DP2A Mataram mencegah tengkes melalui pendewasaan usia perkawinan

id PUP,DP2A,Mataram

DP2A Mataram mencegah tengkes melalui pendewasaan usia perkawinan

Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany. (Foto: ANTARA/Nirkomala)

Mataram (ANTARA) - Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat menggencarkan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan (PUP) sebagai salah satu upaya pencegahan kasus tengkes atau anak kerdil. 

"Sosialisasi kami lakukan melalui satuan pendidikan ramah anak, forum anak, serta di berbagai kesempatan kami selalu sampaikan dendek merarik kodek (bahasa Sasak) atau jangan kawin kecil," kata Kepala Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP2A) Kota Mataram Hj Dewi Mardiana Ariany di Mataram, Jumat.

Hal itu disampaikan menyikapi peran DP2A dalam upaya menekan angka kasus tengkes
di Kota Mataram yang saat ini oleh Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB) Kota Mataram terdapat sebanyak 19,64 persen.

Ia mengatakan dalam sosialisasi PUP tersebut pihaknya bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama dan Dinas Kesehatan, dengan materi sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Misalnya dari Kementerian Agama memberikan materi terkait dengan keagamaan, spiritual serta kesiapan mental, sedangkan dari Dinkes memberikan materi terkait dengan kesehatan reproduksi.

"Sementara kami, memberikan materi terkait dengan pola asuh, pemenuhan gizi makan minum yang cukup, serta pencegahan pernikahan dini," katanya.

Menurutnya, selama pandemi COVID-19 kegiatan sosialisasi PUP tidak mendapatkan porsi anggaran yang cukup untuk dilakukan sosialisasi secara terjadwal dengan sasaran.

"Karena itu, sosialisasi kami siasati melalui satuan pendidikan, forum anak serta setiap kesempatan agar pihak-pihak terkait yang ada juga bisa memberikan perhatian terhadap hal ini. Alhamdulillah, kasus perkawinan anak awal tahun ini belum ada, sedangkan tahun 2021 ada sembilan kasus," katanya.

Sosialisasi PUP dimaksudkan untuk menunda perkawinan sampai batas usia minimal untuk siap berkeluarga, mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa, menunda kehamilan anak pertama bila telah terjadi perkawinan dini, sampai di usia 21 tahun.

Pernikahan dini, katanya, bisa berdampak pada lahirnya kemiskinan struktural sebab anak yang menikah dini mentalnya belum siap, rentan berselisih, mendapat kekerasan fisik dan psikis.

"Selain itu, terjadi anak hamil melahirkan anak, karena mental belum siap sedikit bertengkar memicu perceraian selanjutnya anak kembali diurus ibunya sehingga lahirlah kemiskinan struktural," katanya.

Di sisi lain, Dewi juga mengimbau kepada para remaja putri agar tidak terlalu banyak diet, sebab 30 persen remaja mengalami anemia atau kurang darah.

"Karena itu, remaja putri sekarang juga dikasih vitamin tambah darah Fe, agar tidak mudah terkena anemia yang ditandai dengan tubuh mudah lemas ataupun pingsan karena mengalami menstruasi," katanya.