Mataram (ANTARA) - Integritas pejabat publik adalah fondasi utama kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Di era digital, kepercayaan itu tidak lagi ditentukan hanya oleh kebijakan besar atau pembangunan fisik, melainkan juga oleh hal-hal kecil: sikap, tutur kata, hingga gestur seorang pejabat di ruang publik.
Semua bisa direkam, disebarkan, dan ditafsirkan dalam hitungan detik. Konsekuensinya, ruang untuk bersikap tanpa sorotan praktis hilang, dan setiap tindakan pejabat menjadi konsumsi publik yang tak jarang menimbulkan kontroversi.
Fenomena itu baru-baru ini terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebuah video Kepala Kanwil Kementerian Agama NTB, Zamroni Aziz, yang tengah menyingkirkan gagang mikrofon saat acara pelantikan Kepala Kemenag Dompu, Najamuddin, Jumat (19/9), viral di media sosial.
Dalam potongan gambar tersebut, Zamroni tampak melempar mikrofon di hadapan hadirin. Klarifikasi cepat datang dari pihak Kemenag NTB bahwa mikrofon itu hanya disingkirkan karena menghalangi prosesi ucapan selamat. Namun, opini publik sudah telanjur terbentuk. Di mata sebagian orang, gestur itu mencederai wibawa forum resmi.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa integritas pejabat tidak semata diukur dari kebijakan yang mereka buat, tetapi juga dari sikap sehari-hari yang terpublikasi. Potongan video singkat bisa dengan mudah menggerus kepercayaan masyarakat, meskipun peristiwanya sepele. Inilah risiko pejabat publik, setiap detik adalah ujian moral sekaligus panggung integritas.
Belum reda polemik mikrofon, publik NTB kembali dibuat terperanjat oleh kabar lain, pelantikan Irnadi Kusuma sebagai Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB. Irnadi pernah berstatus terpidana dengan vonis enam bulan penjara dan masa percobaan satu tahun.
Pemprov NTB menegaskan pelantikan ini sah secara aturan. Proses seleksi sudah melalui mekanisme formal, termasuk uji kompetensi dan persetujuan Badan Kepegawaian Negara. Namun, legitimasi administratif tidak serta-merta menghapus pertanyaan moral, apakah pantas seorang mantan terpidana memimpin jabatan strategis?
Secara hukum, memang tidak ada larangan eksplisit bagi mantan terpidana menduduki jabatan struktural. PP No. 11 Tahun 2017 dan PP No. 17 Tahun 2020 hanya mengatur syarat administratif. Celah inilah yang membuat keputusan itu legal, tapi menuai kritik dari sisi etika. Di banyak negara, standar integritas pejabat jauh lebih ketat. Jabatan publik dianggap simbol kepercayaan rakyat, sehingga rekam jejak bersih menjadi syarat mutlak.
Dua peristiwa di NTB ini--mikrofon “terbang” dan kursi strategis untuk mantan terpidana--berkelindan pada satu isu yakni rapuhnya standar integritas. Publik menilai bukan sekadar hasil kerja, melainkan juga moralitas, wibawa, dan teladan pejabat. Jika integritas ini retak, legitimasi kebijakan pun ikut terancam.
Sudah saatnya birokrasi memperbaiki standar etik. Regulasi ASN perlu direvisi agar mencakup syarat rekam jejak bersih. Pemprov NTB juga bisa menyusun kode etik pejabat daerah yang menekankan moralitas, bukan hanya administratif. Transparansi rekam jejak dan pembinaan karakter ASN mutlak diperlukan.
Integritas adalah cermin negara. Dari mikrofon yang tersingkir hingga kursi jabatan yang diperebutkan, semua menjadi ukuran moral pejabat. Pertanyaannya, apakah kita akan terus membiarkan celah hukum dan gestur simbolik merusak kepercayaan publik, atau berani menegakkan standar baru demi marwah birokrasi?
Baca juga: Tajuk - Honorer NTB: Harapan dan kekecewaan
Baca juga: Tajuk - Krisis tabung hijau di NTB: Data vs realita
Baca juga: Tajuk: Jejak hoaks di NTB, Media lokal jadi garda terakhir
Baca juga: Tajuk: Hilirisasi garam NTB, Tantangan atau peluang?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Garasi jadi paripurna, Aspirasi jangan terbakar lagi
Baca juga: Tajuk: MotoGP Mandalika 2025: Saatnya NTB berbenah di luar lintasan