Syiar Islam - 20 Hari di Bukit Bayan (1)

id Santri,Syiar Islam

Syiar Islam - 20 Hari di Bukit Bayan (1)

Saat sahur (Nazri)

Mataram (ANTARA) - Semburat cahaya mentari pagi itu, menerobos masuk menembus rindangnya pepohonan di sepanjang jalanan bukit Pusuk Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. 

Udara dingin khas pegunungan Rinjani kian terasa di sekujur tubuh sepanjang perjalanan menuju Bayan, Kabupaten Lombok Utara, lokasi yang sudah ditetapkan oleh pihak kampus Universitas Muhammadiyah Mataram, untuk melaksanakan kegiatan praktik dakwah sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk mengemban tugas maha berat itu. Mendengar kalimat itu saja sebelumnya membuat nyaliku terciut, ingin rasanya aku angkat bendera putih  saja tanda menyerah. Bukan tanpa alasan rasa ingin menyerah itu ada, berdakwah selama 20 hari dengan status sebagai mahasiswa yang hanya memiliki secuil ilmu agama.

Rasanya belum pantas untuk mengemban tugas nan mulia itu jika harus dibandingkan dengan para Tuan Guru yang lebih dahulu melakukannya, dengan kapabilitas pemahaman ilmu agama yang mumpuni.

Namun, satu surah dalam Al-Qur’an, surah Al-‘Ashr membuyarkan rasa ketidakpercayadirian dalam hati itu sirna.

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keraguan. Kecuali orang-orang yang beramal shalih dan orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr: 1-3)

Sejak saat itu pula sampai sekarang surah tersebut menjadi motto hidup saya. Selagi masih bisa saling menasihati dalam kebaikan, setinggi apapun tingkat pendidikan dan sosial agama yang kita miliki, itu tidak akan mempunyai arti. Engkau tidak akan ditanya apa gelarmu oleh masyarakat, tapi apa kontribusi yang bisa kau berikan kepada mereka.

Di persinggahan

Tepat jam digital di telepon selularku menunjukkan pukul 11.00 WITA, bus yang membawaku dari Terminal Mandalika di Mataram berhenti tepat sesuai pesanan sebelum berangkat, di depan kantor Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. 

Tempat persinggahan sementara sebelum ke lokasi. Seorang anak muda membawa motor tepat berhenti di depan saya dan langsung menanyakan nama, “Ustadz Nazri ya ?”, dengan segera saya menganggukkan kepala tanda membenarkan. 

“Ayo naik, sudah ditunggu sama ustadz dari tadi di rumahnya”, ia menginstruksikan. 

Sepanjang perjalanan kami saling bertanya nama untuk berkenalan, Darman namanya, dari Tanjung, Lombok Utara. Usianya lebih muda 3 tahun dari saya, tapi semangat mengajarnya yang luar biasa harus ku akui ia lebih unggul. 

Sekali seminggu, setiap hari sabtu ia datang dari kampungnya untuk berbagi ilmu agama kepada anak-anak yang membutuhkan di desa Sukadana, Bayan, Lombok Utara.

Sesampai di rumah ustadz Huda, dai asal Jawa yang sudah berpuluh tahun di tugaskan di sana dan menetap, setelah berkenalan singkat dengan beliau, saya dipersilahkan langsung untuk beristirahat sejenak di masjidnya sebelum diantar ke lokasi yang sudah di tentukan selesai sholat zuhur.
Dilokasi.

Selepas Salat Dzuhur, dengan mengendarai motor miliknya saya dibonceng menuju lokasi. Sepanjang perjalanan menuju lokasi tugas di desa Akar-Akar, hati tidak berhenti berbisik, akankah saya betah selama 20 hari disana ?. 

Sebab sepanjang perjalanan yang terlihat hanya bebatuan, sungai-sungai yang tak berair, jalan yang belum semuanya beraspal, kalaupun beraspal, itu sudah tidak layak lagi, yang banyak hanya bebatuan dan debu yang beterbangan.

Seakan mengetahui isi hati saya, Ustadz Huda sepanjang perjalanan menguatkan saya bagaimana harus bersosial kepada masyarakat nanti sembari mendoakan agar betah disana. 

“Ucapkan salam kepada siapapun yang kau temui, itu menunjukkan engkau adalah Muslim”, ujarnya.

Sesampai di lokasi, saya langsung dibawa ke rumah kepala lingkungan setempat untuk di serahkan disana, dusun Langkang Koq namanya. Setelah perkenalan seperlunya Ustaz Huda langsung mohon diri untuk balik pulang. 

Oleh kepala lingkungan Langkang Koq langsung mengantarkan saya ke tempat penginapan selama 20 hari ke depan. Sebuah tempat posyandu dengan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Tempat tersebut menjadi tempat posyandu untuk 3 dusun yang ada di sekitarnya.

Saat kumandang adzan maghrib sayup-sayup terdengar, setelah berbuka puasa di rumah kepala lingkungan Langkang Koq. Saya langsung diajak ke masjid untuk di perkenalkan kepada warga setempat.

Benar saja seperti bayangan saya saat pertama menginjakkan kaki di sana siang tadi. Gelap gulita, jarak satu rumah dengan rumah lainnya yang berjauhan, membuat kampung tersebut seperti kuburan saat malam mulai menjelang, belum lagi jalannya yang bebatuan, bisa-bisa engkau akan terjatuh tersandung batu atau menabrak anjing jika tak membawa senter ketika melakukan perjalanan malam.

Jauh berbanding terbalik dengan gemerlapnya Kota Mataram yang bermandikan cahaya.
 
Waktu Salat Isya sudah tiba. Saya dipersilakan untuk memimpin salat, sekaligus tarawih. Shalat tarawih pertama menjadi imam, rasanya cukup deg-degan, takut salah bacaan ayat Al Quran.

Di masjid berukuran 7 meter persegi tersebut, diperkenalkan langsung oleh bapak Kepala Lingkungan kepada para jamaah, selesai Salat Isya dan tarawih. (Bersambung)