagihan.
"Permintaan pembayaran yang dilakukan oleh Abdul Rauf itu katanya atas pesanan Kepala Dinas M. Tayeb," ucap dia.
Muhammad pun mengonfirmasi kepada M. Tayeb. Dia pun mendapat perintah dari M. Tayeb untuk melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa.
"Saya sempat menegur M. Tayeb bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan aturan pelaksanaan, tetapi karena perintahnya tetap demikian, sebagai bawahan, saya harus ikuti," ujarnya.
Bahkan, dalam pertemuan awal Abdul Rauf menawarkan jatah proyek Rp1,5 miliar untuk Muhammad dan dua terdakwa lain, yakni M. Tayeb dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Terkait tawaran itu pun, Muhammad meyakinkan dirinya menolak dan meminta agar uang Rp1,5 miliar dikembalikan ke kelompok tani.
"Karena itu hak para petani, makanya saya suruh dia untuk kembalikan ke petani," ujarnya.
Dia pun menjabarkan perihal adanya uang yang diterima dari kepala UPT dengan total Rp7 miliar. Karena adanya penagihan dari CV Mitra Agro Santosa, Muhammad melunasi barang yang ada di gudang tersebut dengan menyerahkan Rp3 miliar kepada Abdul Rauf dan sejumlah pengusaha lokal Bima Rp3 miliar.
"Dari uang tersebut saya juga berikan ke Abdul Rauf untuk diberikan ke Bupati senilai Rp250 juta dan ke CV Mitra Agro Santosa senilai Rp200 juta," ujarnya.
Lebih lanjut, majelis hakim yang menerima pengajuan diri Muhammad sebagai "Justice Collaborator", menyatakan masih akan melakukan kajian dan pertimbangan terlebih dahulu.
"Kita (majelis hakim) terima dahulu surat pernyataan diri sebagai JC Muhammad. Nanti akan kita sampaikan untuk proses lebih lanjut," kata Ariadi.
Diketahui pada tahun 2016 pemerintah Kabupaten Bima mendapat program cetak sawah baru dan bantuan saprodi dari APBN dengan dana Rp14,4 miliar untuk 241 kelompok tani. Rinciannya 83 kelompok tani mendapat Rp5,6 miliar dan 158 kelompok tani lainnya Rp8,9 miliar.
Dana tersebut dicairkan dalam dua tahap yakni pertama sebesar Rp70 persen dengan nilai Rp10,1 miliar. Kemudian pada tahap kedua sebesar 30 persen atau senilai Rp4,1 miliar. Namun, dana bantuan itu tercatat hanya dicairkan kepada 241 kelompok tani dengan nilai Rp9,3 miliar. Akibatnya, muncul kerugian negara Rp5,1 miliar berdasarkan hasil audit BPKP perwakilan NTB.