Tajuk ANTARA NTB - Kampung nelayan NTB: Antara proyek dan keberpihakan

id Tajuk ANTARA NTB,Kampung nelayan NTB,proyek,ntb,merah putih Oleh Abdul Hakim

Tajuk ANTARA NTB - Kampung nelayan NTB: Antara proyek dan keberpihakan

Seorang nelayan membersihkan perahunya yang diparkir di kampung nelayan Pondok Perasi, Kelurahan Bintaro Jaya, Ampenan, Mataram, NTB, Sabtu (6/2/2021). Pemerintah Kota Mataram, NTB menyiapkan bantuan logistik sembako kepada sekitar 150 KK nelayan yang tidak melaut akibat cuaca ekstrem yang terjadi sejak sebulan lalu dengan rinciannya 70 KK di Lingkungan Pondok Perasi, 47 KK di Kampung Bugis dan 33 KK di Lingkungan Bintaro Jaya.ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/foc. (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Mataram (ANTARA) - Program Kampung Nelayan Merah Putih menghadirkan harapan baru bagi kawasan pesisir Nusa Tenggara Barat (NTB) yang selama ini identik dengan kemiskinan struktural di tengah kelimpahan sumber daya laut.

Dengan puluhan desa diusulkan dan sebagian mulai dibangun, NTB berada pada momentum penting untuk menata kampung nelayan secara lebih layak, produktif, dan berkelanjutan.

Namun di balik ambisi tersebut, tersimpan tantangan mendasar tentang bagaimana memastikan pembangunan tidak berhenti sebagai proyek fisik semata.

Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap perekonomian NTB terus menunjukkan tren positif. Ironisnya, peningkatan itu belum sepenuhnya dirasakan nelayan kecil.

Rantai distribusi yang panjang, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya infrastruktur pascapanen membuat nilai tambah hasil laut lebih banyak dinikmati di luar kampung nelayan. Kondisi inilah yang ingin diputus melalui program Kampung Nelayan Merah Putih.

Pembangunan dermaga, tambatan perahu, pabrik es, cold storage, hingga koperasi desa menjadi tulang punggung program tersebut. Bagi nelayan, fasilitas ini bukan simbol modernisasi, melainkan kebutuhan dasar agar aktivitas melaut tetap bernilai ekonomi.

Tanpa es dan tempat penyimpanan yang memadai, hasil tangkapan harus segera dijual dengan harga rendah. Dalam konteks ini, arah kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil nelayan patut diapresiasi.

Namun persoalan kampung nelayan di NTB tidak hanya soal infrastruktur. Banyak kampung tumbuh secara organik di sempadan pantai, kawasan rawan abrasi, dan lahan dengan status hukum yang belum jelas.

Ketiadaan kepastian lahan menjadi batu sandungan serius bagi pembangunan fisik. Tanpa penataan tata ruang yang matang, program justru berisiko memicu konflik baru, baik antarwarga maupun dengan kepentingan lain di kawasan pesisir.

Selain itu, penerimaan masyarakat menjadi faktor penentu. Kampung nelayan bukan sekadar kumpulan bangunan, tetapi ruang hidup dengan ikatan sosial dan budaya yang kuat.

Penataan ulang atau relokasi tanpa dialog yang setara berpotensi menggerus kepercayaan dan memunculkan resistensi. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa program yang mengabaikan dimensi sosial cenderung rapuh dan sulit berkelanjutan.

Dilema juga muncul ketika kampung nelayan bersinggungan dengan kawasan pariwisata. Integrasi dengan pariwisata memang membuka peluang ekonomi baru, tetapi tanpa perlindungan yang jelas, nelayan rentan tersisih.

Kampung nelayan bisa berubah menjadi etalase wisata, sementara nelayan hanya menjadi pelengkap. Risiko ini perlu diantisipasi sejak awal dengan menempatkan nelayan sebagai subjek utama pembangunan.

Ambisi nasional membangun ratusan kampung nelayan menuntut pendekatan yang fleksibel. Karakter kampung nelayan di NTB sangat beragam, dari pesisir selatan Lombok hingga teluk-teluk di Sumbawa.

Kebutuhan nelayan tangkap berbeda dengan nelayan budidaya, begitu pula tantangan geografis dan sosialnya. Pendekatan seragam berisiko melemahkan tujuan awal program.

Menata kampung nelayan seharusnya dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang. Penguatan kelembagaan nelayan melalui koperasi menjadi kunci agar fasilitas yang dibangun tidak mangkrak.

Koperasi yang dikelola transparan dapat mengelola pabrik es, cold storage, hingga distribusi sarana produksi, sehingga nilai tambah hasil laut tetap berputar di kampung.

Pemerintah daerah memegang peran strategis sebagai penghubung kebijakan nasional dan realitas lokal. Sinkronisasi tata ruang, kepastian lahan, serta pendampingan berkelanjutan harus menjadi prioritas.

Kampung nelayan tidak boleh berhenti sebagai deretan bangunan baru tanpa kehidupan ekonomi yang bergerak.

Kampung nelayan adalah cermin pilihan pembangunan pesisir. NTB memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa pembangunan dapat berjalan seiring dengan keberpihakan pada nelayan kecil.

Tantangannya kini adalah memastikan program tersebut benar-benar menjawab kebutuhan mereka yang selama ini menggantungkan hidup pada laut, bukan sekadar memenuhi target pembangunan.

Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Surfing NTB: Lebih dari sekadar event
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Ketika hutan Sumbawa tak lagi terjaga
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - HUT NTB: Menata arah di usia 67
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Desa berdaya, harapan baru pengentasan kemiskinan di NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mengurai simpul sampah perkotaan NTB
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menjaga ingatan Bumi Gora
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Menguatkan Lombok Sumbawa di peta budaya
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Koruptor: Orang berilmu yang serakah
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Mandalika di bawah ancaman tambang liar



COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.