Halal Watch mendorong Indonesia belajar dari vaksin halal Senegal

id halal watch,industri halal,halal tourism,pariwisata halal,ikhsan abdullah,vaksin halal,Senegal

Halal Watch mendorong Indonesia belajar dari vaksin halal Senegal

Dari kiri, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika MUI, Lukmanul Hakim, CEO Kami, Istafianan Candarini dan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi, Adiwarman A Karim menjadi pembicara dalam Talkshow "Mendongkrak Industri Halal dan Keuangan Syariah Indonesia" di Jakarta, Rabu (21/8/2019). ANTARA FOTO/pandu dewantara/nz.

Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mendorong agar Indonesia mampu belajar dari Senegal yang mampu memroduksi dan mendapatkan keuntungan dari penjualan vaksin "Yellow Fever" halal.

"Kita harus dapat mengambil hikmah dari Senegal yang menemukan bahan vaksin 'Yellow Vever' dari bahan substitusi yang halal. Kini negara tersebut mendulang devisa dari perdagangan vaksin di kawasan Afrika Barat," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.

Dia mengatakan pemerintah Indonesia harus dapat memacu riset agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi materi berbahan baku nonhalal.

Bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, kata dia, maka tidak perlu lagi membelanjakan triliunan rupiah untuk pengadaan vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) untuk tuberkulosis, difteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya.

"Ini sekaligus tantangan bagi Biofarma sebagai industri vaksin terbesar di Indonesia untuk mampu berkolaborasi dengan universitas untuk memperkuat riset," katanya.

Dia mengatakan sebagai langkah awal Indonesia bisa mendorong kampus-kampus terkemuka untuk menguatkan risetnya dalam industri vaksin halal.

Universitas di Indonesia, kata dia, agar fokus melakukan penelitian untuk dapat menghasilkan bahan pengganti obat dan vaksin yang tidak halal dengan bahan substitusi yang halal. Upaya tersebut wajib dilakukan dalam lima tahun tahun ke depan dimulai dari saat ini.

Menurut Ikhsan, Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan besar pasarnya karena meliputi makanan, minuman, kosmetika, obat, busana dan pariwisata halal.

"Saat ini kita masih menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir 170 miliar dolar AS per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy Indicator 2018/2019. Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp2.465 triliun per tahun," katanya.





Menurut dia yang tidak kalah penting adalah infrastruktur dalam negeri yang mengurusi sertifikasi halal harus terus diperkuat. Saat ini di dalam negeri masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal. Bahkan sampai pada stagnasi proses pendaftaran sertifikasi halal. Alasannya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum siap menyelenggarakan sertifikasi halal.

Dia mengatakan persoalan sertifikasi halal harus segera ada solusinya sembari terus membangun berbagai unsur pendukung agar Indonesia menjadi tuan rumah di negaranya sendiri dalam sektor industri halal.

"Yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari perdagangan industri halal dan Indonesia menjadi industri utama dunia dalam perdagangan produk halal. Karena sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja," demikian Ikhsan Abdullah.