Beijing (ANTARA) - Ekonom yang juga pemenang Nobel Ekonomi asal Amerika Serikat, Paul Krugman, menuliskan opini berjudul "China's Economy Is in Serious Trouble" (Ekonomi China Ada dalam Masalah Serius) di koran The New York Times edisi 18 Januari 2024.

Krugman menyebut tampaknya perekonomian China sedang terpuruk. Bahkan statistik resmi, menurut Krugman, menunjukkan perekonomian China berada di bawah performa terbaiknya, kecuali tingkat pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,2 persen.

China, disebut Krugman, mengalami apa yang dinamakan "deflasi ala Jepang" dan tingginya angka pengangguran di kalangan kaum muda. Hal tersebut bisa terjadi karena China memasuki era stagnasi.

Mengapa hal itu dapat terjadi? Krugman menyebut salah satu alasannya adalah kepemimpinan Presiden Xi Jinping yang mulai terlihat seperti manajer ekonomi yang buruk, cenderung melakukan intervensi sewenang-wenang sehingga menghambat inisiatif swasta.

Alasan lainnya adalah model perekonomian China tidak stabil. Krugman menilai persentase belanja rumah tangan di China terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat rendah. Penyebabnya adalah bunga bank sehingga menekan pendapatan rumah tangga dan mengalihkan dana ke investasi yang dikontrol pemerintah.

Penyebab lain adalah kurangnya jaring pengaman sosial sehingga masyarakat harus menabung banyak untuk dana darurat.

Dengan rendahnya belanja rumah tangga, bagaimana negara dapat menciptakan permintaan agar produktivitas berjalan? China, kata Krugman, mendorong investasi ke level yang sangat tinggi yaitu lebih dari 40 persen PDB. Masalahnya, sulit untuk menginvestasikan uang sebanyak itu ketika profit semakin berkurang.

Investasi dapat berkelanjutan, menurut Krugman, bila populasi angkatan kerja tinggi dan produktif. Masalahnya, pertumbuhan populasi China mengalami tren penurunan dan produktivitas secara keseluruhan tampak mengalami stagnasi.

Dalam kasus China, kata Krugman, pemerintah mampu menutupi masalah rendahnya belanja rumah tangga selama beberapa tahun dengan mendorong gelembung sektor properti. Faktanya, sektor properti China menjadi sangat besar dan gelembung tersebut akhirnya pecah.

Bagi pengamat luar, Krugman menyebut, apa yang harus dilakukan China mudah: tekanan finansial dan menyalurkan lebih banyak pendapatan negara ke rumah tangga dan memperkuat jaring pengaman sosial sehingga masyarakat tidak merasa perlu menyimpan uang serta mengurangi pengeluaran investasi yang tidak berkelanjutan.


PDB dan ekspor-impor

Dalam sepekan terakhir (12-18 Januari 2024) berbagai badan pemerintah di China menyampaikan laporan mereka soal kinerja perekonomian China.

Biro Statistik Nasional (NBS) China merilis data PDB China tumbuh sebesar 5,2 persen pada 2023. PDB negara Tirai Bambu itu pada 2023 mencapai 126,06 triliun yuan (sekitar 17,71 triliun dolar AS) pada 2023 dibanding PDB 2022 yang berada di angka 120.4724 triliun yuan (sekitar 17,01 triliun dolar AS).

Menurut NBS, konsumsi dalam negeri berkontribusi pada 82,5 persen pertumbuhan PDB dengan penjualan ritel barang konsumsi meningkat 7,2 persen menjadi lebih dari 47,15 triliun yuan (sekitar 6,6 triliun dolar AS) sedangkan ritel jasa konsumsi meningkat 20 persen.

Belanja barang tersebut, antara lain, untuk belanja pakaian, makanan, maupun minyak yang dapat dikonsumsi. Belanja perhiasan, peralatan olahraga, dan hiburan juga tampak meningkat.

Penjualan ritel daring di China pada 2023 mencapai 15,43 triliun yuan atau naik 11 persen (yoy), sedangkan sektor makanan jadi dan restoran mencapai 5,29 triliun yuan (tumbuh 20,4 persen yoy).

Sementara General Administration of Customs of China (GACC atau Bea Cukai China) dalam konferensi pers mengatakan nilai ekspor-impor China pada 2023 mencapai 41,76 triliun yuan (sekitar 5,88 triliun dolar AS) atau naik 0,2 persen dibanding tahun 20222 (year on year). Rinciannya ekspor sebesar 23,77 triliun yuan atau naik 0,6 persen (yoy) dan impor turun 0,3 persen (yoy) menjadi 17,99 triliun yuan.

