Mataram (ANTARA) - Sejak diumumkan dan dilantik pada tanggal 23 Oktober 2019 para menteri Kabinet Maju Jilid II Jokowi-Ma'ruf sudah mulai bekerja.
Apa yang dipesan oleh Jokowi sebagai pengendali kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh para menteri. Bukan saatnya lagi para pembantu presiden, bisa menunjukkan dari mana asalnya, perwakilan mana dan titipan siapa.Melainkan melebur menjadi abdi negara bekerja dan betugas sebagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai menteri.
Para menteri harus meletakkan pada pundaknya, apa yang dipesan oleh Jokowi "Jangan Korupsi", kalimat yang diulang dengan tegas dan lugas. Tidak ada visi menteri yang ada visi presiden dan wapres. Sering kali para menteri selalu lupa dengan visi dan misi. Malah yang dingat visi misi partai dan kadang kala pesan partainya selalu muncul.
Begitu juga Jokowi dengan lantang meminta para menterinya, bekerja dengan cepat keras. Jika diurut secara usia, hanya beberapa menteri saja yang berusia 60-70 an tahun. Untuk bekerja cepat dan kerja keras, produktif. Tentu para menteri akan bisa melakukannya. Jika para pendamping menteri diisi oleh para birokrat yang progresif dan generasi baru yang mau bekerja.
Nah kalau yang ini, "Jangan terjebak rutinitas, kerja nyata," ini memang harus diuji dalam 100 hari kerja para menteri, bisa saja para menteri butuh waktu lama dan ada yang cepat menyusuaikan dengan pola dan cara kerja ASN selama ini. Dan berikutnya, lanjut Jokowi, selalu mengecek masalah di lapangan dan menemukan solusinya. Memang bukan hal baru, jika dilihat dari para menteri yang ditarik lagi masuk kabinet Jilid II, sudah terbiasa dengan gaya blusukan Jokowi.
"Terakhir semua harus serius dalam bekerja. Yang enggak serius, enggak sungguh-sungguh, bisa mogok di tengah jalan," pesan terakhir Jokowi adalah reaktif, direktif dan evaluatif, jika tidak sesuai harapan dan ekseptasi serta penilain publik buruk terhadap kinerja 100 hari kerja para menteri.
Apa Iya, yang tidak serius dan mogok di tengah dijalan akan membuka peluang bagi para pendukung dan tim Jokowi-Ma'ruf bisa punya kesempatan untuk masuk di kabinet (reshuffle). Narasi yang coba digiring oleh publik, bisa bijak dan juga provokatif, itu sebaiknya tidak dilakukan oleh anak Bangsa hari ini, bukan juga menolak, melainkan menerima. Kenyataan yang baik dan pilihan yang baik diambil oleh Jokowi, bukan atas dasar tekanan atau apalah namanya. Semua dilakukan oleh Jokowi atas dasar "assesment" yang sangat mendasar dan teruji, bukan lagi atas kepentingan yang dominan politik.
Apalagi sebutan NU dan Muhammadiyah, berapa tulisan dan status di media sosial, mencoba menggiring opini publik. Lihat dan baca saja narasi seperti ini "Menteri Agama kali ini tidak dipilih dari kalangan NU, maka Menteri Pendidikan pun tidak diambil dari kalangan Muhammadiyah. Menteri Agama dipilih dari kalangan TNI yaitu Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi sedangkan Menteri Pendidikan diambil dari kalangan bisnis yaitu Bos Gojek Nadiem Makarim.
Saya rasa apa yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi sudah benar. Presiden tak mau lagi ada tarik menarik antara NU dan Muhammadiyah. Jika NU tidak mendapatkan posisi Menteri Agama maka Muhammadiyah pun tidak mendapatkan posisi menteri pendidikan. Adilkan? Jika dicermati penggalan beberapa kalimat tulisan di atas, bukan sebuah narasi yang ingin membelah dan meretakkan hubungan baik antara NU dan Jokowi, Begitu juga dengan Muhammadiyah.
Tidak sejauh dan setajam itu, juga mengambil narasi yang membandingkan antara persaoalan agama dan pendidikan, hanya bisa diurus oleh menteri agama dan Mendikbud. Bukankah NU dan Muhammadiyah sudah Sejak zaman Hindia Belanda mengurus dua hal pokok ( Agama Dan pendidikan) untuk umat.
