oleh Rini Utami

Jakarta (ANTARA) - Rabu pagi itu, Ria tak pernah menyangka akan menerima kabar buruk tentang ayahnya Kapten POM Heri Kasmiadi.

Ayahnya yang berangkat ke Makassar menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules A-1325, dikabarkan meninggal dunia, bersama puluhan orang lainnnya.

"Sekali, kami sekeluarga tidak menyangka," kata adik ipar Heri, Tejo Mulio usai menghadiri pernikahan Ria putri sulung almarhum dengan pria pujaanya, Anshar.

Ria, putri sulung Heri, langsung memajukan tanggal pernikahannya begitu mengetahui sang ayah telah berpulang. Rencananya, pernikahan Ria dan Anshar digelar pada November 2009.

Heri meninggalkan seorang istri, dua orang putri (Ria dan Putri), serta dua orang putra (Arif dan Yoyo).

Pesawat angkut C-130 Hercules bernomor ekor A-1325 tinggal landas dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta sekitar pukul 05.10 WIB dengan tujuan Madiun, Makassar, Kendari, Patimura, dan Biak, melaksanakan tugas rutin sebagai angkutan udara militer.

Namun, sekitar satu jam lebih kemudian, pesawat berawak 11 orang 98 penumpang yang terdiri atas 88 orang dewasa dan 10 anak-anak dikabarkan jatuh di desa Keplak, Kecamatan Karas Kabupaten Madiun dan menewaskan 98 orang.

Kecelakaan yang terjadi tepat pada Hari Kebangkitan Nasional itu, merupakan kecelakaan kedua kali pada 2009, sejak pesawat sejenis tergelincir di Bandara Wamena, 11 Mei.

"Hercules" adalah putra Dewa Zeus dan "putra sang dewa" itu jatuh tepat pada peringatan 101 tahun Kebangkitan Nasional yakni 20 Mei 2009. Hari dimana seharusnya bangsa ini makin membulatkan tekad, untuk bangkit dari segala keterpurukan dan keterbatasan, menjadi bangsa yang benar-benar besar, disegani dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain.



Tangguh



Ketertarikan Indonesia untuk memiliki pesawat angkut berat C-130 Hercules tercetus saat Presiden Soekarno melakukan lawatan ke Amerika Serikat pada 1959 dan bertemu Presiden John F Kennedy.

Posisi tawar Indonesia tertolong setelah Indonesia berhasil menembak jatuh Allan Lawrence Pope, pilot AUREV (AU Revolusioner). Dalam persidangan terungkap bahwa Pope adalah pilot sewaan dari CIA, fakta inilah yang dipakai Bung Karno untuk memperoleh pesawat angkut berat terbaik di zamannya.

Selang enam bulan sejak pembicaraan tersebut, para personel AURI di bawah pimpinan Letkol Udara S Tjokrodiredjo (alm) berhasil membawa sebuah pesawat C-130B Hercules dengan registrasi T-1301 berlogo segi-5 merah putih mendarat di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta, pada 1 Maret 1960.

Sejak saat itu hingga selama 15 bulan kemudian, AURI menerima C-130B yang langsung diterbangkan dari Amerika. Dalam penerbangan ferry sejauh 13.000 Nm yang semuanya dikerjakan awak AURI.

Pesawat buatan Lockheed ini terbang perdana 20 Oktober 1958 dengan empat mesin Allison T56-A-7 yang menghasilkan tenaga sebesar 4.050 Hp dan mampu terbang sejauh 3.365 kilometer pada ketinggian 41,300 kaki dengan kecepatan 334 Kts.

"Secara normal, kemampuan angkut pesawat dengan empat mesin ini sebesar 30 ton atau setara 94 paratroop dengan senjata lengkap atau 120 penumpang biasa," Marsda TNI (Purn) T Tarigan Sibero.

Indonesia mengoperasikan jenis C-130B sejak 1960 dalam dua tahap kedatangan, tahap pertama membeli langsung dari Lockheed sebanyak delapan unit C-130B dan dua KC-130B (air-refueling capability). Tahap kedua pada tahun 1975 setelah mendapat hibah dari Amerika sebanyak 3 unit C-130B bersama dengan pesawat latih jet T-33A dan helly S-58T lewat program Defense Liaison Group (DLG).

Tidak itu saja, dalam program peningkatan kemampuan AU pada 1980 didatangkan tiga unit C-130H, 7 unit C-130HS (long body), satu unit C-130 MP (maritime patrol), satu unit L-100-30 (Hercules tipe sipil untuk VIP), selain enam unit L-100-30 yang juga dioperasikan PT Merpati dan Pelita Air untuk program transmigrasi. Populasi Hercules 27 unit di Indonesia kini dioperasikan semua Skadron Udara 31/Halim dan Skadron 32/Abdurahman Saleh.

