Mataram (Antara NTB)- Tokoh Adat Sasak Jalaludin Arzaki sangat menyesalkan adanya wacana dari Pemerintah Kota Mataram yang ingin menghilangkan permaian "presean" di kota ini.
"Permainan `presean` merupakan tradisi budaya komunitas Suku Sasak bukan milik pribadi sehingga harus dilestarikan. Bukan dihilangkan," kata Jalaludin Arzaki yang juga menjadi Ketua Majelis Krama Adat Sasak kepada wartawan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu.
Pernyataan itu dikemukakannya menanggapi pernyataan dari Penjabat Wali Kota Mataram Hj Putu Selly Andayani yang ingin menghilangkan permaian presean sebab dinilai kurang layak dipertontonkan karena mengandung unsur kekerasan.
Apalagi jika sampai ada pemain dari kalangan anak-anak, hal itu bisa berdampak kurang baik bagi pertumbuhan anak dan dikhawatirkan apa yang dilihatnya itu akan dipraktikkan ke teman sebayanya. Padahal, Kota Mataram saat ini sedang menyiapkan diri menjadi sebuah kota layak anak (KLA).
`Presean` adalah sebuah pertarungan dua orang "pepadu" atau petarung di atas panggung dengan rotan sebagai alat pukul dan tameng sebagai alat untuk melindungi diri yang terbuat dari kulit ternak.
Jalaludin menilai, apa yang disampaikan penjabat wali kota itu kurang pas disampaikan atas nama pemerintah, tetapi jika pernyataan itu dikatakan atas nama pribadi sah-sah saja.
"Jika permainan `presean` dihapus sama artinya mengilangkah permainan rakyat Suku Sasak sekaligus mematikan kesempatan untuk mencari rezeki bagi pepadu," katanya.
Menurut dia, permainan `presean` sudah menjadi `icon` permainan kesenian yang digemari dunia.
"Saya sudah beberapa kali membawa rombongan pepadu ke Inggris dan mereka senang, padahal kita tahu kalau orang-orang barat antikekerasan," ujarnya.
Ia mengatakan, secara umum `presean` ini sama juga dengan permaian "Sumo" dari Negara Jepang yang juga menunjukan kekerasan juga, tetapi tetap menjadi bagian permainan rakyat.
Begitu juga dengan permainan `karaci` dari Sumbawa dan `Parise` dari Bima yang merupakan bagian aset budaya dan `icon` daerah yang harus dilestarikan dan menunjukan sebuah karakter keberanian.
Menurut Jalaludin yang juga menjadi seorang budayawan di Pulau Lombok ini, permaian presean dimainkan olah orang-orang yang sudah profesional dan menjunjung sportivitas.
Dia mengatakan, meskipun di atas panggung mereka saling pukul dengan rotan, tetapi setelah bertanding mereka akan bersalaman, berpelukan dan tidak ada saling benci apalagi dendam.
"Sebaliknya, setelah main ke depan mereka pasti saling cari sebagai bentuk membangun persaudaraan dan mempererat tali silaturahim antar pepadu," katanya.
Dalam pagelaran permainan presean panitia tetap memiliki awik-awik tertentu yang menentukan batasan-batasan badan bagian mana yang boleh dipukul oleh pemain.
Terkait dengan itu, sebagai seorang pecinta budaya daerah, ia berharap pemerintah daerah dapat mendukung pelestarian budaya apalagi Kota Mataram memiliki moto yang maju, religius dan berbudaya.
Kalaupun permainan itu dianggap tidak layak dipertontonkan untuk anak-anak karena terkesan keras, pihaknya siap duduk bersama dan menyusun awik-awiknya.
Kalau memang anak-anak dilarang menonton permainan presean, maka pihaknya siap membina para penyelenggaran presean dan memberlakukan larangan bagi penonton anak-anak.
"Serta memberikan izin hanya kepada kalangan remaja dan dewasa. Prinsipnya, kita siap memperketat aturan asalkan jangan hilangkan `presean`," kata tokoh adat Sasak ini. (*)
