Jakarta (ANTARA) - Budayawan Ngatawi Al-Zastrouw menekankan pentingnya untuk mempelajari ajaran agama dengan khidmat sekaligus memahami tradisi budaya lokal agar bisa membedakan hal yang relevan dan tidak, sehingga bisa menghindari terjebak ke dalam paham radikal.

“Kita harus mempelajari ajaran-ajaran Islam itu sesuai ilmunya. Kalau tidak sesuai ilmunya, maka akan terjebak pada formalisasi simbol-simbol keagamaan tanpa memahami substansi sebenarnya,” kata Zastrouw sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.

Zastrouw mengatakan, Islam masuk dan berkembang di Indonesia karena ulama ketika itu mampu memahami ajaran agama sesuai visi, misi, dan substansinya. Dengan begitu, Islam diterapkan di Nusantara tidak bertabrakan dengan kultur yang ada.

Ia menyoroti euforia tampilan kearab-araban yang marak belakangan ini. Menurut dia, hal tersebut bersumber pada kedangkalan pemahaman terhadap ajaran Islam karena penggunaan atribut maupun istilah yang serba Arab bukan berarti seseorang menjadi semakin Islami.



“Fenomena seperti ini sebenarnya mencerminkan kedangkalan dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang kemudian diekspresikan dengan laku budaya yang Arab sentris,” ujarnya.

Zastrouw mengatakan, Muslim sudah seharusnya memiliki kemampuan rekonstruksi terhadap tafsir ajaran Islam, sehingga mampu diamalkan di Indonesia tanpa bertabrakan dengan kultur setempat.

Menurut dia, jika seseorang memahami tradisi lokal dan substansi syariat Islam secara mendalam, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa akar budaya Nusantara banyak bersesuaian dengan nilai dan semangat yang ada pada ajaran Islam.

Ia mengimbau agar jangan sampai ada inferiority complex atau perasaan lebih rendah dari bangsa lainnya dalam diri masyarakat Indonesia, termasuk dalam beragama.

“Menurut saya, kiai-kiai di Indonesia justru lebih islami dan mahir dalam memahami Islam, meskipun dia hanya pakai sarung, kopiah atau pakaian kesehariannya. Melalui pemahaman keagamaan yang tepat dan terkait dengan tradisi-tradisi yang kita miliki, Islam malah lebih mudah diamalkan dan dipahami oleh seluruh suku dan bangsa di Nusantara,” ucapnya.

Selain itu, ia juga meyakini bahwa kedaulatan Islam sejatinya diukur dari bagaimana Muslim dapat menjalankan ajaran agama dengan khidmat, paham budaya lokal, dan memberikan kontribusi nyata di lingkungan masyarakat.

Baca juga: Menteri BUMN Erick Thohir bertemu budayawan Sujiwo Tejo

Kedaulatan Islam, kata dia, bukan dicapai dengan bingkai perpolitikan yang berdasarkan syariat Islam, karena perpolitikan hanya salah satu cara menghadirkan Islam.

Zastrouw pun mengatakan, kejayaan dunia Islam justru dikenal bukan dari sistem politik atau kenegaraannya, melainkan dari perkembangan sains dan teknologi hasil temuan para ulama di zaman dulu.

Baca juga: Medan inginkan taman budaya tidak lagi gunakan APBD

“Kita ingat ketika umat Islam seperti Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Ibnu Batuta, Al Idrisi, dan lain sebagainya mampu menemukan teknologi, mulai teknologi optik, teknologi kimia, teknologi ilmu sains matematika. Di situ Islam berkembang melalui pengetahuan dan peradaban, hingga didirikannya Baitul Hikmah sebagai pusat literatur di masa dinasti Abbasiyah,” ucapnya.
 

 

Pewarta : Fath Putra Mulya
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024