AMAN: UU Cipta Kerja mengancam pekerjaan tradisional masyarakat adat

id UU Cipta Kerja,AMAN,Aliansi Masyarakat Adat,pekerjaan tradisional,masyarakat adat

AMAN: UU Cipta Kerja mengancam pekerjaan tradisional masyarakat adat

Tangkapan layar Deputi Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi menyampaikan pandangannya soal UU Cipta Kerja dan masyarakat adat pada Konferensi Nasional Reforma Agraria 2021 yang diselenggarakan secara virtual di Youtube Pembaruan Agraria di Jakarta, Rabu (8/9/2021). ANTARA/Genta Tenri Mawangi

Jakarta (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengancam keberlangsungan pekerjaan tradisional masyarakat adat.

Alasannya, kata Deputi Advokasi AMAN Erasmus Cahyadi di Jakarta, Rabu, hutan dan wilayah adat sebagai sumber penghidupan dan tempat berlangsungnya pekerjaan-pekerjaan tradisional masyarakat adat rentan diambil alih oleh pihak-pihak lain setelah berlakunya UU Cipta Kerja.

“Dia (UU Cipta Kerja, Red.) memberi banyak kemudahan bagi investasi, sementara UU ini tidak melakukan apapun pada kemudahan yang memperjelas penguasaan masyarakat adat, penguasaan rakyat pada umumnya pada ruang,” kata Erasmus pada Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) 2021 yang digelar secara virtual oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Terkait itu, ia menyebutkan pemberian status hukum terhadap hak masyarakat adat atas tanah berjalan lambat.

“Dalam lima tahun terakhir, hutan adat yang ditetapkan tidak sampai 60.000 hektare, baru sampai 59.000 hektare sekian. Dalam 20 tahun terakhir, pengakuan atas tanah ulayat hanya mencapai 20.000 hektare,” sebut Deputi Advokasi AMAN.

Menurut dia, situasi yang dialami oleh masyarakat adat berseberangan dengan berbagai kemudahan yang dinikmati oleh para investor berkat UU Cipta Kerja.

“Asumsi dasar UU Cipta Kerja adalah memudahkan investasi supaya lapangan kerja terbuka. Ini justru berbahaya bagi masyarakat adat, karena di tengah kecepatan yang diskriminatif, kecepatan investasi dan ketidakjelasan (perlindungan terhadap) masyarakat adat, wilayah-wilayah adat semakin rentan diambil alih, dirampas," terang Deputi Advokasi AMAN.

"Situasi demikian bukan menciptakan pekerjaan bagi masyarakat adat, justru menghilangkan pekerjaan-pekerjaan tradisional masyarakat adat,” tegas dia menambahkan.

Padahal, berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi ILO No.111 mengatur berbagai perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Dalam forum yang sama, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah sependapat dengan Erasmus bahwa UU Cipta Kerja lebih banyak berpihak pada kepentingan investor daripada keselamatan rakyat.

Pendapat itu diperkuat oleh berbagai peraturan pemerintah (PP) yang menjadi turunan UU Cipta Kerja. Beberapa aturan turunan itu menghapus limbah batu bara, limbah seng nikel, dan limbah sawit dalam daftar limbah yang berbahaya dan beracun.

“Artinya, keselamatan rakyat diabaikan, yang dikedepankan keselamatan korporasi. Bisnis harus berjalan. Caranya easement (kelonggaran, Red.) besar-besaran terhadap seluruh instrumen, pranata perlindungan,” sebut Merah.

Oleh karena itu, ia mengatakan masyarakat perlu bahu-membahu meningkatkan solidaritas dan kerja sama dalam menjaga ruang hidupnya.

“Imajinasi perlawanan harus diperluas, solidaritas, kerja sama juga harus diperluas,” tegas Merah.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Merah Johansyah dari JATAM, dan KPA telah menggugat Surat Presiden (Surpres) Joko Widodo ke DPR terkait pengajuan pembahasan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja ke pengadilan.

“Supres UU Cipta Kerja kami gugat sampai level kasasi,” kata Merah menambahkan.