Jakarta (ANTARA) - Selasa, 5 November 2024 waktu setempat, Amerika Serikat (AS) mulai menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Terdapat dua kandidat calon presiden AS, Donald Trump dari Partai Republik dan Kamala Harris dari Partai Demokrat.
Proses penghitungan suara sendiri dilakukan selama berbulan-bulan, hingga pada awal Januari 2025 nanti. Kongres AS akan mengumumkan hasil akhir pemungutan suara. Penantian ini menjadi momen paling ditunggu di dunia.
Pilpres AS tahun ini bukan hanya jadi ajang kontestasi dua kandidat dalam memperebutkan kursi Gedung Putih, melainkan juga menjadi momentum yang mendebarkan bagi para pelaku usaha mengingat kebijakan ekonomi AS, baik dalam perdagangan, moneter, maupun fiskal, berpotensi memengaruhi stabilitas ekonomi dunia.
Dampak perubahan perekonomian yang timbul dari hasil pilpres nanti tak hanya akan terasa di Amerika, namun juga di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Untung rugi bagi Indonesia
Selama periode Pilpres AS, kebijakan perdagangan selalu menjadi satu isu krusial yang tidak hanya berdampak pada ekonomi domestik AS sendiri, melainkan juga punya pengaruh signifikan terhadap negara-negara lain.
Selama menjadi presiden pada periode 2017–2021, Donald Trump dikenal dengan kebijakan proteksionismenya. Kebijakan proteksionisme sendiri merupakan arah kebijakan yang bertujuan melindungi industri domestik AS dari persaingan luar negeri.
Dalam praktiknya kala itu, pendekatan ini diwujudkan dalam bentuk tarif impor tinggi untuk produk-produk asing. Trump menerapkan tarif impor lebih tinggi 10 persen sampai dengan 20 persen untuk semua produk impor. Bahkan, ia menerapkan 60 persen tarif impor untuk beberapa produk tertentu dari China.
Meski diharapkan bisa memperkuat sektor industri AS, regulasi semacam ini dinilai mengakibatkan biaya tambahan bagi konsumen di Amerika sekaligus menjadi buntut panjang perang dagang AS-China. Jika Trump terpilih kembali, besar kemungkinan kebijakan proteksionisme akan dilanjutkan.
Dari perspektif Indonesia, kebijakan proteksionisme Trump dapat menciptakan hambatan bagi produk-produk Indonesia di pasar AS. Dengan peningkatan tarif impor, produk Indonesia akan menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif di AS, yang bisa mengurangi volume ekspor Indonesia ke sana. Apalagi AS menjadi salah satu mitra dagang andalan bagi ekspor Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, per April 2024 ekspor Indonesia ke AS mencapai sekitar 19,62 miliar dolar AS dengan produk utama seperti minyak kelapa sawit, ban karet, dan alas kaki.
Maka dari itu tak ayal jika Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat bahwa kebijakan Trump akan mempersulit ekspor, dan pemerintah Indonesia harus siap mengantisipasi arus impor produk asing ke dalam negeri.
Di sisi lain, Kamala Harris dari Partai Demokrat memiliki pendekatan berbeda. Ia lebih cenderung mempertahankan ‘status quo’. Ia menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang membuka akses pasar bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Stabilitas kebijakan yang diusung Harris berpotensi meningkatkan akses produk Indonesia di pasar AS, menciptakan peluang ekspor yang lebih besar, dan menjaga hubungan perdagangan bilateral yang selama ini terjalin.
Ini tentu merupakan kabar baik bagi pelaku ekspor Indonesia yang mengandalkan akses pasar internasional untuk pertumbuhan ekonominya.
Kemudian, Wijayanto turut menyoroti soal pengelolaan inflasi. Trump mengusulkan peningkatan produksi minyak domestik guna menurunkan harga minyak internasional. Bagi Indonesia, kebijakan ini dapat menjadi angin segar. Harga minyak yang lebih rendah dapat menurunkan biaya subsidi energi dan membantu mengurangi defisit anggaran.
Kebijakan Trump terkait peningkatan produksi minyak dan penurunan suku bunga jelas akan menguntungkan Indonesia. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia bisa semakin menurun, karena setiap harga minyak naik 1 dolar AS per barel, defisit APBN Indonesia bakal naik Rp5 triliun sampai dengan Rp6 triliun.
Begitu juga dengan langkah penurunan suku bunga dari Trump yang bagus untuk fiskal Indonesia, yang mana masih sangat tergantung pada utang luar negeri.
