Febri Diansyah: Pilih peserta pilkada yang tak terlibat korupsi

id Febri Diansyah,pilih peserta pilkada yang tidak terlibat korupsi

Febri Diansyah: Pilih peserta pilkada yang tak terlibat korupsi

Pendiri Visi Integritas Law Office, Febri Diansyah. ANTARA/Nikolas Panama

Tanjungpinang (ANTARA) - Pendiri Visi Integritas Law Office, Febri Diansyah, mengajak seluruh pemilih untuk memilih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak terlibat korupsi pada Pilkada serentak 2020.

"Pilihlah calon kepala daerah yang berintegritas, tidak terlibat korupsi," kata dia, yang dihubungi dari Tanjungpinang, Minggu.

Mantan juru bicara KPK itu mengimbau pemilih untuk lebih teliti dalam menggunakan hak suara. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memiliki komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih.

"Pilih calon kepala daerah tang tidak permah mengiming-imingi politik uang," imbaunya. Di tengah korupsi kepala daerah yang marak, kata dia pilkada serentak saat ini akan cukup menentukan bagi nasib masyarakat di daerah.



Dari data di situs resmi KPK, per 1 Juni 2020 terdapat 21 Gubernur dan 122 bupati, wali kota dan wakil kepala daerah yang terjerat korupsi oleh KPK.

"Kita semua tentu berharap agar masyarakat tidak menjadi korban kembali jika ada calon kepala daerah bermasalah atau diduga terlibat dalam kasus korupsi.
Karena itu, sangat penting bagi masyarakat sebagai pemilih untuk menentukan nasibnya lima tahun ke depan," tuturnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, berpendapat pilkada merupakan bagian dari koreksi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk upaya pemberantasan korupsi.

Pilkada serentak 2020 masih menyisakan permasalahan serius dalam konteks pemberantasan korupsi lantaran masih ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersandera kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).



Upaya pencegahan korupsi yang berlangsung tidak sebentar menyebabkan politisi yang tersandera kasus korupsi maupun gratifikasi dapat mencalonkan diri.

Penyebab lainnya yakni format hukum yang mewajibkan lembaga penyelenggara pemilu wajib menghormati proses hukum terhadap politisi yang tersandera kasus di KPK sebelum dijatuhi vonis bersalah oleh pengadilan.

Artinya, regulasi tidak melarang orang-orang yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi dan gratifikasi mencalonkan diri, meskipun penyelenggara pemilu memiliki semangat yang sama dengan rakyat untuk melahirkan pemimpin yang bersih, dan dapat membangun daerah yang dipimpin.



Selain itu, kata dia kehadiran politisi yang tersandera kasus hukum di KPK sebagai peserta pilkada sebagai gambaran kegagalan partai politik dalam menyaring secara jernih bakal calon kepala daerah sebelum didaftarkan di KPU. Partai politik masih memainkan peran sebagai partai pengusung atau pendukung hanya dengan mempertimbangkan kemenangan dan kekalahan.

"Ini kami istilahkan sebagai tirani ilegal. Kita tahu (kondisi) ini tidak benar, tetapi secara legal harus diikuti. Artinya kita tersandera dalam format hukum, dan pilihan partai politik yang tidak melalui proses yang jenih," ujarnya, yang juga mantan tim seleksi anggota Bawaslu Kepulauan Riau.