Oleh Diah Novianti 

          Sebuah amplop coklat tergeletak di atas meja pos penjagaan gerbang perumahan Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu pagi 17 Oktober 2009.

        Tulisan tangan sambung bertinta hitam tercantum pada muka amplop lazim dipergunakan untuk surat lamaran tersebut, "Kepada Yth. Susilo Bambang Yudhoyono".

        Entah siapa pengirimnya. Yang jelas, ia adalah salah satu dari mereka yang merasa layak mendapatkan jatah kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu" jilid dua "periode 2009-2014.

        Yang jelas juga, sang pengirim adalah orang yang tidak mempunyai akses ke lingkaran dalam orang nomor satu di negeri ini. Jelas tergambar dari nasib lamarannya.

         Tergeletak begitu saja di atas meja penjagaan yang berjarak sekitar 100 meter dari kediaman Yudhoyono. Tercecer dari proses perekrutan calon menteri yang segera digelar dalam waktu satu jam lagi.

        Sabtu pagi itu menjelang pukul 10.00 WIB, Yudhoyono keluar dari rumah untuk memeriksa semua persiapan.

         Di halaman depan telah tersedia mikrofon dan perangkat pengeras suara bagi calon menteri untuk memberi keterangan pers. Pendopo di halaman rumahnya telah dipersiapkan sebagai ruang tunggu untuk para calon menteri menanti giliran wawancara.

        Yudhoyono berbatik merah marun tampak beraut cerah, didampingi oleh orang-orang kepercayaannya. Mereka adalah Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa yang mengetuai tim suksesnya pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Juru Bicara Kepresidenan yang juga kader Partai Demokrat Andi Mallarangeng, dan tentu juga calon wakil presiden terpilih yang akan mendampinginya selama lima tahun ke depan, Boediono.

        Puas dengan semua persiapan yang paripurna, Yudhoyono kembali masuk ke dalam rumah menanti tamu-tamunya berdatangan sesuai dengan jadwal pemanggilan.

   

Posisi bergengsi

   Tiga pertama yang menjalani uji kelayakan sebagai calon menteri diperkirakan untuk posisi bergengsi dalam kabinet, menteri koordinator.

        Mereka adalah wajah-wajah yang tidak asing lagi, yaitu mantan Panglima TNI Djoko Suyanto yang merupakan Wakil Ketua Tim Sukses pasangan Yudhoyono-Boediono pada Pilpres 2009 dan diprediksi menduduki jabatan Menko Polhukam.

        Kemudian, Hatta Radjasa untuk posisi Menko Perekonomian, dan mantan Ketua DPR Agung Laksono untuk posisi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagai perwakilan Partai Golkar yang telah menyatakan ikut berkoalisi.

        Setelah itu berturut-turut dipanggil muka-muka yang selama ini sudah "lengket" dengan Yudhoyono, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi yang membacakan pernyataan dukungan pada deklarasi pasangan Yudhoyono-Boediono sebagai peserta Pilpres 2009, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

        Setelah jeda makan siang, muncul lagi wajah-wajah yang sudah bisa ditebak jalinan hubungannya dengan sang calon presiden terpilih.

        Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR Syarif Hasan, mantan Kapolri Sutanto yang menjadi anggota tim sukses dalam Pilpres 2009.

        Selain itu , Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Duta besar Indonesia di Arab Saudi Salim Seggaf Al Jufri yang adalah kader PKS, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Jero Wacik yang telah melepas jabatannya sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata untuk menjadi anggota DPR dari Fraksi Demokrat, dan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng yang juga kader Partai Demokrat.

        Setelah diwawancarai oleh Yudhoyono yang rata-rata berlangsung selama 20 menit, satu per satu dari 16 calon menteri yang menjalani uji kelayakan pada hari pertama pemanggilan didaulat untuk memberikan sekedar keterangan kepada pers tentang proses yang baru dijalani.