Hingga kini Indonesia memiliki sekitar satu skadron C-130 Hercules berbagai tipe, yakni C-130 Hercules VIP, C-130 H/HS, C-130 B/H dan C-130 BT dengan tingkat rata-rata kesiapan 60 persen atau sekitar sembilan unit.

Meskipun telah puluhan tahun, TNI AU tetap menggunakan dan memelihara C-130 Hercules melalui perawatan terjadwal service life extension programmed (SLEP), inspection repair as necessary (IRAN), dan program retrofit dengan biaya 51 juta dollar AS untuk empat pesawat agar dapat bertugas lebih lama lagi yakni sekitar 15 tahun.

Banyak kenangan tugas yang pernah dilaksanakan dengan pesawat ini. Mulai penerjunan pasukan saat operasi Trikora, Dwikora, Seroja, hingga mengangkut kuda dari Kazakstan. Juga mengangkut kendaraan RI-1 ke Kolombia dan Amerika, mengambil rudal Rapier dari Inggris, membawa semen ke Wamena.

Hampir tidak ada tugas tanpa melibatkan Hercules, baik itu tugas militer, sosial, budaya ataupun ritual. Bahkan empat jenazah VVIP (Bung Karno, Sultan Hamengku Buwono IX, Ibu Tien Soeharto, dan Pak Soeharto) menggunakan jasa pesawat ini pula dalam menuju peristirahatan terakhir.

Hingga kini, dunia hanya mencatat empat jenis pesawat yang mampu beroperasi hingga 50 tahun selain C-130 Hercules. Lainnya adalah pembom B-52 Stratofortress, pembom PR-9 Canberra, serta TU-95 Bear.



Anggaran



Jatuhnya pesawat C-130 Hercules yang menewaskan puluhan awak dan penumpang pesawat pagi itu, tak pelak menimbulkan perdebatan klasik seputar kelaikan pesawat, dikaitkan dengan perawatan dan pemeliharaan pesawat, ketersediaan suku cadang, serta kepiawaian pilot dan kru pesawat.

"Ini semua memang tidak bisa dilepaskan dari masalah anggaran, untuk pemeliharaan dan perawatan," kata Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.

Idealnya, untuk pemeliharaan dan perawatan dananya sekitar 20 hingga 25 persen dari alokasi anggaran yang ada. Sekarang nyatannya hanya dibawah sepuluh persen, ungkapnya.

Seperti diketahui, anggaran pertahanan pada TA 2009 hanya Rp35 triliun atau lebih kecil dibanding TA 2008 yang mencapai Rp36 triliun.

Pengamat militer Andi Widjojanto mengatakan, dibandingkan PDB selama lima tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia paling rendah di antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).

"Alokasi anggaran pertahanan rata-rata per tahun masih di bawah satu persen Produk Domestik Bruto (PDB), dan atau bawah negara-negara Asia Tenggara yang memiliki anggaran pertahanan di atas dua persen PDB," ujarnya.

Sedangkan, sebagian besar alat utama sistem senjata militer Indonesia sudah berusia diatas 30 tahun ke atas dan sudah saatnya untuk direduksi.

"Alangkah baiknya jika memang dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, Indonesia tidak akan menghadapi ancaman perang terbuka, pemerintah secara berani melakukan perbaikan di bidang militernya," ujarnya.

Mulai dari yang paling mendasar, menaikkan kesejahteraan prajurit dan mereduksi serta mengganti persenjataan lama dengan yang baru, kata Andi. "Bagaimana pun ini menyangkut kedaulatan dan eksistensi bangsa dan negara Indonesia," ujarnya.

Tak itu saja, selain menurunkan tingkat kesiapan alat utama sistem senjata, kecelakaan yang terjadi pada kendaraan tempur militer, dapat mengakibatkan mental prajurit turun. "Sangat manusiawi, jika ada pilot yang tidak mau terbang dengan kondisi pesawat yang apa adanya, dan ini nyata terjadi," ujar salah seorang perwira militer Indonesia.

Menumbuhkan mental prajurit yang siap tempur dan profesional, bukan perkara mudah. "Karenanya tak ada cara lain, selain meningkatkan kesejahteraan prajurit, dilengkapi persenjataan yang memadai dan siap tempur," ujarnya.

Kekuatan militer bukan satu-satunya faktor agar bangsa ini bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalannya. Tetapi bukan berarti tampilan kekuatan militer, bisa dihadirkan apa adanya karena alasan keterbatasan anggaran, membiarkan "sayap-sayap tanah air" satu per satu gugur tanpa makna, untuk bisa bangkit kembali.(*)


Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025