Mataram (ANTARA) - Setiap kali momentum besar datang seperti Maulid, Ramadhan, hingga Lebaran, bayangan kelangkaan elpiji tiga kilogram hampir selalu menghantui warga Nusa Tenggara Barat. 

Dalam sepekan terakhir, antrean panjang di pangkalan kembali jadi pemandangan sehari-hari. Warga datang sejak pagi, berharap bisa membawa pulang tabung berisi, tetapi tak jarang pulang dengan tangan kosong.

Fenomena ini menyimpan ironi. Di atas kertas, pemerintah dan Pertamina memastikan stok aman. Tambahan pasokan bahkan sudah digelontorkan. Namun di lapangan, fakta berbeda muncul seperti pengecer menjual di atas harga eceran tertinggi, pangkalan membatasi pembelian hanya satu tabung, sementara pedagang kecil terjepit di antara harga beli yang naik dan tuntutan pelanggan agar harga jual tetap wajar.

Di sinilah letak masalah sesungguhnya. Kelangkaan bukan semata soal stok, melainkan soal tata kelola distribusi. Tabung bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro justru kerap bocor ke restoran besar, usaha menengah, bahkan industri kecil. Pengawasan aparat pun berhenti di pangkalan, sementara permainan harga marak di tingkat pengecer.

Kondisi ini menimbulkan jurang antara narasi resmi dan pengalaman warga. Pemerintah menyebut stok cukup, tetapi rakyat kecil tetap kesulitan. Pertamina menekankan distribusi lancar, tetapi antrean panjang tak pernah hilang. Kontradiksi ini yang menciptakan persepsi “langka” dan memicu keresahan publik.

Masalah semacam ini berulang hampir setiap tahun. Ada pola yang bisa ditarik. Pertama, distribusi rawan bocor ke pihak yang tidak berhak. Kedua, pengawasan lemah sehingga harga melonjak liar. Ketiga, lonjakan musiman tidak diantisipasi dengan baik. Keempat, minimnya digitalisasi membuat arus distribusi sulit dipantau secara real time.

Persoalan elpiji tiga kilogram sejatinya menyentuh inti dari keadilan energi. Subsidi dirancang agar kelompok rentan bisa bertahan hidup, bukan agar pelaku usaha menengah mengambil keuntungan. 

Setiap tabung yang bocor berarti ada satu keluarga kecil yang kehilangan akses. Setiap antrean yang tak berujung berarti ada roda usaha rakyat kecil yang terhenti.

Karena itu, solusi tidak bisa setengah hati. Pengawasan harus lebih ketat, dengan keberanian menindak pangkalan maupun pengecer nakal. Digitalisasi distribusi harus dipercepat agar alur tabung bisa dilacak hingga ke tangan konsumen. 

Edukasi publik juga penting agar masyarakat membeli sesuai kebutuhan, bukan menimbun di tengah kepanikan. Dan yang tak kalah mendesak, prediksi kebutuhan musiman semestinya dilakukan jauh hari, bukan setelah antrean mengular.

Lebih dari sekadar logistik, elpiji tiga kilogram adalah denyut kehidupan. Ia menyala di dapur keluarga kecil, menghidupkan warung nasi dengan margin tipis, hingga menjaga pedagang gorengan tetap bisa berjualan. Mengabaikan persoalan ini sama dengan mengabaikan hak dasar rakyat untuk hidup layak.

Kelangkaan elpiji tiga kilogram seharusnya menjadi peringatan keras bagi semua pihak: bahwa energi bukan hanya soal angka di laporan, melainkan soal keberpihakan. Dan keberpihakan sejati hanya bisa dibuktikan dengan memastikan rakyat kecil tidak lagi harus mengantre berjam-jam demi satu tabung gas hijau.

Baca juga: Tajuk - NW: Menjaga tradisi, menyongsong zaman
Baca juga: Tajuk - Seabad Muhammadiyah di NTB: Dari surau ke kiprah Global
Baca juga: Tajuk - NU NTB: Dinamis dan mendobrak
Baca juga: Tajuk: Jejak hoaks di NTB, Media lokal jadi garda terakhir
Baca juga: Tajuk: Hilirisasi garam NTB, Tantangan atau peluang?
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB: Garasi jadi paripurna, Aspirasi jangan terbakar lagi
Baca juga: Tajuk: MotoGP Mandalika 2025: Saatnya NTB berbenah di luar lintasan

Baca juga: Tajuk: Tambang NTB, Saatnya berhenti main mata


Pewarta : Abdul Hakim
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025