Dua Ormas besar NU dan Muhammadiyah, bukan sekonyol-konyol, beraksi seperti apa yang publik ketahui. Dan bukan juga menuntut dan apalagi memaksakan kehendak. Bagi NU dan Muhammadiyah, hal kecil menyoal posisi di kabinet, mengurus umat dan membangun peradaban Islam yang toleran, Islam yang rahmatan lilalamin, itu lebih dari menteri.
Pak Jokowi tahu benar, berapa besar perjuangan kaum santri NU dan Muhammadiyah melawan radikalisme di Indonesia, begitu juga ikut andil memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Sudah bisa dipastikan, apa yang dipilih oleh Jokowi, mengambil putra terbaik NU dan Muhammadiyah. Bukan tidak mempertimbangkan apa yang sudah diperbuat oleh NU dan Muhammadiyah.
Begitu juga, Jokowi mendiskusikannya dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin. Apa ada reaktif yang berlebihan dari NU?. Sikap dan tradisi yang biasa dibangun oleh NU adalah selalu berada ditengah "moderate", itu yang biasa dilakukan oleh para ulama dan kyai terdahulu. Tidak berada dalam kekuasaan pun, sudah teruji dan terbiasa oleh NU. Menerima adalah sikap yang selalu dikedepankan oleh NU demi NKRI.
Semoga saja, jembatan pengertian bisa dipahami oleh publik, bukan sikap NU dan Muhammadiyah ikut mempersoalkan apa yang diputuskan presiden, itulah yang terbaik untuk bangsa. Kalau pun, ada percakapan api, itu bukan sumbernya dari dua ormas terbesar di Indonesia. Itu sudah pasti dari orang yang terbiasa menyalakan api. Sudah saatnya, hari ini dan lima tahun ke depan apa yang menjadi urusan utama dari para pembantu presiden, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab bidangnya masing-masing.
Bisa tertunaikan menuju Indonesia Maju dan Unggul. Begitu juga dengan mimpi Jokowi menuju satu abad Indonesia Merdeka 2045. Wallahu a'lam bisshowab.
Ketua LTN-NU NTB
Apa yang dipesan oleh Jokowi sebagai pengendali kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh para menteri. Bukan saatnya lagi para pembantu presiden, bisa menunjukkan dari mana asalnya, perwakilan mana dan titipan siapa.Melainkan melebur menjadi abdi negara bekerja dan betugas sebagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai menteri.
Para menteri harus meletakkan pada pundaknya, apa yang dipesan oleh Jokowi "Jangan Korupsi", kalimat yang diulang dengan tegas dan lugas. Tidak ada visi menteri yang ada visi presiden dan wapres. Sering kali para menteri selalu lupa dengan visi dan misi. Malah yang dingat visi misi partai dan kadang kala pesan partainya selalu muncul.
Begitu juga Jokowi dengan lantang meminta para menterinya, bekerja dengan cepat keras. Jika diurut secara usia, hanya beberapa menteri saja yang berusia 60-70 an tahun. Untuk bekerja cepat dan kerja keras, produktif. Tentu para menteri akan bisa melakukannya. Jika para pendamping menteri diisi oleh para birokrat yang progresif dan generasi baru yang mau bekerja.
Nah kalau yang ini, "Jangan terjebak rutinitas, kerja nyata," ini memang harus diuji dalam 100 hari kerja para menteri, bisa saja para menteri butuh waktu lama dan ada yang cepat menyusuaikan dengan pola dan cara kerja ASN selama ini. Dan berikutnya, lanjut Jokowi, selalu mengecek masalah di lapangan dan menemukan solusinya. Memang bukan hal baru, jika dilihat dari para menteri yang ditarik lagi masuk kabinet Jilid II, sudah terbiasa dengan gaya blusukan Jokowi.
"Terakhir semua harus serius dalam bekerja. Yang enggak serius, enggak sungguh-sungguh, bisa mogok di tengah jalan," pesan terakhir Jokowi adalah reaktif, direktif dan evaluatif, jika tidak sesuai harapan dan ekseptasi serta penilain publik buruk terhadap kinerja 100 hari kerja para menteri.
