Buku "Melawan Setan Bermata Runcing" oposisi terhadap pendidikan formal

id sokola rimba,butet manurung,buku melawan setan bermata runcing

Buku "Melawan Setan Bermata Runcing" oposisi terhadap pendidikan formal

Tampilan cover buku "Melawan Setan Bermata Runcing" dalam kegiatan tur bedah buku dan diskusi pendidikan "Melawan Setan Bermata Runcing" di Aula Museum Negeri NTB, Jumat petang (14/2/2020). (Foto : ANTARA/Dhimas B.P).

Mataram (ANTARA) - Buku berjudul "Melawan Setan Bermata Runcing" karya tulis Butet Manurung dan kawan-kawan yang juga mengagas "Sokola Rimba" ini merupakan oposisi dari pendidikan formal.

"Secara politis saya bisa menyebut bahwa model pendidikan ini adalah oposisi dari pendidikan formal," kata Kiki Sulistyo, seorang sastrawan dalam kegiatan tur bedah buku dan diskusi pendidikan "Melawan Setan Bermata Runcing" di Mataram, Jumat.

Baca juga: "Sokola Rimba" lahir dari perpaduan budaya dan pendidikan

Menurutnya, isi buku tersebut merupakan catatan sebuah "pendidikan yang lain", di luar metode pendidikan formal yang ada saat ini. Banyak hal yang bisa diserap dari isi buku tersebut perihal metode pendidikan nonformal.

"Yang jelas, yang perlu digarisbawahi adalah model pendidikan ini adalah pendidikan kontekstual," ujar pria yang juga mendirikan Komunitas Akar Pohon tersebut.

Dia menjelaskan, aplikatif dari metode pendidikan kontekstual itu adalah fleksibilitas dan eklektisitas. Jadi hal tersebut sangat ditentukan oleh realitas yang ada di lingkungan penerapannya.

Karena itu, Kiki berpendapat metode pendidikan yang diterapkan Butet Manurung dan kawan-kawan bisa diadopsi untuk semua tempat dan kalangan.

"Karena dia kontekstual, di kota, pesisir hutan, segala macam adat, budaya, itu bisa dipakai, karena dia tergantung pada realitas di lapangan," ucapnya.

Selain itu, Kiki melihat metode pendidikan ini memiliki tujuan yang praktis. Apa yang diajarkan, bisa langsung diterapkan untuk mengatasi masalah keseharian.

"Itu yang berbeda dengan pendidikan formal," katanya.

Kemudian metode pendidikannya juga dinilai sirkulatif, maksudnya semua partisipan bisa belajar sekaligus mengajar. Berbeda dengan pendidikan formal yang sifatnya distributif, interaksi terjadi hanya dari guru ke murid saja.

"Jadi saya kira ini (metode pendidikan) sangat bisa diadopsi, yang pertama dia menggunakan pendekatan empiris, dengan pendekatan itu, persoalan bisa didekati, jadi kita langsung berhadapan dengan persoalan," terang Kiki.

"Di samping itu juga ada terbangun emosi antara seluruh partisipan. Sehingga bisa sirkulatif, jadi tidak ada hirarki, murid belajar, guru mengajar," tambahnya.