Di sisi lain, Harris lebih mendukung kebijakan lingkungan dan energi terbarukan yang akan membatasi produksi minyak dan gas fosil. Meski kebijakan ini mungkin akan membuat harga minyak tetap tinggi, pendekatan ini sejalan dengan inisiatif Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Kebijakan Harris dalam isu energi terbarukan membuka peluang bagi investasi hijau di Indonesia, yang mendukung agenda transisi energi nasional.
Dampak kebijakan perpajakan AS
Syahdan, kebijakan pajak juga menjadi fokus penting yang bakal memengaruhi hubungan ekonomi AS-Indonesia.
Tatkala dirinya menjabat, Trump pernah menurunkan tarif pajak korporasi dari 35 persen menjadi 21 persen untuk mendorong investasi domestik. Kendati pemangkasan pajak ini tidak sepenuhnya berhasil meningkatkan investasi seperti yang diharapkan, efek jangka panjangnya bisa berpotensi menarik perusahaan AS untuk mempertimbangkan diversifikasi modalnya ke luar negeri, termasuk ke Indonesia.
Di sisi lain, Harris berencana meningkatkan pajak bagi perusahaan besar dan individu dengan penghasilan tinggi, terutama yang berpenghasilan lebih dari 400,000 dolar AS per tahun.
Pendekatan Harris, yang cenderung menaikkan pajak keuntungan modal, dapat berdampak pada minat investor AS dalam melakukan diversifikasi investasi.
Namun, kebijakan ini juga memberikan peluang bagi Indonesia untuk menarik perusahaan yang ingin meminimalkan beban pajak mereka di AS, terutama perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur dan teknologi.
Dari hasil wawancara beberapa pelaku bisnis di Indonesia, ada kecenderungan bahwa Harris dianggap lebih menguntungkan dari sisi bisnis dan investasi. Apalagi bila menimbang hubungan AS-China yang kian renggang saat Trump menjabat. Hal ini dapat menimbulkan dampak rambatan lebih lanjut terhadap iklim investasi Indonesia.
Secara langsung, Pilpres AS memang berpotensi memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketidakpastian pasar yang dipicu oleh hasil Pilpres AS dapat menyebabkan fluktuasi pasar saham.
Tak terbatas sampai di situ, kebijakan luar negeri kedua kandidat juga berpotensi memengaruhi posisi Indonesia di lingkup Asia Pasifik. Harris mendukung keterlibatan AS di kawasan ini dan akan mempertahankan aliansi internasional, termasuk dukungan untuk Ukraina dalam konflik dengan Rusia.
Pendekatan semacam ini bisa memberikan keseimbangan di kawasan Asia Pasifik, terutama dalam menghadapi dominasi China. Bagi Indonesia, dukungan AS terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia di kawasan juga dapat memperkuat stabilitas politik dan ekonomi yang kondusif bagi perdagangan bebas.
Namun, yang perlu menjadi catatan yakni konflik berkepanjangan antara Ukraina-Rusia, serta konflik Timur Tengah yang tak kunjung menemukan titik tengahnya akan semakin memperpanjang era ketidakpastian ekonomi global. Ini turut menimbulkan efek domino bagi perekonomian domestik Tanah Air.
Sebaliknya, Trump condong pada kebijakan luar negeri yang lebih isolasionis. Ia telah menegaskan jika terpilih, AS tidak akan banyak terlibat dalam konflik internasional, termasuk di Ukraina.
Menyiapkan langkah strategis
Pilpres AS 2024 menawarkan dua jalan yang berbeda dalam arah kebijakan ekonomi. Bagi Indonesia, pemerintah dan pelaku bisnis harus bersiap menghadapi kemungkinan perubahan kebijakan AS yang dapat berdampak langsung pada ekonomi domestik.
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan untuk melindungi industri lokal dari dampak kebijakan proteksionisme jika Trump terpilih, sekaligus memperkuat hubungan perdagangan dengan AS bila Harris menang.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memperkuat daya saing ekonomi melalui diversifikasi ekspor dan mendorong peningkatan kualitas produk lokal. Langkah ini bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pasar tunggal tertentu dan memperluas peluang di pasar internasional.
Pilpres AS 2024 tidak hanya menentukan masa depan AS, tetapi juga memberi dampak secara tidak langsung pada ekonomi Indonesia. Kebijakan perdagangan, fiskal, dan luar negeri dari masing-masing kandidat menjadi penentu arah hubungan ekonomi Indonesia-AS di masa mendatang.
Di tengah dinamika politik global yang terus bergejolak, Pemerintahan Prabowo-Gibran menanggung pekerjaan rumah untuk menavigasi arah kebijakan ekonomi Indonesia pasca Pilpres AS agar dapat meraih manfaat maksimal dari peluang yang ada, sekaligus meredam risiko ekonomi yang mungkin timbul.