Jaksa KPK menuntut perampasan mobil mewah Markus Nari

id markus nari,range rover ,kpk

Jaksa KPK menuntut perampasan mobil mewah Markus Nari

Politikus Partai Golkar Markus Nari yang juga anggota DPR 2009-2014 dituntut 9 tahun penjara ditambah denda sejumlah Rp500 juta subisder pidana kurungan selama 6 bulan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin. (28/10/2019) (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Jakarta (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut perampasan mobil merek "Land Rover" milik politikus Golkar Markus Nari yang dinilai berasal dari aliran dana KTP-Elektronik.

"Karena terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana menerima uang aliran dana E-KTP maka barang bukti No 7513-7515 dalam berkas perkara merupakan hasil pembelian dari uang yang berasal dari aliran dana E-KTP maka sudah sewajarnya mobil tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti kerugian negara," kata JPU Ahmad Burhanuddin di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Mobil tersebut adalah mobil "Land Rover" tipe Range Rover 5.0 L 4x4 warna hitam nomor polisi B 963 MNC tahun 2010 yang dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Barang bukti lain yang juga dimintakan untuk dirampas untuk negara adalah uang pengembalian melalui KPK dari pengacara Anton Tofik yang diterima dari Markus Nari sebesar 10 ribu dolar AS dan 10 ribu dolar Singapura serta Rp2 juta yang dikembalikan panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Suswanti yang merupakan uang yang diterima dari Markus Nari melalui Anton Tofik.

Dalam perkara ini, Markus Nari dituntut 9 tahun ditambah denda sejumlah Rp500 juta subisder pidana kurungan selama 6 bulan.

Selain itu, Markus juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar 900 ribu dolar AS subsider 3 tahun kurungan.

JPU KPK juga menuntut pencabutan hak politik Markus.

"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak terdakwa untuk menduduki dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan," kata jaksa Andhi Kurniawan.

"Jika terdakwa merasa tidak menerima uang aliran KTP-E maka seharusnya tidak perlu gusar dan gelisah serta tidak perlu mempengaruhi orang lain untuk tidak memberikan keterangan yang sebenarnya dalam perkara ini yaitu Miryam S Haryani dan Sugiharto. Bahkan memberikan uang yang tidak sedikit kepada Anton Tofik yaitu 10 ribu dolar Singapura dan 10 ribu dolar AS yang bila dinominalkan dengan kurs saat itu adalah Rp227,062 juta sehingga dalih terdakwa yang mengatakan uang untuk Anton Tofik untuk bantuan umroh harus ditolak," tambah jaksa Arif Suhermanto.

Atas tuntutan tersebut, Markus akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi) pada 4 November 2019.