Bea Cukai China mencatat ekspor dan impor dilakukan oleh lebih dari 600 ribu perusahaan, 556 ribu adalah perusahaan swasta yang mencatat 22,36 triliun yuan (53,5 persen) dari total ekspor-impor. Adapun BUMN China mencatat ekspor-impor sebesar 6,68 triliun yuan (16 persen), sisanya yaitu 30,2 persen adalah perusahaan asing yang beroperasi di China dengan nilai 12,61 triliun yuan.

Lima komoditas ekspor terbesar adalah produk minyak olahan, telepon seluler, baja, sirkuit terpadu (integrated circuit atau IC), dan suku cadang mobil yang menyumbang 55 persen dari total nilai ekspor.

Sementara, impor didominasi biji-bijian, minyak mentah, gas alam, dan pesawat terbang menyumbang lebih dari separuh total impor.

Juru Bicara sekaligus Direktur Jenderal Departemen Statistik dan Analisis GACC Lyu Daliang mengakui pada 2023 pemulihan ekonomi dunia masih lemah, kinerja perdagangan global secara keseluruhan masih lesu dan lemahnya permintaan eksternal itu berdampak langsung pada ekspor China.

"Dilihat dari angkanya, laju pertumbuhan ekspor China lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, kita juga harus memperhatikan bahwa ekspor China mencapai titik tertinggi baru, tidak hanya mencapai pertumbuhan volume tetapi juga menjaga stabilitas secara keseluruhan," kata Lyu Daliang dalam konferensi pers.

Lyu, mengutip data WTO, pangsa pasar internasional ekspor China tetap tinggi pada 2023 yaitu sekitar 14 persen.

"Pangsa pasar China tetap stabil pada 2023. Dapat dikatakan, 'kue ekonomi' kami tidak berkurang, dan daya saing kami secara keseluruhan tetap solid," ungkap Lyu.

Lyu juga menyebut ekspor merek-merek China tetap meningkat secara signifikan. Ekspor merek China tumbuh 9,3 persen pada 2023 dan pangsa pasarnya meningkat 1,7 persen. Produk-produk itu diekspor ke lebih dari 200 negara.

Pada 2023, Lyu mencatat ekspor industri manufaktur mencapai 13,47 triliun yuan. Khususnya industri otomotif dan pembuatan kapal.

"Pada saat yang sama, proteksionisme dan unilateralisme juga memberi dampak pada ekspor dan produk kami menghadapi berbagai kesulitan. Namun, jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, berkat dukungan kebijakan, kekuatan industri, dan upaya kolektif berbagai pemangku kepentingan, ekspor China siap untuk semakin memperkuat keunggulan kompetitif mereka. Kami yakin dengan ekspor China," ungkap Lyu.


Rencana 2024

Selanjutnya National Development and Reform Commission (NDRC atau Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional) yang melakukan perencanaan dan manajemen makroekonmi China mengatakan pada 2024 China akan mengembangkan titik pertumbuhan konsumsi baru seperti smart homes, acara-acara olahraga, penggunaan produk dalam negeri, dan barang-barang bergaya China (China-chic).

NDRC menyebut pemerintah akan meningkatkan belanja barang-barang bernilai besar dan memperbaiki faktor pendorong konsumsi, memperluas investasi yang efektif, memberikan dukungan lebih banyak kepada bidang teknologi inti, infrastruktur baru, konservasi energi, dan dekarbonasi.

Upaya lainnya adalah NDRC akan mendorong legislasi undang-undang untuk mendorong pengembangan sektor swasta dan memberikan kesetaraan status antara perusahaan milik negara dan swasta di undang-undang.

Wakil Sekretaris Jenderal NDRC Yuan Da mengatakan NDRC akan bertindak untuk memastikan penerapan kebijakan yang mendukung sektor swasta, mendorong lebih banyak investasi swasta dalam proyek-proyek penting di negara dan mendukung perusahaan swasta dalam melakukan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi utama dan inti.

NDRC juga akan melakukan upaya agar suara pemilik perusahaan swasta didengar dan masalah mereka diselesaikan.

Penguatan perusahaan swasta tersebut dilakukan untuk menunjang salah satu fokus ekonomi China yaitu kendaraan energi baru (new energy vechicle atau NEV).

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi (MIIT), China mengekspor 4,91 juta kendaraan pada 2023. Ekspor itu tumbuh 57,9 persen dibanding 2022. Dari jumlah tersebut ada 1,2 juta NEV yang diekspor atau bertambah 77,6 persen.

