Surabaya (ANTARA) - Seperti diketahui, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengikuti rapat kerja dengan Komite III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (3/12/2024) kemarin. Ada beberapa bahasan yang dibahas dalam rapat kerja pimpinan senator Papua Barat Filep Wamafma tersebut. Diantaranya realisasi program kerja dan anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2024, rencana program kerja dan anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2025, dan permasalahan terkait Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI). 

Banyak senator menyampaikan aspirasi yang dikeluhkan masyarakat di daerah pemilihannya, tak terkecuali anggota DPD RI yang dikenal si peran CANTIK, Dr. Lia Istifhama. 

“Saat ini banyak sekali keluhan dari rumah sakit sehubungan klaim penanganan BPJS kesehatan. Memang klaim dibayar lancar, namun ternyata masalah datang kemudian yang mana banyak rumah sakit yang semula lancar proses klaim BPJS kesehatan, mendapat tsunami kewajiban mengembalikan dana klaim.”

Baca juga: Perlawanan alot kotak kosong lawan petahana, Lia Istifhama: Selain syarat minimal, mungkinkah syarat maksimal Paslon Pilkada?

Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa ning Lia itu menjelaskan banyak rumah sakit yang mengeluh atas beban pengembalian klaim.

“Ada banyak sekali rumah sakit yang diminta mengembalikan pembayaran klaim BPJS kesehatan. Nominal beragam dan mencapai puluhan miliar bagi satu rumah sakit saja, bahkan ada satu rumah sakit yang type D namun diminta mengembalikan 30 miliar. Info yang berkembang terkait tudingan fraud.”

“Namun, fraud ini kan harus jelas mekanismenya, jangan sampai lekas menyebut ini fraud dan sebagainya sedangkan mekanisme administrasi sudah dilakukan sesuai prosedur dan yang saya kira rumah sakit dalam menangani pelayanan kesehatan, selain ada kemanusiaan, pasti juga melakukan verifikasi dan itu seharusnya juga sudah melalui verifikasi dari pihak BPJS Kesehatan juga,” jelasnya dalam keterangan tertulis, 6/12/24.

Baca juga: Setelah reses di 12 kabupaten/kota, DPD RI Lia Istifhama lakukan ini dalam sosialisasi 4 pilar

Lantas, apa itu fraud terkait BPJS Kesehatan?

Fraud dalam arti sederhana adalah kecurangan. Fraud adalah istilah yang sering disebut dalam banyak mekanisme kerjasama. Terkait BPJS Kesehatan misalnya, Kemenkes pada 26 November 2024 membuat Surat Himbauan Terkait Audit Internal Fraud pada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia. 

Dalam surat tersebut, diterangkan terkait pelaksanaan program  Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai dengan Permenkes 16 Tahun 2019 tentang Pencegahan 
dan Penanganan Kecurangan (fraud) Serta Pengenaan Sanksi Administrasi Terhadap Kecurangan (fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Surat himbauan tersebut juga tertulis sebagai upaya menindaklanjuti hasil diskusi media terkait pencegahan dan penanganan kecurangan dalam program JKN di Gedung KPK Merah Putih.

Ada beberapa poin dalam surat himbauan tersebut, yaitu diantaranya:
 
1. Membangun sistem pencegahan kecurangan (fraud) dengan komitmen dan dukungan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mewujudkan budaya pencegahan kecurangan (fraud). 
2. Membentuk Tim pencegahan kecurangan (fraud) dan melaksanakan fungsi pencegahan kecurangan sesuai tugas dan fungsinya. 
3. Melakukan audit internal terhadap kemungkinan adanya tindakan yang terindikasi fraud dalam Program JKN, diantaranya phantom billing dan manipulasi klaim. 
4. Apabila dalam hal angka 3 terdapat kelebihan maka fasilitas pelayanan kesehatan segera melakukan pengembalian kerugian kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 31 Desember 2024. 
5. Melaporkan hasil audit internal dan bukti pengembalian kerugian kepada Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kecurangan JKN Tingkat Pusat.

Menanggapi surat himbauan tersebut, Lia Istifhama, senator ayu yang dikenal sebagai Srikandi NU, menyebut Kemenkes dan BPJS Kesehatan mempertimbangkan banyak aspek sebelum meminta rumah sakit melakukan pengembalian biaya pelayanan kesehatan.

