Mataram (ANTARA) - Pernahkah kita berpikir kenapa musim buah yang lebat tidak lagi terjadi setiap tahun? Apakah ini hanya kebetulan atau ada faktor lain yang mempengaruhinya?
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, musim mangga dan durian yang tahun ini terjadi secara bersamaan, buahnya tidak selebat tahun 2024. Sentra buah-buahan, seperti Pasar Kekait dan Pasar Karang Bayan di Kabupaten Lombok Barat, tampak lengang dari aktivitas jual-beli.
Sejumlah pedagang mengungkapkan hujan yang sering turun saat musim kemarau telah merusak putik durian dan mangga, sehingga produksi buah menjadi lebih sedikit. Kondisi itu membuat harga melambung lebih dari satu kali lipat ketimbang harga tahun lalu.
Fenomena La Nina yang terjadi tahun ini memengaruhi cuaca yang seharusnya kemarau kering, justru menjadi kemarau basah akibat hujan turun nyaris tanpa jeda.
Fase dari siklus iklim global tersebut terjadi akibat suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah lebih dingin dari rata-rata, sehingga meningkatkan curah hujan, terutama bagi kawasan yang terletak dekat garis khatulistiwa.
Pada 2023 sampai 2024, pasokan buah melimpah karena saat itu didukung adanya fenomena El Nino. Musim kemarau nyaris tanpa hujan, sehingga mendongkrak produktivitas tanaman buah yang sangat bergantung terhadap kondisi cuaca.
Perubahan iklim mempengaruhi frekuensi dan intensitas La Nina maupun El Nino. Ketika suhu laut global semakin hangat akibat perubahan iklim, maka energi panas yang terkandung di dalam laut meningkat, membuat La Nina dan El Nino hadir lebih lama, lebih sering, dan lebih merusak.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebut kejadian ekstrem dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO) kemungkinan besar terjadi lebih sering pada abad ini akibat pemanasan global.
Bagi daerah kepulauan, seperti Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari 403 pulau, tentu harus berjuang keras menghadapi dampak dari perubahan iklim tersebut.
Keterbatasan lahan pertanian dan perkebunan membuat daerah kepulauan berpotensi menggantungkan hidup sepenuhnya terhadap komoditi impor yang didatangkan dari luar daerah dan luar negeri.
Lantas bagaimana cara agar daerah kepulauan bisa bertahan dari pengaruh perubahan iklim?
Adaptasi penduduk pesisir
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dari total 1.166 desa/kelurahan di Nusa Tenggara Barat, sebanyak 25,04 persen atau setara 292 desa/kelurahan berbatasan langsung dengan laut.
Penduduk pesisir adalah kelompok paling rentan yang berada di garis terdepan risiko perubahan iklim. Ketika kenaikan muka air laut terjadi yang disertai banjir rob hingga abrasi, maka migrasi penduduk pesisir tidak bisa terelakkan.
Adaptasi merupakan hal mendesak yang harus dilakukan demi melindungi permukiman, mata pencaharian, dan ekosistem laut dari dampak perubahan iklim.
Bagi daerah kepulauan yang mengandalkan pariwisata bawah laut sebagai lokomotif ekonomi, maka peristiwa pemutihan karang atau coral bleacing akibat kenaikan suhu permukaan laut dapat mengancam aktivitas industri pariwisata.
Nusa Tenggara Barat yang masuk ke dalam zona Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle pernah mengalami peristiwa pemutihan karang yang masif dan fenomenal pada tahun 2016.
Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya Malang mengungkap fakta ilmiah tentang pemanasan global yang menyebabkan pemutihan karang di beberapa lokasi taman wisata perairan Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan (akronim Gili Matra) di Kabupaten Lombok Utara.
Data Satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) mencatat peningkatan suhu permukaan laut terjadi mulai September 2015. Saat itu suhu permukaan laut hanya 27,5 derajat Celcius.
Suhu kemudian perlahan naik, hingga menyentuh puncak terpanas pada Mei 2016 yang mencapai 30,5 derajat Celcius. Hanya dalam waktu delapan bulan suhu permukaan laut melonjak 3 derajat Celcius.
Perubahan yang signifikan tersebut menyebabkan terumbu karang tidak bisa menoleransi kenaikan suhu perairan, sehingga memicu pemutihan karang.
Komposisi koloni karang yang terkena pemutihan sebanyak 50 persen, sedangkan koloni dengan kondisi pucat sebanyak 18 persen, dan koloni yang ditemukan dalam kondisi normal mencapai 31 persen. Terumbu karang mati yang disebabkan akibat pemutihan hanya sebesar 1 persen.