        Hampir seragam keterangan yang diberikan oleh mereka.

        "Tadi baru saja saya menghadap Bapak Presiden dan wakil Presiden terpilih Boediono".

        "Bapak Presiden memberikan instruksi"

   "Bapak Presiden memberikan arahan dan meminta".

        Mereka juga kompak hanya memberikan keterangan bernada "abu-abu" tentang jabatan yang akan diduduki, meski posisi jabatan terang-terang tercantum dalam pakta integritas dan kontrak kinerja yang harus ditandatangani sebagai tanda kesediaan menjadi calon menteri.

        "Itu Bapak Presiden yang tahu"

   "Nanti Bapak Presiden yang akan mengumumkan pada waktunya"

   Begitulah mereka yang keluar masuk pendopo halaman rumah Yudhoyono pada hari pertama pemanggilan calon menteri.

        Yudhoyono telah menjanjikan sebuah kabinet profesional untuk membantunya mengemudikan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Tanpa memungkiri pembagian jatah menteri kepada partai-partai politik yang memperjuangkannya untuk duduk kedua kali di kursi presiden, Yudhoyono menjanjikan calon menteri yang mumpuni dalam bidangnya serta memiliki integritas tinggi.

   

Jauh dari konflik

   Jauh-jauh hari ketika kampanye Pilpres 2009, Yudhoyono juga menjanjikan sebuah pemerintahan yang jauh dari konflik kepentingan. Ia juga menjanjikan sebuah pembangunan yang inkusif, terbuka untuk semua, dapat dirasakan hasilnya oleh semua masyarakat tanpa pandang bulu.

        Sebuah perlambang yang baik telah hadir pada hari pemanggilan calon menteri. Pendopo di halaman depan rumah Yudhoyono. Terbuka tanpa sekat, hanya disangga empat tiang tanpa dinding.

        Pendopo dalam filosofi rumah adat Jawa adalah bangunan tambahan di muka rumah yang ditujukan untuk berkumpul para anggota keluarga serta menerima para tamu. Dari bentuk bangunannya yang terbuka, pendopo juga dilambangkan sebagai pola interaksi yang terbuka, lambang peleburan yang rukun antara pemilik rumah dan masyarakat sekitarnya.

        Namun dalam jalinan historis kekuasaan, pendopo juga telah menyimpan simbol tersendiri. Di pendopo, penguasa daerah jaman dulu biasa duduk di kursi kekuasaannya untuk menerima para tamu yang hanya diperbolehkan menggelesot di atas lantai apabila derajat kekuasaan mereka tidak sama tinggi dengan sang penguasa.

        Sampai saat ini, bangunan pendopo masih dipertahankan dalam rumah dinas atau kantor gubernur dan bupati di daerah. Istilah pendopo juga lazim diucapkan untuk merujuk rumah dinas atau kantor mereka.

        Mereka yang keluar masuk pendopo halaman rumah Yudhoyono pada hari pertama pemanggilan calon menteri tentu merasakan lapangnya sebuah ruang tanpa sekat. Sejuk angin semilir bebas memasuki ruang terbuka tanpa dinding ketika mereka duduk menunggu giliran. Dan tentu saja, suara-suara berisik di luar dapat terdengar oleh telinga mereka.

        Entah apakah hati mereka yang deg-degan menunggu giliran uji kelayakan  calon menteri masih dapat meresapi filosofi pendopo selama duduk di dalamnya. Terbuka, harmoni dan melebur dengan sekitar, seperti janji kinerja pemerintahan mendatang yang inklusif dan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua.

        Karena dalam realitas, di luar pendopo masih ada gerbang tertutup rapat dijaga sekumpulan pasukan pengamanan. Hanya mereka yang diperkenankan boleh melangkah masuk.

        Sementara mereka yang lain hanya berada di luar, dan tentu saja hanya bisa berharap pada janji-janji.(*)




Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2025