Mataram (ANTARA) - Sudah menjadi kewajiban muslim menyisihkan sebagian penghasilannya untuk berzakat, terutama pada setiap bulan Ramadhan.

Ada sebagian orang yang mempertanyakan, bolehkah kita berzakat kepada saudara atau kerabat sendiri?

Berikut penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai hal tersebut:

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang mengandung dimensi sosial, dimana kewajiban zakat tersebut dibebankan kepada setiap orang muslim yang telah memenuhi ketentuan yang telah digariskan syariat Islam. Berzakat bisa berarti berbagi kepada sesama yang membutuhkan. Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa ada delapan golongan yang berhak menerima zakat.



Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, yang dilunakkan hatinya (mu'allaf), untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60).

Ayat ini mengandaikan bahwa distribusi zakat hanya boleh diberikan kepada delapan golongan saja.

Di luar itu bukan termasuk dalam ketegori penerima zakat. Kesimpulan ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan Imam Fakhruddin ar-Razi, ia menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan tidak ada seorang pun yang berhak menerima harta zakat kecuali delapan golongan -- yang telah disebutkan dalam ayat tersebut. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa hal ini sudah menjadi konsensus para ulama.

: { }

“Firman Allah: ‘Sesungguhnya zakat-zakat itu hanya untuk orang-orang fakir...’menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak untuk menerima zakat kecuali delam golongan ini. Dan hal itu telah disepakati oleh para ulama.”.

Di antara golongan yang berhak menerima zakat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah fakir miskin. Zakat yang diberikan kepada fakir-miskin dengan ikhlas niscaya kelak di akherat akan berbuah pahala. Namun, pahalanya akan menjadi berlipat jika fakir-miskin yang diberi zakat adalah termasuk dari kerabat si pemberi zakat, seperti paman, bibi, atau sepupunya.

Alasan sederhanya adalah jika seseorang memberikan zakat kepada fakir-miskin yang menjadi kerabatnya maka ada dua hal yang dilakukan sekaligus, yaitu berzakat dan menyambung tali silaruhami. Sehingga yang didapatkan adalah pahala berzakat dan pahala menyambung tali silaturahmi. Hal ini sebagaima dikemukakan dalam salah satu hadits berikut ini:



“Bersedekah kepada orang miskin itu mendapatkan pahala sedekah, sedang bersedekah kepada kerabat (yang miskin) itu mendapatkan pahala sedekah dan pahala menyambung tali silaturahmi” (HR. Ibnu Majah)

Karena itu tak heran jika kemudian para ulama dari kalangan madzhab Syafii menyatakan bahwa sunnah untuk memberikan zakat atau sedekah kepada kerabat, tetapi dengan catatan mereka adalah termasuk golongan yang berhak menerimanya. Bahkan lebih lanjut memberikan kepada mereka itu lebih utama dibanding kepada yang bukan kerabat. Demikian sebagaimana kami pahami dari pernyataan Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi sebagai berikut:



“Para ulama dari kalangan madzhab Syafii menyatakan bahwa sunnah mendistribusikan sedekah, zakat, dan kaffat kepada kerabat apabila mereka memang termasuk orang yang berhak menerimanya. Dan mereka adalah lebih utama dibanding yang lain”. (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktaba al-Irsyad, juz, VI, h. 210)

Berangkat dari penjelasan singkat ini maka mendahulukan pemberian zakat maupun sedekah kepada kerabat yang memang berhak menerimanya adalah lebih utama, dibanding memberikannya kepada pihak lain. Karena bisa mendatangkan dua pahala sekaligus yaitu pahala berzakat atau bersedekah, dan pahala mempererat tali silaturahmi.

Baca juga: Hukum menerima THR dari non-muslim

Baca juga: GOJEK luncurkan fitur amal online permudah pengguna berzakat

Baca juga: Menteri Agama tunaikan zakat lewat Baznas

Pewarta : Antara
Editor : Ihsan Priadi
Copyright © ANTARA 2024