Tiket Olimpiade gagal, Timnas Indonesia harus fokus ke Piala Dunia 2026

id Timnas Indonesia U23,Indoneesia vs Guinea, Olimpiade Paris 2024,Shin Tae-yong Oleh Jafar M Sidik

Tiket Olimpiade gagal, Timnas Indonesia harus fokus ke Piala Dunia 2026

Para pemain timnas Indonesia U23 setelah kalah dari Guinea dalam pertandingan playoff Olimpiade antara Indonesia dan Guinea di Clairefontaine-en-Yvelines, Paris, pada 9 Mei 2024. (AFP/MIGUEL MEDINA)

Jakarta (ANTARA) - Menghadapi Guinea yang ternyata tidak lebih bagus dari tim-tim Asia yang mengalahkan Indonesia dalam Piala Asia U23 2024, Timnas Indonesia U23 tampil gagah berani nan pantang menyerah, kendati gawang mereka sudah dibobol lawan sejak menit ke-29.

Kekuatan mereka pincang karena sebagian pemain andalan absen, termasuk Justin Hubner dan kapten tim Rizky Ridho yang terkena larangan bermain akibat kartu merah pada lawa semifinal Piala Asia U23 2024 melawan Uzbekistan.

Andai pemain-pemain itu tampil dalam pertandingan playoff guna memperebutkan satu tempat tersisa untuk mengikuti Olimpiade Paris 2024 itu, mungkin cerita Garuda Muda akan lain.

Mereka pun gagal mengantarkan sepak bola Indonesia tampil kembali dalam Olimpiade sejak Olimpiade 1956 di Melbourne. Tetapi Garuda Muda telah memberikan teladan dan menancapkan tonggak untuk tampil dalam kompetisi level atas. Dua atau empat tahun ini mereka bisa menjadi yang jauh lebih kuat.

Di atas itu semua, mencapai semifinal Piala Asia U23 dalam kesempatan pertama mengikuti turnamen itu adalah pengalaman langka yang hanya tim-tim besar yang bisa melakukannya.

Bahkan Uzbekistan pun baru tahun ini lolos Olimpiade, padahal tim Asia Tengah itu adalah juara Piala Asia U23 pada 2018, peringkat keempat 2020 dan runner up 2022. Baru tahun ini mereka bisa merasakan atmosfer Olimpiade setelah menjadi runner up 2024.

Dari Uzbekistan kita mendapatkan pelajaran bahwa perlu proses yang bisa memakan waktu lama agar bisa sampai dalam ajang-ajang besar seperti Olimpiade.

Bahkan Uzbekistan tidak langsung mencapai babak penting kompetisi dalam kesempatan pertamanya mengikuti Piala Asia U23, tak seperti dilakukan Garuda Muda pada 2024.

Uzbekistan mesti terlebih dahulu melalui dua kegagalan pada 2013 dan 2016, sebelum bisa melewati fase grup Piala Asia U23 pada 2018, yang akhirnya mereka juarai.

Apa yang dialami Indonesia saat ini juga pernah dialami Uzbekistan pada 2020 ketika mereka gagal mengikuti Olimpiade Tokyo 2020, walau masuk empat besar Piala Asia U23 tapi tak menjadi peringkat ketiga turnamen itu.

Melewati ekspektasi

Perjalanan Garuda Muda sendiri lebih unik lagi. Melewati ekspektasi semua orang dengan mencapai semifinal Piala Asia U23, Witan Sulaeman dan kawan-kawan tiba-tiba memikul beban berat untuk menjadi tim sepak bola Indonesia pertama sejak 1956 yang bertanding dalam arena Olimpiade.

Padahal mereka adalah debutan dengan skuad yang diisi para pemain dengan rata-rata usia paling muda kedua setelah Vietnam dalam Piala Asia U23 2024.

Oleh karena itu, walau mereka tertantang mengulangi pendahulunya pada 1956, beban mereka sungguh berat, ketika lolos ke semifinal Piala Asia U23 pun sebenarnya sudah merupakan pencapaian bersejarah dan menakjubkan.