Apa Iya, yang tidak serius dan mogok di tengah dijalan akan membuka peluang bagi para pendukung dan tim Jokowi-Ma'ruf bisa punya kesempatan untuk masuk di kabinet (reshuffle). Narasi yang coba digiring oleh publik, bisa bijak dan juga provokatif, itu sebaiknya tidak dilakukan oleh anak Bangsa hari ini, bukan juga menolak, melainkan menerima. Kenyataan yang baik dan pilihan yang baik diambil oleh Jokowi, bukan atas dasar tekanan atau apalah namanya. Semua dilakukan oleh Jokowi atas dasar "assesment" yang sangat mendasar dan teruji, bukan lagi atas kepentingan yang dominan politik.
Apalagi sebutan NU dan Muhammadiyah, berapa tulisan dan status di media sosial, mencoba menggiring opini publik. Lihat dan baca saja narasi seperti ini "Menteri Agama kali ini tidak dipilih dari kalangan NU, maka Menteri Pendidikan pun tidak diambil dari kalangan Muhammadiyah. Menteri Agama dipilih dari kalangan TNI yaitu Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi sedangkan Menteri Pendidikan diambil dari kalangan bisnis yaitu Bos Gojek Nadiem Makarim.
Saya rasa apa yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi sudah benar. Presiden tak mau lagi ada tarik menarik antara NU dan Muhammadiyah. Jika NU tidak mendapatkan posisi Menteri Agama maka Muhammadiyah pun tidak mendapatkan posisi menteri pendidikan. Adilkan? Jika dicermati penggalan beberapa kalimat tulisan di atas, bukan sebuah narasi yang ingin membelah dan meretakkan hubungan baik antara NU dan Jokowi, Begitu juga dengan Muhammadiyah.
Tidak sejauh dan setajam itu, juga mengambil narasi yang membandingkan antara persaoalan agama dan pendidikan, hanya bisa diurus oleh menteri agama dan Mendikbud. Bukankah NU dan Muhammadiyah sudah Sejak zaman Hindia Belanda mengurus dua hal pokok ( Agama Dan pendidikan) untuk umat.
Dua Ormas besar NU dan Muhammadiyah, bukan sekonyol-konyol, beraksi seperti apa yang publik ketahui. Dan bukan juga menuntut dan apalagi memaksakan kehendak. Bagi NU dan Muhammadiyah, hal kecil menyoal posisi di kabinet, mengurus umat dan membangun peradaban Islam yang toleran, Islam yang rahmatan lilalamin, itu lebih dari menteri.
Pak Jokowi tahu benar, berapa besar perjuangan kaum santri NU dan Muhammadiyah melawan radikalisme di Indonesia, begitu juga ikut andil memenangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf. Sudah bisa dipastikan, apa yang dipilih oleh Jokowi, mengambil putra terbaik NU dan Muhammadiyah. Bukan tidak mempertimbangkan apa yang sudah diperbuat oleh NU dan Muhammadiyah.
Begitu juga, Jokowi mendiskusikannya dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin. Apa ada reaktif yang berlebihan dari NU?. Sikap dan tradisi yang biasa dibangun oleh NU adalah selalu berada ditengah "moderate", itu yang biasa dilakukan oleh para ulama dan kyai terdahulu. Tidak berada dalam kekuasaan pun, sudah teruji dan terbiasa oleh NU. Menerima adalah sikap yang selalu dikedepankan oleh NU demi NKRI.
Semoga saja, jembatan pengertian bisa dipahami oleh publik, bukan sikap NU dan Muhammadiyah ikut mempersoalkan apa yang diputuskan presiden, itulah yang terbaik untuk bangsa. Kalau pun, ada percakapan api, itu bukan sumbernya dari dua ormas terbesar di Indonesia. Itu sudah pasti dari orang yang terbiasa menyalakan api. Sudah saatnya, hari ini dan lima tahun ke depan apa yang menjadi urusan utama dari para pembantu presiden, sesuai dengan tugas dan tanggung jawab bidangnya masing-masing.
Bisa tertunaikan menuju Indonesia Maju dan Unggul. Begitu juga dengan mimpi Jokowi menuju satu abad Indonesia Merdeka 2045. Wallahu a'lam bisshowab.
Ketua LTN-NU NTB