Mataram (ANTARA) - Pakar hukum pidana Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Profesor Amiruddin mengatakan jaksa harus melaksanakan eksekusi putusan pengadilan berstatus inkrah, meskipun dalam amar putusan menetapkan terpidana tetap berada dalam status tahanan kota.
"Meskipun status tahanan kota, tetap bisa dieksekusi karena tahanan kota itu termasuk tahanan juga, (terpidana) dipanggil oleh JPU (jaksa penuntut umum) untuk melaksanakan hukuman," kata Profesor Amiruddin di Mataram, Jumat.
Pernyataan Profesor Amiruddin ini merujuk pada Pasal 270 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah) usai menerima salinan surat putusan dari pengadilan.
Namun, kata dia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada mengatur secara jelas tentang metode pelaksanaan tahanan, termasuk dalam status terpidana tahanan kota.
"Dalam KUHAP, pelaksanaan tahanan hanya bersifat umum. Mengenai bagaimana teknis wajib lapor dan sebagainya, diatur tersendiri oleh masing-masing pejabat yang berwenang melakukan penahanan, penyidik punya SOP sendiri, jaksa punya SOP sendiri, hakim juga punya SOP sendiri," ujarnya.
Profesor Amiruddin menyampaikan hal tersebut sesuai Pasal 22 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pada ayat 3 menyebutkan penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
Namun, dia mengingatkan bahwa JPU masih bisa mengupayakan perubahan status tahanan kota menjadi tahanan rutan apabila putusan pidana belum inkrah.
"Dalam KUHAP ada mengatur tentang upaya hukum, itu adalah hak JPU maupun terdakwa. Dengan demikian, JPU dapat mengajukan upaya hukum," ucap dia.
Apabila putusan tersebut hasil persidangan pada pengadilan tingkat pertama, maka JPU dapat mengajukan upaya hukum ke tingkat banding. Begitu juga selanjutnya, upaya hukum lanjutan dari putusan tingkat banding bisa diajukan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
"Terhadap putusan yang sudah inkrah dapat juga diajukan upaya hukum luar biasa seperti PK (Peninjauan Kembali)," kata Amiruddin.
Penerapan teori KUHAP ini dapat menjadi acuan JPU dalam menanggapi putusan tingkat banding dari perkara korupsi pengadaan alat metrologi dan sarana prasarana lainnya pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Dompu dengan terdakwa Sri Suzana.
Dalam putusan nomor: 1/PID.TPK/2024/PT MTR, tanggal 22 Februari 2024, majelis hakim pada Pengadilan Tinggi NTB menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan kota. Terkait hal itu, Kejari Dompu belum menentukan sikap terkait putusan banding tersebut.
"Meskipun status tahanan kota, tetap bisa dieksekusi karena tahanan kota itu termasuk tahanan juga, (terpidana) dipanggil oleh JPU (jaksa penuntut umum) untuk melaksanakan hukuman," kata Profesor Amiruddin di Mataram, Jumat.
Pernyataan Profesor Amiruddin ini merujuk pada Pasal 270 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa jaksa melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah) usai menerima salinan surat putusan dari pengadilan.
Namun, kata dia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada mengatur secara jelas tentang metode pelaksanaan tahanan, termasuk dalam status terpidana tahanan kota.
"Dalam KUHAP, pelaksanaan tahanan hanya bersifat umum. Mengenai bagaimana teknis wajib lapor dan sebagainya, diatur tersendiri oleh masing-masing pejabat yang berwenang melakukan penahanan, penyidik punya SOP sendiri, jaksa punya SOP sendiri, hakim juga punya SOP sendiri," ujarnya.
Profesor Amiruddin menyampaikan hal tersebut sesuai Pasal 22 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pada ayat 3 menyebutkan penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
Namun, dia mengingatkan bahwa JPU masih bisa mengupayakan perubahan status tahanan kota menjadi tahanan rutan apabila putusan pidana belum inkrah.
"Dalam KUHAP ada mengatur tentang upaya hukum, itu adalah hak JPU maupun terdakwa. Dengan demikian, JPU dapat mengajukan upaya hukum," ucap dia.
Apabila putusan tersebut hasil persidangan pada pengadilan tingkat pertama, maka JPU dapat mengajukan upaya hukum ke tingkat banding. Begitu juga selanjutnya, upaya hukum lanjutan dari putusan tingkat banding bisa diajukan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
"Terhadap putusan yang sudah inkrah dapat juga diajukan upaya hukum luar biasa seperti PK (Peninjauan Kembali)," kata Amiruddin.
Penerapan teori KUHAP ini dapat menjadi acuan JPU dalam menanggapi putusan tingkat banding dari perkara korupsi pengadaan alat metrologi dan sarana prasarana lainnya pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Dompu dengan terdakwa Sri Suzana.
Dalam putusan nomor: 1/PID.TPK/2024/PT MTR, tanggal 22 Februari 2024, majelis hakim pada Pengadilan Tinggi NTB menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan kota. Terkait hal itu, Kejari Dompu belum menentukan sikap terkait putusan banding tersebut.