“Banyak hal yang seharusnya menjadi pertimbangan. Karena di lapangan, terlalu banyak hal kompleks yang tidak bisa dianalisa secara tekstual melainkan kontekstual. Saya kebetulan pernah bekerja sebagai HRD, jadi paham bagaimana psikologis tenaga kerja atau karyawan saat berobat menggunakan BPJS Kesehatan.”

“Pertama, mereka merasa telah membayar, sehingga mereka pun merasa berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Apalagi, pihak BPJS Kesehatan jika mendapat keluhan tidak bisa berobat dari rumah sakit, umumnya memberikan jawaban yang mana bola-nya di rumah sakit. Dengan kata lain, rumah sakit selalu jadi bulan-bulanan kesalahan,” imbuhnya.

Baca juga: Anggota Komite III DPD RI Lia Istifhama terima aspirasi para guru di Bangkalan

Lebih lanjut, ia pun memberikan contoh di lapangan.

“Kita tidak bisa menafikan, yang namanya orang sakit, pasti ingin segera sembuh, apalagi jika sakitnya parah, maka begitu di UGD, ia ingin segera ditangani. Begitupun rumah sakit, saya kira jiwa kemanusiaan mereka sangat tinggi sehingga ingin segera melayani.”

“Saya sendiri berulang kali turut merasakan ribetnya pelaporan pelayanan kesehatan. Karyawan sudah ditangani, sudah sembuh, namun ternyata masalah datang di kemudian hari.” 

“Tidak sedikit yang mana karyawan adalah kontrakan, sehingga saat mereka sudah resign, ndelalah (ternyata) rumah sakit menghubungi kami, yang saat itu saya sebagai HRD, meminta berkas ini itu dan sebagainya, padahal di awal itu terkesan sudah kami penuhi. Namun mereka, pihak Rumah Sakit, meminta kelengkapan lagi karena pihak BPJS yang meminta mereka melengkapi, sehingga beban kembali ke perusahaan.”

Baca juga: Bukan hanya pusat data Nasional, Anggota DPD RI terpilih juga korban hacker, Ini faktanya

Secara tegas, ning Lia menyoroti persoalan klaim BPJS kesehatan.

“Ini kan aneh, sekali lagi, seharusnya pihak BPJS Kesehatan memiliki sistem akselerasi administrasi yang cepat sehingga jika memang ada persoalan administratif, maka segera saja hal tersebut disampaikan. Jika sudah bulanan apalgi sampai tahunan baru disampaikan, akhirnya bukan saja pihak terkait bingung dengan tanggung jawab pengembalian uang klaim, tapi juga menghambat pekerjaan mereka melayani pasien.”

“Kalau kemudian pelayanan kesehatan jadi beban besar untuk rumah sakit, maka bagaimana mereka bisa melayani sepenuh hati sedangkan mereka ternyata dituntut harus selalu berbesar hati? Ini kan psikologis manusia yang mana mereka juga berhak kita perhatikan kesejahteraannya. Jika rumah sakit sehat, maka saya yakin semua pasien pun sehatnya cepat,” imbuhnya.

Di akhir, ia menambahkan aturan pelayanan BPJS Kesehatan.

“Satu hal lagi, masih terkait pelayanan BPJS, banyak pasien yang tidak bisa dilayani di Rumah Sakit karena menurut BPJS Kesehatan, harusnya dilayani di faskes pertama, entah itu puskesmas atau klinik. Padahal disana belum tentu bisa menangani karena ketersediaan alat kesehatan maupun dokter yang memadai. Akhirnya, lagi-lagi Rumah Sakit di daerah yang menjadi sasaran kesalahan dan keluhan pasien.”

“Nah, kalau sudah begitu, apakah lagi-lagi rumah sakit yang nanti pusing tujuh keliling saat klaim pelayanan kesehatan ditolak BPJS Kesehatan?”

“Padahal tidak ada kejadian rekayasa. Pasien ada, sakitnya memang ada, pelayanan kesehatan ada, jadi problem kan hanya di administratif. Kalau memang ribet dan sebagainya, maka sosialisasi administratif itu juga harus dijelaskan pada masyarakat agar mereka saat mau berobat, paham apa aja syarat berobat versi BPJS Kesehatan”, pungkasnya.

Pewarta : ANTARA NTB
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2024