Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menilai deflasi yang dialami Indonesia selama 3 bulan berturut-turut masih dalam kategori aman dan sesuai sasaran Pemerintah.
Menurut Ferry, deflasi tersebut utamanya disebabkan harga pangan bergejolak atau volatile food yang turun minus 1,92 persen secara bulanan (mtm) dan tercatat sebesar 3,63 persen secara tahunan (yoy).
“Jadi apa yang terjadi sekarang itu masih sesuai dengan yang kita rencanakan. Kami targetkan inflasi sampai 2,5 plus minus 1 persen. Kita hanya mengharapkan volatile food maksimal 5 persen. Kalau sudah terlalu tinggi tidak bagus buat konsumen, kalau terlalu rendah produksinya malah kena. Akhirnya kita jaga maksimal 5 persen. Ini so far dari 10 persen di bulan Maret, sekarang sekitar 3 (persen), jadi mudah-mudahan kita terus jaga,” kata Ferry di Jakarta, Minggu.
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi bulan Juli 2024 lebih dalam sebesar minus 0,18 persen (mtm) dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat minus 0,08 persen (mtm). Sedangkan secara tahunan tercatat inflasi 2,13 persen (yoy).
Kendati demikian, Ferry mengatakan hingga kuartal II tahun ini secara umum tingkat inflasi Indonesia masih dalam rentang sasaran, namun perlu untuk terus dijaga. Pasalnya, apabila tingkat inflasi terlalu tinggi maka akan berimbas ke konsumen, namun jika terlalu rendah juga akan berdampak terhadap produsen.
Untuk tahun ini, Pemerintah menargetkan inflasi Indonesia sebesar 2,5 persen plus minus 1 persen.
“Nah inflasi itu masih masuk dari target sasaran inflasi, sekarang itu 2,5 (persen) tapi karena ada komponen volatile food itu kita kita tolerir plus minus 1 persen. Jadi kalau masih dalam renge tersebut, artinya dari sisi konsumen produsen itu masih sama-sama menguntungkan. Jadi kalau sudah di luar target itu mungkin bisa ditanya ke kami. Tapi kalau masih dalam sasaran target itu bisa menjaga keseimbangan antara produsen dan konsumen.
Sebelumnya, Ekonom Senior the Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini menilai, deflasi bulan Juli 2024 perlu dicermati dengan baik.
"Perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir ini harus dicermati dengan baik. Tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan rangkaian pengelolaan ekonomi yang tidak memadai. Deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas," kata Didik di Jakarta, Jumat (2/8).
Di samping penurunan harga akibat deflasi, justru Didik menilai deflasi bulan ini sebagai fenomena makroekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya.
Baca juga: Masyarakat NTB diimbau tak tergiur iklan rokok nasional
Baca juga: BPS catat tingkat inflasi di NTB sebesar 1,91 persen pada Juli 2024
Ia mengatakan, deflasi Juli 2024 dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap perekonomian jika tidak diimbangi dengan kebijakan makro dan riil yang tepat. Sebab, deflasi bulan ini mencerminkan adanya penurunan pengeluaran konsumsi masyarakat.
“Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapatannya dan banyak yang menganggur,” ujar Didik.
Berita Terkait
UMKM jadi pengendalian deflasi pertanian di NTB
Rabu, 9 Oktober 2024 18:10
Menkeu: Deflasi beruntun bukan sinyal negatif
Jumat, 4 Oktober 2024 15:37
Kemenkeu optimistis inflasi September 2024 tetap terjaga
Kamis, 3 Oktober 2024 18:44
Pantau harga bapok, Presiden Jokowi kunjungi pasar di Surabaya
Jumat, 6 September 2024 12:43
Konsumsi rumah tangga Jakarta semakin tumbuh pertanda daya beli terjaga
Selasa, 6 Agustus 2024 5:16
NTB mengalami deflasi 0,35 persen pada Juli 2024
Kamis, 1 Agustus 2024 21:42
Penurunan harga beras sumbang deflasi Mei
Rabu, 5 Juni 2024 16:42
BI memprediksi ekonomi Gorontalo alami pertumbuhan pada tahun 2023 dan 2024
Kamis, 30 November 2023 5:32