Bila NEV digabungkan dengan baterai litium-ion dan baterai tenaga surya (pemerintah China menyebut ketiganya sebagai new three) maka totalnya melampaui 1,06 triliun yuan. Pemerintah China mencatat momentum ekspor itu mencerminkan pergeseran dari "Made in China" menjadi "Created in China".

Untuk kebijakan investasi, NDRC dan badan lainnya berjanji akan merevisi daftar negatif nasional mengenai investor yang tidak boleh masuk ke China dan menghapus semua batasan masuknya investasi asing di sektor manufaktur.

Investasi juga akan difokuskan pada sektor yang efektif dan potensial seperti teknologi, konservasi energi dan dekarbonisasi.


Pengangguran dan properti

Dua hal yang juga dibahas Paul Krugman dalam analisisnya adalah soal angka angkatan kerja di China.

Pada Januari 2024, pemerintah China kembali membuka data pengangguran setelah sejak Juni 2023 tidak lagi merilisnya.

Angka pengangguran di perkotaan menurut NBS mencapai 5,2 persen pada 2023 atau turun 0,4 poin dibanding pada 2022.

Saat ini NBS memperkenalkan kategori baru dalam survei di 31 kota besar di China yaitu kategori usia 16-24 tahun angka pengangguran mencapai 14,9 persen, usia 25-29 tahun angkanya 6,1 persen dan 30-59 tahun mencapai 3,9 persen.

"Kami telah mengecualikan pelajar ketika mensurvei pengangguran di kelompok usia 16-24 tahun dan baru membuat kelompok usia 25-29 yang tidak menyertakan pelajar untuk mencerminkan situasi pengangguran di kalangan generasi muda dengan lebih akurat," Kepala NBS China Kang Yi.

Ia menambahkan bahwa pelajar menyumbang lebih dari 60 persen penduduk perkotaan berusia antara 16-24 tahun pada 2023. Data pengangguran untuk kelompok usia 25-29 tahun ditambahkan agar dapat menunjukkan iklim kerja bagi generasi muda di tahun-tahun setelah kelulusan.

Jumlah lapangan kerja baru yang diciptakan di perkotaan antara Januari dan November 2023 meningkat menjadi 11,8 juta, naik sekitar 350.000 (yoy).

Meski ada tekanan pada pasar kerja pada 2024, Kang menyebut iklim ketenagakerjaan diperkirakan akan tetap stabil seiring dengan meningkatnya kondisi yang mendukung.

Sedangkan mengenai sektor properti, data NBS menunjukkan terjadinya penurunan harga rumah pada Desember 2023.

Data menunjukkan di empat kota tingkat pertama, yaitu Beijing, Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen, harga rumah baru turun 0,4 persen sementara harga rumah yang dijual kembali turun 1,1 persen pada Desember 2023, sementara kota-kota kecil melaporkan penurunan harga sebesar 1,8 persen.

Seperti dalam laporan lembaga pemeringkat Standard & Poor's Global Ratings, model pertumbuhan ekonomi China tampaknya telah beralih dari model yang didorong oleh ekspor dan investasi menjadi konsumsi dan inovasi teknologi, proses besar yang memakan waktu sekitar 1 abad bagi negara-negara Barat namun hanya butuh beberapa dekade bagi China.

Pada pertengahan tahun 2000-an, pertumbuhan produksi baja mencapai puncaknya yaitu sebesar 30 persen, namun saat ini angka tersebut melambat bahkan cenderung.

Dalam 2-3 dekade, China mengejar negara-negara Barat menjadi pemimpin dalam teknologi dan inovasi mutakhir, misalnya, dalam kendaraan listrik (EV), baik dalam hal produksi maupun konsumsi. Penjualan EV di China meningkat jauh lebih pesat dibandingkan AS dan negara-negara pengguna kendaraan listrik lainnya.

Meski ada pelambatan dalam ekspor yang juga berpengaruh ke angka pertumbuhan ekonomi China, namun negara Tirai Bambu itu tampaknya memilih metode yang "berbeda" dengan pakem negara-negara Barat.

Pakem tersebut disampaikan Presiden China yang juga Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) Xi Jinping dalam sesi pembukaan "Studi tentang Peningkatan Pembangunan Berkualitas Tinggi di Sektor Keuangan" di Sekolah Partai Komite Sentral PKC, Beijing pada 16 Januari 2024.

"Untuk meningkatkan kekuatan dan performa ekonomi negara, penting untuk menjaga kombinasi supremasi hukum dan supremasi moral serta menumbuhkan budaya ekonomi yang sesuai dengan karakteristik China", kata Presiden Xi.

 

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024