Cara mereka kalah dari Uzbekistan pada semifinal Piala Asia U23, Irak dalam laga perebutan tempat ketiga, dan Guine pada playoff tiket Olimpiade Paris pun, sungguh membanggakan dan elegan.

Mereka bertarung penuh wira dan percaya diri. Tak ada momen yang membuat keyakinan mereka runtuh walau gawang sudah dijebol lawan.

Sebaliknya, mereka bertarung heroik sampai lawan kesulitan menciptakan gol, bahkan Guinea harus mengantungkan kepada sebuah penalti agar bisa memenangkan laga playoff Kamis malam lalu itu.

Selama Piala Asia U23 Garuda Muda tak pernah kebobolan lebih dari dua gol, dan menciptakan delapan gol ke gawang empat dari enam tim yang mereka hadapi selama turnamen itu. Sewaktu melawan Irak dan Guinea, Indonesia U23 malah menjadi tim yang lebih menguasai lalu lintas bola.

Untuk itu, dari apa yang mereka lalui selama Piala Asia U23 2024 dan playoff melawan Guinea itu, jelas ada peningkatan besar dalam tim sepak bola nasional kita.

Salah satu pilar di balik peningkatan besar itu adalah strategi pelatih Shin Tae-yong dan PSSI dalam melibatkan pemain-pemain keturunan Indonesia yang bermain di luar negeri yang dinaturalisasi dalam proses yang tidak sebentar.

Program ini terbukti berhasil menaikkan performa timnas, termasuk menaikkan peringkat FIFA Indonesia yang kini sudah menyalip Malaysia dan kian mendekati peringkat Vietnam serta Thailand.

Menguatkan fondasi

Pencapaian-pencapaian positif itu membuat tak ada alasan untuk menghentikan program naturalisasi. Sebaliknya, harus lebih agresif lagi, bukan saja demi Olimpiade dan Piala Asia berikutnya, tapi juga demi membentuk timnas sepak bola yang bisa melangkah sampai jauh ke putaran final Piala Dunia.

PSSI harus melanjutkan program ini, kendati sejumlah pihak terus mempersoalkan program ini. Padahal program ini bisa merangsang sepak bola nasional menjadi lebih baik dan lebih kuat, selain dapat mengakhiri siklus kegagalan demi kegagalan di masa lalu.

Semifinal Piala Asia U23 2024 adalah semifinal pertama yang diikuti Indonesia setelah lima kali gagal mencapai turnamen ini. Dan ini sama dengan fase gugur Piala Asia 2023 yang menjadi fase gugur Piala Asia pertama yang ditembus Indonesia setelah berulang kali gagal melakukannya.

Kini, mengingat sebagian anggota skuad Garuda Muda adalah juga skuad timnas senior, perhatian harus beralih kepada kualifikasi Piala Dunia 2026.

Panggung Olimpiade memang besar, tapi kalah besar dan bergengsi dari pada Piala Dunia FIFA. Semua pemain sepak bola profesional, termasuk para supertar seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, ingin tampil di panggung ini.

Ada banyak pemain hebat yang gagal tampil dalam Piala Dunia karena kalah bersaing masuk timnas mereka. Tapi ada banyak jalan bagi sebagian dari mereka agar bisa merawat asa tampil dalam turnamen sepak bola terbesar itu. Salah satunya adalah dengan memperkuat tim negara lain.

Dan keberhasilan Garuda belakangan ini membuat Indonesia masuk daftar negara yang dilihat pemain-pemain semacam itu sebagai gerbang menuju panggung Piala Dunia. Jangan buang kesempatan ini.

Kegagalan merebut tiket Olimpiade mesti memperkuat asa mencapai putaran final Piala Dunia, yang bisa diawali dari Piala Dunia 2026.

Jika pun tiket Piala Dunia 2026 terlalu sulit dicapai, setidaknya rangkaian menuju Piala Dunia 2026 menjadi peluang untuk menguatkan fondasi timnas yang siap berbicara banyak dalam segala turnamen, khususnya Piala Asia, Olimpiade, dan Piala Dunia berikutnya.