Jakarta (ANTARA) - Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Amaliya menyatakan pelarangan rokok elektrik di sejumlah negara dinilai justru membuat perokok dewasa akan mengisap tembakau konvensional.
“Pelarangan rokok elektrik seperti di India, Turki, dan China akan semakin meningkatkan pemahaman negatif terhadap rokok elektrik. Pelarangan tersebut akan menghalangi hak perokok dewasa beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko daripada rokok,” kata Amaliya dalam informasi tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu malam.
Dampak terbesar dari pelarangan tersebut adalah perokok dewasa akan tetap mengonsumsi rokok yang dibakar. Kondisi tersebut, menurut Amaliya, membuat ancaman kesehatan terhadap perokok dewasa akan semakin besar. “Risiko dari pelarangan tersebut akan membuat orang terus merokok, sehingga tentunya akan membahayakan hidupnya,” ujarnya pula.
Amaliya menjelaskan Pemerintah Inggris justru memiliki pandangan yang berbeda dengan Amerika Serikat. Divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, Public Health England (PHE), secara konsisten mensosialisasikan bahwa perokok dewasa harus mendapatkan alternatif agar beralih sepenuhnya ke produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, sehingga dapat meninggalkan rokok.
“PHE meyakini bahwa rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih rendah daripada rokok yang membunuh hampir 220 orang di Inggris setiap hari. Menggunakan rokok elektrik yang mengandung nikotin membuat seseorang lebih mungkin berhenti merokok dibandingkan mengandalkan kemauan sendiri,” ujar Amaliya.
Produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan, tidak melalui proses pembakaran, melainkan pemanasan.
“Untuk itu, pemerintah perlu mendorong adanya kajian ilmiah. Kajian tersebut nantinya menjadi landasan bagi pemerintah dalam membuat regulasi bagi produk tembakau alternatif yang tepat sasaran,” ujar Amaliya.
Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr dr Agus Dwi Susanto mengatakan bahwa rokok elektrik yang menggunakan cairan herbal tetap berbahaya dikarenakan proses pemanasan yang terjadi.
Ia menegaskan walaupun cairan yang digunakan tidak mengandung bahan kimia, namun proses pemanasan yang terjadi bisa menimbulkan zat berbahaya dan beracun lain yang berdampak buruk bagi tubuh.
"Salah satu yang berbahaya dari rokok elektrik adalah cairan yang dipanaskan. Kalau yang tidak herbal kandungannya adalah nikotin, yang kedua adalah bahan toksik lainnya yang bisa timbul dari proses pemanasan," katanya lagi.
Berdasarkan sejumlah penelitian, rokok elektrik mengandung nikotin, bahan karsinogen yang bisa menyebabkan kanker seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid nitrosamin; dan juga bahan toksik lain seperti logam, silikat, dan nanopartikel.
Menurut dia, pajanan asap dari proses pemanasan rokok elektrik tersebut berbahaya terhadap kesehatan paru-paru bila terhirup setiap hari.
Agus mengemukakan kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di China lebih banyak dialami oleh perempuan ketimbang laki-laki. Hal tersebut dikarenakan sejak dulu kaum perempuan di China sering memasak menggunakan kayu bakar yang asapnya terhirup.
Berita Terkait
Peneliti sebut tembakau alternatif jadi pilihan kurangi merokok
Selasa, 20 Februari 2024 4:05
Vape miliki risiko lebih rendah daripada rokok konvensional
Selasa, 23 Januari 2024 13:43
Rokok elektrik tidak penuhi syarat untuk berhenti merokok
Rabu, 10 Januari 2024 7:06
Pajak rokok elektrik demi beri keadilan
Selasa, 2 Januari 2024 22:12
BNN awasi rokok elektrik antisipasi narkotika cairan ke Bali
Sabtu, 4 November 2023 14:16
Udayana Central sebut prevalensi pengguna rokok elektrik meningkat
Kamis, 2 Februari 2023 8:51
Dokter spesialis paru sebutkan toksisitas vape nyata
Sabtu, 14 Januari 2023 20:13
Asosiasi mengkampanyekan larangan produksi tembakau bagi anak
Selasa, 2 Juni 2020 5:24