PM Inggris dan Presiden Prancis bahas konflik Ukraina

id PM Inggris,Presiden Prancis,Ukraina,Timur Tengah,kondisi pasca Brexit,reset,gerakan populis dan nasionalis,partai progre

PM Inggris dan Presiden Prancis bahas konflik Ukraina

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer/ANTARA/Anadolu/PY

London (ANTARA) - Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, pada Kamis (29/8) bertemu Presiden Prancis, Emmanuel Macron, untuk membahas konflik yang sedang berlangsung di Ukraina dan situasi yang tidak stabil di Timur Tengah.

Pertemuan ini, yang berlangsung di tengah kekhawatiran yang semakin meningkat tentang bangkitnya gerakan sayap kanan di seluruh Eropa, menandai momen penting dalam upaya Starmer untuk mengkalibrasi ulang hubungan Inggris dengan tetangga Eropa pasca-Brexit.

Menurut media Inggris, Starmer dan Macron membahas berbagai topik, termasuk isu-isu bilateral yang terkait dengan perdagangan, pertahanan, dan keamanan.

Berbicara kepada wartawan setelah pertemuan tersebut, Starmer menekankan keinginannya untuk menciptakan "reset" dalam hubungan Inggris dengan Prancis dan Uni Eropa secara keseluruhan.

"Kami membahas situasi di Ukraina, seperti yang Anda harapkan, situasi di Timur Tengah, isu-isu bilateral terkait perdagangan, pertahanan, dan keamanan, serta reset yang lebih luas yang saya inginkan dalam hubungan kami, bukan hanya dengan Prancis, tetapi juga dengan Uni Eropa secara umum," kata Starmer.

Ia menegaskan bahwa reset ini merupakan bagian integral dari tujuan Inggris yang lebih luas untuk pertumbuhan ekonomi, dengan menyatakan bahwa "menumbuhkan ekonomi adalah inti dari segala hal yang kami lakukan."

Sebelumnya pada hari itu, Starmer mengunjungi Berlin, di mana ia mengadakan pembicaraan dengan Kanselir Jerman, Olaf Scholz. Di sana, ia menolak kebijakan kebebasan bergerak bagi kaum muda, sebuah proposal yang diajukan oleh Scholz, namun menekankan pentingnya memperkuat hubungan dengan Eropa di era pasca-Brexit.

Starmer juga mengungkapkan keprihatinan mendalam tentang kebangkitan gerakan populis dan nasionalis di seluruh benua, menyebutnya sebagai tren berbahaya yang perlu dilawan dengan keberhasilan partai-partai progresif.

Baca juga: Penahanan CEO Telegram tak terkait politik
Baca juga: Mesir dan Prancis bahas upaya cegah eskalasi di kawasan Timur Tengah

"Ada sejumlah alasan untuk kekhawatiran saya. Sebagian, apa yang terjadi di Inggris, sebagian lagi apa yang kita lihat terjadi di negara-negara Eropa lainnya, termasuk di Prancis dan Jerman," ujarnya kepada wartawan sebelum pertemuannya dengan Macron.

Ia berpendapat bahwa memenuhi janji-janji yang dibuat oleh partai-partai progresif adalah cara terbaik untuk melawan "fatamorgana populisme dan nasionalisme," memberikan tantangan langsung kepada kekuatan sayap kanan yang semakin mendapatkan daya tarik di berbagai negara Eropa.

Sumber : Anadolu-OANA