PB HMI desak presiden tetapkan banjir Aceh dan Sumatera sebagai bencana Nasional

id PB HMI,presiden,banjir,aceh,sumatera,bencana nasional

PB HMI desak presiden tetapkan banjir Aceh dan Sumatera sebagai bencana Nasional

Ketua Komisi Lingkungan Hidup dan Kehutanan PB HMI Abdul Halik (ANTARA/HO - Dok Abdul Halik)

Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional karena dampak kemanusiaannya dinilai sangat besar.

Ketua Komisi Lingkungan Hidup dan Kehutanan PB HMI Abdul Halik menyampaikan bahwa skala korban dan kerusakan akibat bencana ekologis tersebut telah melampaui kemampuan penanganan pemerintah daerah.

“Bencana ini telah membawa dampak kemanusiaan yang luar biasa sehingga pemerintah perlu segera menetapkannya sebagai bencana nasional,” kata Abdul Halik dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Senin.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 12 Desember 2025, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir bandang dan longsor di tiga provinsi tersebut mencapai 990 jiwa. Rinciannya, sebanyak 407 orang di Aceh, 343 orang di Sumatera Utara, dan 240 orang di Sumatera Barat. Selain itu, 222 orang masih dinyatakan hilang.

BNPB juga mencatat jumlah pengungsi mencapai sedikitnya 902.545 jiwa yang tersebar di berbagai posko dan tenda darurat. Bencana tersebut turut merusak sedikitnya 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, serta 434 tempat ibadah.

Abdul Halik mengatakan proses evakuasi hingga kini masih berlangsung dan jumlah korban berpotensi terus bertambah. Sementara itu, kapasitas pemerintah daerah dinilai terbatas dalam menjangkau seluruh wilayah terdampak.

Baca juga: Kemlu: Kekuatan nasional dikerahkan ke Sumatera

Ia mencontohkan pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang menyebutkan bantuan pemerintah belum sepenuhnya menjangkau seluruh daerah terdampak banjir dan longsor.

Selain menimbulkan korban jiwa, bencana tersebut juga menyebabkan kerusakan serius pada infrastruktur dasar. Akses jalan dan jembatan terputus, aliran listrik dan jaringan komunikasi terganggu, serta ribuan rumah warga rusak atau hancur.

“Akibat kondisi itu, para korban menghadapi kelangkaan pangan, ancaman kesehatan, dan sangat bergantung pada bantuan masyarakat serta relawan,” ujarnya.

PB HMI juga menyoroti pernyataan pemerintah pusat yang menyebut masih mampu menangani bencana tanpa bantuan komunitas internasional. Menurut Abdul Halik, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan kondisi di lapangan.

Ia menyebut kebutuhan dasar warga seperti makanan, air bersih, layanan kesehatan, dan tempat tinggal layak jauh lebih besar dibandingkan kapasitas penanganan yang tersedia saat ini. Di sisi lain, Gubernur Aceh disebut telah menyatakan tidak akan mempersulit masuknya bantuan internasional bagi korban bencana di wilayahnya.

PB HMI menilai bencana ekologis di wilayah Sumatera dan Aceh merupakan akibat dari kerentanan lingkungan yang dipicu deforestasi dan alih fungsi hutan di daerah aliran sungai. Organisasi tersebut mencatat bahwa sepanjang 2016 hingga 2024, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kehilangan lebih dari 1,4 juta hektare hutan akibat aktivitas pertambangan, perkebunan kelapa sawit, serta pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan.

Baca juga: BSI mengiirim bantuan 25 tangki air bersih ke wilayah pascabencana

Kerusakan tersebut, menurut PB HMI, memperparah dampak hujan ekstrem dan siklon tropis Senyar yang kemudian memicu banjir bandang dan longsor berskala besar.

“Ini merupakan konsekuensi dari tata kelola lingkungan yang gagal melindungi hutan dan berdampak pada hilangnya hak-hak dasar masyarakat,” kata Abdul Halik.

PB HMI mengingatkan bahwa dalam kondisi bencana, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak hidup warga, termasuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, layanan kesehatan, dan tempat berlindung yang aman.

Selain itu, organisasi tersebut menekankan bahwa apabila kapasitas respons nasional tidak mencukupi, negara memiliki kewajiban untuk mencari bantuan internasional, sebagaimana diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

“Oleh karena itu, kami mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan bencana banjir bandang di Aceh dan wilayah Sumatera sebagai bencana nasional agar penanganannya lebih terkoordinasi dan optimal,” ujarnya.

Baca juga: AAUI soroti ketimpangan perlindungan asuransi
Baca juga: Baznas NTB salurkan bantuan kemanusiaan untuk warga Tamiang Aceh

Pewarta :
Editor: Abdul Hakim
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.