Mataram (ANTARA) - Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Komisaris Besar Polisi Syarif Hidayat mengungkapkan bahwa pihaknya menggunakan teknologi face recognition untuk mendeteksi para pelaku perusakan gerbang Kantor DPRD NTB saat aksi unjuk rasa tolak pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada pada 23 Agustus 2024.
"Jadi, berawal dari adanya laporan pihak DPRD NTB, kami melakukan penyelidikan dengan lebih dahulu melakukan identifikasi lapangan menggunakan teknologi pengenalan wajah, face recognition. Itu yang kami gunakan," kata Kombes Pol. Syarif Hidayat di Mataram, Selasa.
Dia menjelaskan bahwa foto dan video yang didapatkan saat aksi unjuk rasa tersebut menjadi objek deteksi kepolisian menggunakan teknologi face recognition. "Video foto di lapangan itu yang kami identifikasi gunakan face recognition," ujarnya.
Baca juga: Polisi tembakan gas air mata ke arah mahasiswa aksi di depan Gedung DPRD NTB
Setelah berhasil mengidentifikasi para pelaku yang terungkap melakukan aksi perusakan gerbang saat unjuk rasa tersebut menjadi dasar kepolisian melayangkan surat panggilan.
"Setelah identitasnya kami dapatkan, maka kami panggil satu per satu, mintai keterangan, dari yang satu orang, baru terungkap peran yang lain. Itu semua kami cocokkan pakai alat face recognition," ucap dia.
Oleh karena itu, Syarif menegaskan bahwa hasil permintaan keterangan dan bukti dalam video serta foto aksi di lapangan tersebut yang menjadi dasar pihak kepolisian meningkatkan status penanganan perkara perusakan ini ke tahap penyidikan.
"Itu makanya, setelah kami cocokkan dengan alat pengenalan wajah dengan keterangan saksi-saksi, baru terungkap peran enam tersangka," kata Syarif.
Baca juga: Massa aksi tolak RUU depan Gedung DPRD NTB kian bertambah
Syarif menyampaikan perkembangan kasus enam tersangka yang berasal dari kalangan mahasiswa tersebut kini menuju proses pelimpahan berkas ke jaksa peneliti atau tahap satu.
"Mungkin, dalam waktu dekat ini kami akan tahap satu untuk berkas enam tersangka," ujarnya.
Dia turut menyampaikan bahwa potensi restorative justice dalam kasus ini tetap ada. Namun, peluang penyelesaian perkara tanpa melalui persidangan tersebut bisa terjadi apabila sudah memenuhi syarat formil dan materiil.
"Wadah restorative justice itu memang ada, tetapi harus ada kesepakatan damai antara para pihak, syarat formil dan materiil harus terpenuhi sesuai Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021," kata dia.
Baca juga: Mahasiswa bersama rakyat unjuk rasa di depan DPRD NTB
Enam mahasiswa yang menjadi tersangka dalam kasus ini berinisial HF, MA, MAG, DI, KS, dan RR. Penyidik menetapkan mereka sebagai tersangka dengan menerapkan sangkaan Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan 6 bulan penjara.
Dalam proses penyidikan ini pihak kepolisian tidak melakukan penahanan dengan mempertimbangkan sikap kooperatif para tersangka.
Polda NTB menetapkan enam mahasiswa sebagai tersangka sesuai dengan penerbitan surat Nomor: S.Tap/152-157/RES.1.10/2024/Ditreskrimum.
Baca juga: Aksi demo mahasiswa di depan Gedung DPRD NTB berakhir ricuh
Baca juga: 26 mahasiswa dan warga pedemo depan DPRD NTB diamankan polisi
Baca juga: Di tengah hujan, Ketua DPRD NTB temui massa aksi kenaikan BBM