Peristiwa pemutihan karang adalah ancaman serius yang dialami penduduk pesisir akibat dampak perubahan iklim. Kerusakan terumbu karang berkelindan terhadap populasi ikan.
Ketika jumlah ikan menurun, maka hal itu berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan. Penduduk pesisir harus melakukan diversifikasi mata pencaharian agar tidak sepenuhnya bergantung kepada laut.
Perubahan iklim juga membuat siklon tropis lebih intens terjadi pada masa kini maupun masa mendatang. Siklon tropis terbentuk akibat pemanasan suhu permukaan laut.
Pusat siklon tropis dunia terletak di wilayah barat laut Samudera Pasifik, lalu diikuti oleh wilayah tenggara Samudra Hindia atau perairan barat Australia. Kawasan Nusa Tenggara Barat masuk ke dalam zona pertumbuhan siklon tropis yang subur.
Kegiatan rehabilitasi dan penanaman mangrove merupakan cara sederhana yang dapat dilakukan untuk melindungi pesisir dari amukan gelombang laut, abrasi pantai, dan banjir rob.
Akar mangrove adalah tempat berlindung hingga pemijahan bagi banyak spesies ikan, udang, dan kepiting. Tutupan mangrove yang padat dapat meningkatkan populasi keragaman jenis hewan laut.
Pemerintah sebagai otoritas tertinggi harus menghentikan perluasan lahan tambak dan hotel tepi laut yang bersinggungan langsung dengan habitat mangrove. Jarak sempadan pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat harus dipatuhi oleh semua pihak.
Keberadaan mangrove sebagai sabuk hijau menjadikan kawasan pesisir lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim, sekaligus menyediakan bahan pangan yang murah dan bergizi bagi penduduk tepi laut.
Ilmu pengetahuan
Kita tidak bisa lagi berpatokan terhadap kalender musim tentang nama-nama bulan yang punya akhir "ber" adalah musim hujan.
Perubahan iklim membuat musim hujan dan musim kemarau datang tidak lagi tepat waktu, serta mengubah pola tanam yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Bagi daerah kepulauan yang punya lahan pertanian dan perkebunan terbatas perlu melirik rekayasa genetika tanaman guna memenuhi kebutuhan pangan domestik.
Kondisi cuaca yang tidak menentu dan sulit diprediksi menimbulkan masalah serius dalam industri pertanian maupun perkebunan.
Sejumlah ilmuwan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kampus, serta lembaga riset swasta terus mengembangkan aneka tanaman pangan rekayasa genetika yang tahan cuaca ekstrem serta serangan hama.
Baru-baru ini, peneliti BRIN merakit varietas tembakau yang toleran terhadap genangan maupun banjir. Riset yang dimulai sejak tahun 2020 itu memakai metode seleksi Padegree, sedangkan uji daya hasil pendahuluan ditargetkan berlangsung pada 2026.
Tembakau adalah jenis komoditi perkebunan yang hanya cocok dibudidayakan saat musim kemarau. Fenomena La Nina yang membuat musim kemarau menjadi basah mempengaruhi produktivitas tembakau.
Penyakit layu daun dan busuk batang umum terjadi pada tanaman tembakau yang sering diguyur hujan. Kerusakan tanaman tembakau membuat petani merugi karena kualitas daun tembakau menurun.
Rekayasa genetika tanaman tembakau dapat menjadi jalan tengah dalam menghadapi perubahan iklim bagi daerah penghasil tembakau, seperti Nusa Tenggara Barat.
Tak hanya tembakau, ilmuwan juga mengembangkan varietas unggul lain, di antaranya bawang merah dan padi agar memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi cuaca ekstrem dan perubahan lingkungan.
Teknologi mengubah DNA suatu organisme yang dikenal genome editing, kini populer di kalangan periset. Teknologi itu bertujuan agar produktivitas komoditi pertanian dan perkebunan bisa mencukupi kebutuhan manusia.
Kombinasi teknologi genetik yang disandingkan dengan pertanian ramah lingkungan dan konservasi sumber daya alam adalah cara solutif untuk beradaptasi secara jangka panjang.
Ilmu pengetahuan tidak bisa menghentikan secara penuh perubahan iklim, namun ia dapat membuat manusia punya kemampuan bertahan hidup, beradaptasi, dan mengurangi dampak dari iklim yang terus berubah.
