Syiar Islam - 20 Hari di Bukit Bayan (2)

id Syiar Islam

Syiar Islam - 20 Hari di Bukit Bayan (2)

Saat sahur di Bayan, Lombok Utara (Nazri)

Mataram (ANTARA) - Tidak seperti yang dibayangkan

“20 hari mungkin akan terasa lama dan membosankan," bisikku dalam hati saat melihat jamaah yang salat berjamaah pertama kali di masjid tersebut, yang terlihat banyak di shaf shalat hanya remaja dan anak-anak, para orang tua ke mana?.

Baca juga: Syiar Islam - 20 Hari di Bukit Bayan (1)
Baca juga: UMMat akan menempatkan mahasiswa di pedesaan untuk syiar Islam

“Assalamualaikum ustaz,”  seorang anak muda bernama Ritali mengulurkan tangannya untuk berkenalan sembari mulai banyak bercerita pengalamannya dahulu hidup di Kota Mataram, dan selanjutnya ia menjadi guide saya selama 20 hari di sana.

“Beginilah kondisi kami ustaz, para orang tua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, ajaran agama Islam masih kalah dengan adat leluhur kami disini,” ia memulai ceritanya.

Dahulu bahkan ada salah seorang warga yang melarang anaknya untuk pergi ke masjid, gara-gara si anak sakit setelah pulang ke masjid. Ia beranggapan kalau sebab sakit anaknya adalah karena pergi ke masjid.

“Besok  akan ustaz buktikan sendiri bagaimana orang-orang di sini berpuasa, dan juga ajari kami Tauhid lebih mendalam lagi ustadz, sebab itu yang sangat kami butuhkan di sini daripada Fiqih yang sudah sering di sampaikan oleh dai-dai sebelumnya,” pintanya.

Saya pun mengiyakan, sembari menceritakan program-program yang akan dilaksanakan selama 20 hari di sana, yang salah satunya adalah mengajarkan anak-anak mengaji di 3 dusun setempat secara bergantian di dusun masing-masing.

“Insya Allah siap antar jemput ustaz,” katanya sembari melepaskan senyum tanda kesanggupan.

Hari Pertama
Senyum mentari pagi, pagi pertama di bukit Bayan. Udaranya menggodaku untuk ke luar bercengkrama dengannya, yang saat itu baru masuk musim penghujan. Di jalanan yang menanjak dan berbatu, anak-anak hilir mudik jalan kaki bersekolah, hanya ada satu atau dua orang saja yang terlihat memakai motor sebab jauhnya lokasi sekolah dengan tempat tinggal, itupun saat tidak turun hujan ketika malamnya.

Tanah akan berlumpur selesai hujan turun, ditambah lagi jalanan yang menanjak dan bebatuan, membuat mereka dengan cara terpaksa harus jalan kaki menelusuri hutan desa Akar-Akar untuk pergi sekolah dan dengan terpaksa juga mereka menunda untuk pergi ke masjid saat malam tiba. Sepeda motor tidak akan bisa berjalan sebab jalanan yang berlumpur.

Sambil melepas lelahnya mata, aku menelusuri jalanan sembari menyapa warga sekitar, dan benar saja seperti yang di ceritakan tadi malam. Dengan santainya dan tanpa ada rasa berdosa sedikitpun warga yang sarapan dan merokok dengan santai di depan rumahnya.

Dalam hati hanya bisa berdoa tanpa bisa berbuat banyak untuk memberi nasihat secara langsung, “semoga saja suatu saat ada yang mampu merubah sekalipun itu bukan melalui tangan saya”.

Harapan dari bukit Bayan.
Saat senja sudah beranjak kembali ke peraduannya, seperti biasa selepas Isya dan tarawih.

Bercengkrama dengan Ritali, orang yang paling setia menemani selama berada di sana. Orang yang tanpa lelah membersamai hingga naik dan turun bukit nan bebatuan menghantarkanku keliling ke tiga dusun setempat untuk mengajarkan anak-anak mengaji setiap sore ataupun untuk menemui masyarakat. Darinya jualah aku banyak mendapatkan informasi kondisi masyarakat setempat, baik dan buruknya.
Hingga tibalah jua di malam terakhir dia membersamai saya. Dengan nada suara yang sedikit lirih ia mulai bercerita harapan-harapannya.

“Ustadz, beginilah memang kondisi kami disini, sangat jauh tertinggal dalam segala hal termasuk masalah Islam, shalat jum’at pun masih harus di absen baru bisa datang ke masjid. Mewakili masyarakat saya memohon maaf atas ketidaknyamanan dan keanehan-keanehan yang dilihat selama berada disini”, lirihnya.

Beginilah adanya kami, dari 3 dusun yang berada di sini, yang menamatkan pendidikan hingga dunia perkuliahan hanya 5 orang, sisanya hanya bisa sampai di tingkat SMA dan SMP, bahkan banyak yang tidak menamatkan sekolah dasar, sebab itu jualah pemahaman kami masalah agama sangat jauh dari kesempurnaan.

“Semoga ini bukan menjadi pertemuan terakhir, dan jangan sungkan untuk berkunjung kembali,” tutupnya.

(tamat)