HMI MPO: Negara belum adil pada guru swasta

id HMI MPO,guru swasta,negara,adil Oleh M. Risdamuddin *)

HMI MPO: Negara belum adil pada guru swasta

Ketua Komisi Pendidikan PB HMI Periode 2025-2027 M. Risdamuddin (ANTARA/HO -Dok M. Risdamuddin)

Mataram (ANTARA) - Puji syukur ke hadirat Allah SWT, pada hari Selasa 23 September 2025, saya kembali diberikan amanah untuk memimpin Komisi Pendidikan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) MPO periode 2025-2027 di bawah komando Ketua Umum Handi Muharom. Bagi saya, amanah ini bukan sekadar kehormatan formal, melainkan tanggung jawab besar yang menuntut kesungguhan, keikhlasan, serta pengabdian tanpa henti.

Dalam tradisi HMI, kepemimpinan selalu dipandang sebagai sarana untuk mengasah kepekaan sosial, memperjuangkan aspirasi umat, sekaligus meneguhkan kontribusi nyata bagi bangsa. Pendidikan adalah salah satu bidang yang tak pernah bisa dipisahkan dari khittah perjuangan HMI. Maka, setiap langkah di komisi ini adalah bagian dari ikhtiar panjang untuk memastikan dunia pendidikan berjalan adil dan bermartabat.

Namun, di tengah rasa syukur itu, keprihatinan mendalam sulit ditepis. Realitas menunjukkan bahwa tenaga pendidik swasta masih kerap dipinggirkan dalam kebijakan pendidikan nasional. Padahal, jumlah mereka tidak sedikit. Menurut catatan sejumlah lembaga, jumlah guru swasta di Indonesia mencapai 1,8 juta orang, lebih banyak dibandingkan guru negeri yang berkisar 1,2 juta orang.
Angka tersebut menunjukkan bahwa lebih dari separuh wajah pendidikan Indonesia sebenarnya ditopang oleh guru swasta. Mereka mengajar di sekolah-sekolah yayasan, madrasah, hingga sekolah kecil di daerah terpencil. Tanpa mereka, layanan pendidikan tidak akan menjangkau seluruh pelosok negeri.

Ketimpangan Kesejahteraan

Sayangnya, peran besar itu tidak berbanding lurus dengan penghargaan yang diterima. Banyak guru swasta hanya memperoleh gaji di bawah standar kelayakan. Di sejumlah daerah, gaji guru swasta masih berkisar antara Rp 300.000 hingga Rp 1.000.000 per bulan, jauh di bawah upah minimum. Dalam beberapa penelitian, ada pula guru yang hanya menerima kompensasi sekitar Rp 10.000–Rp 20.000 per jam pelajaran.
Perbandingan dengan guru negeri semakin memperlebar jurang ketimpangan. Guru negeri, terutama yang sudah bersertifikasi atau berstatus ASN, mendapatkan gaji pokok, tunjangan profesi, serta berbagai insentif lain. Sementara itu, guru swasta harus bertahan dengan kondisi seadanya.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya memperbaiki kesejahteraan guru melalui skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Hingga Maret 2023, tercatat ada 544.180 guru honorer yang berhasil diangkat menjadi ASN PPPK. Namun, mayoritas penerima manfaat berasal dari sekolah negeri.
Guru swasta kerap menghadapi jalan buntu. Ada yang sudah bertahun-tahun mengabdi, ikut seleksi, bahkan lulus passing grade. Tetapi hingga kini, mereka belum menerima surat keputusan (SK) pengangkatan atau kejelasan penempatan. Kondisi ini menimbulkan rasa frustrasi dan perasaan diabaikan, seolah pengabdian panjang mereka tidak dihitung sama sekali.

Ironisnya, di sisi lain, pemerintah justru menghadapi masalah kekurangan guru secara nasional. Data menunjukkan bahwa pada 2021, kekurangan guru diperkirakan mencapai 1.090.678 orang, dan jumlah itu terus meningkat hingga sekitar 1.312.759 orang pada 2024. Artinya, kebutuhan guru sebenarnya sangat mendesak.
Namun, alih-alih memberi ruang yang adil bagi guru swasta yang telah lama mengabdi, kebijakan masih lebih banyak mengakomodasi jalur negeri. Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara belum sepenuhnya hadir sebagai pelindung dan pemberi keadilan bagi seluruh tenaga pendidik.

Kebijakan terbaru yang diambil pemerintah adalah melakukan redistribusi guru ASN, termasuk PPPK, ke sekolah swasta. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat ada 110 ribu guru swasta yang lulus seleksi ASN PPPK dan mulai ditempatkan ke sekolah negeri dalam kurun waktu empat tahun.
Pada saat yang sama, muncul peraturan yang memungkinkan guru ASN ditugaskan ke sekolah swasta melalui mekanisme redistribusi. Peraturan ini bertujuan untuk menutup kesenjangan, tetapi di lapangan, implementasinya masih menimbulkan pro dan kontra. Bagi sebagian guru swasta, kebijakan ini dianggap tidak menyelesaikan akar masalah: status dan penghargaan bagi mereka yang sudah lama mengabdi tetap belum jelas.

Anggaran yang Kontras

Dalam APBN 2025, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 70 triliun untuk tunjangan kesejahteraan guru ASN dan tunjangan ASN daerah. Sementara itu, layanan pembiayaan kesejahteraan guru non-ASN hanya dialokasikan sekitar Rp 11,5 triliun.
Kesenjangan anggaran ini kembali menegaskan adanya ketidakadilan struktural. Padahal, guru swasta jumlahnya jauh lebih besar, dan peran mereka tak kalah penting dibandingkan guru negeri. Negara masih cenderung memprioritaskan guru negeri dalam hal insentif maupun jaminan kesejahteraan.

Pendidikan adalah pilar utama peradaban. Guru, baik negeri maupun swasta, sejatinya adalah ujung tombak pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bersikap adil, tidak membeda-bedakan pengabdian mereka.
Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara:
“Guru ibarat pelita dalam kegelapan, sumber air di padang tandus.”
Kutipan ini menegaskan bahwa tanpa guru, mustahil bangsa Indonesia dapat melahirkan generasi emas 2045. Namun, jika keadilan bagi guru swasta terus diabaikan, mimpi besar itu bisa terancam hanya menjadi slogan.

engan amanah yang saya emban, saya berkomitmen menjadikan Komisi Pendidikan PB HMI MPO sebagai ruang perjuangan yang tidak hanya menyuarakan gagasan, tetapi juga mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada tenaga pendidik—baik negeri maupun swasta.
Keadilan dalam pendidikan adalah syarat mutlak untuk membangun Indonesia yang beradab dan bermartabat. Maka, perjuangan ini bukan hanya soal jabatan organisasi, melainkan ikhtiar kolektif agar negara benar-benar hadir bagi seluruh guru di tanah air.

*) Penulis adalah Ketua Komisi Pendidikan PB HMI Periode 2025-2027



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.