Mataram (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat memberikan konseling traumatik untuk memulihkan mental empat ibu rumah tangga yang menjadi terdakwa kasus dugaan perusakan pabrik tembakau.
"Itu bentuk perhatian ibu Wakil Gubernur NTB yang luar biasa walaupun beliau tidak datang karena sebelumnya sudah ada pak gubernur yang tampil betul-betul membela warganya," kata Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin, di Kabupaten Lombok Tengah, Rabu.
Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, kata dia, memahami betul bahwa empat ibu rumah tangga itu adalah perempuan desa yang lugu. Tentu bisa dibayangkan kondisi mental mereka ketika sudah berurusan dengan aparat penegak hukum.
Mereka pasti mengalami trauma karena sudah menjalani penahanan di dalam sel penjara yang berbeda, yakni penitipan oleh jaksa di sel tahanan Polsek Praya Tengah, dan di Rumah Tahanan Praya.
"Penahanan di dalam penjara itu membuat mereka harus menangis setiap hari," ujar Eni sapaan akrab Kepala DP3AP2KB NTB.
Oleh sebab itu, DP3AP2KB NTB datang langsung ke rumah empat ibu rumah tangga itu untuk memberikan konseling traumatik. Tindakan itu dilakukan bersama dengan dua psikolog dari Universitas Mataram yang memang sudah menjalin kerja sama.
Dua orang konselor tersebut secara tertutup berbicara langsung dengan para terdakwa terkait dengan kondisinya dan memetakan permasalahan untuk kemudian diberikan jalan keluarnya.
"Jadi, DP3AP2KB NTB selaku pembantu gubenrur dan wakil gubernur diarahkan untuk memastikan kondisi mereka dan menyiapkan pendamping (konselor)," ucap Eni.
Pendampingan, menurut dia, tentu tidak bisa satu kali, tapi dilakukan sampai kondisi mental mereka betul-betul pulih. Sebab, mereka juga masih harus berhadapan dengan sidang-sidang di Pengadilan Negeri Praya.
"Selama proses sidang, mereka perlu pendampingan. Saya melihat teman-teman pemerhati perempuan dan lembaga swadaya masyarakat serta teman-teman yang bergabung di pengacara sudah berhimpun untuk bersama-sama memberikan pendampingan," kata Eni.
Sementara itu, NR (38), salah seorang terdakwa mengaku sangat trauma karena sudah merasakan ruang penjara bersama anak balitanya.
"Tidak saya sangka-sangka, saya kira tindakan yang kami lakukan akan menjadi kebaikan ternyata tembus penjara," tutur NR sambil menitikkan air mata.
Ia menceritakan bagaimana rasanya berada di dalam ruang tahanan Polsek Praya Tengah bersama tiga rekannya serta tiga orang anak balita.
NH menjalani masa penitipan tahanan oleh Kejaksaan Negeri Praya di sel tahanan Polsek Praya Tengah selama dua hari. Setelah itu dipindah ke Rumah Tahanan Praya, menjelang persidangan di pengadilan.
Di dalam ruang tahanan polisi berukuran relatif kecil tersebut, NH mengaku sangat tersiksa dan tidak bisa tidur semalaman karena mengurus anak balitanya yang sering menangis.
"Ya allah rasanya di sel tersiksa karena ruangan kecil bersama tujuh orang dan anak-anak. Di dalamnya ada WC, sakit, tersiksa, lengkap saya rasakan di sel tahanan," kata NH sambil menggendong anak balitanya yang menangis.
Ia bersama tiga ibu lainnya yang menjadi terdakwa berharap diberikan keadilan seadil-seadilnya dan dibebaskan dari tahanan penjara.
"Kami juga berharap pemerintah mempertimbangkan keberadaan pabrik tembakau di dekat rumahnya karena berpotensi mengganggu kesehatan anak-anak," kata NH.
Untuk diketahui, empat ibu rumah tangga berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, masuk penjara bersama anak balita yang merupakan anaknya.
Keempat ibu itu diduga melakukan perusakan atap gudang pabrik tembakau yang ada di desa setempat pada Desember 2020. Mereka diduga melempar atap gudang menggunakan batu, karena merasa terganggu dengan bau tembakau yang menyengat.
Warga setempat juga melakukan penolakan terhadap keberadaan pabrik tembakau tersebut, karena mengeluhkan dampak lingkungan pabrik terkait bau yang dikeluarkan dari lokasi pabrik.
Adapun kerugian material yang ditimbulkan akibat perusakan tersebut sekitar Rp4,5 juta, sehingga empat ibu rumah tangga itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
"Itu bentuk perhatian ibu Wakil Gubernur NTB yang luar biasa walaupun beliau tidak datang karena sebelumnya sudah ada pak gubernur yang tampil betul-betul membela warganya," kata Kepala DP3AP2KB NTB Hj Husnanidiaty Nurdin, di Kabupaten Lombok Tengah, Rabu.
Gubernur dan Wakil Gubernur NTB, kata dia, memahami betul bahwa empat ibu rumah tangga itu adalah perempuan desa yang lugu. Tentu bisa dibayangkan kondisi mental mereka ketika sudah berurusan dengan aparat penegak hukum.
Mereka pasti mengalami trauma karena sudah menjalani penahanan di dalam sel penjara yang berbeda, yakni penitipan oleh jaksa di sel tahanan Polsek Praya Tengah, dan di Rumah Tahanan Praya.
"Penahanan di dalam penjara itu membuat mereka harus menangis setiap hari," ujar Eni sapaan akrab Kepala DP3AP2KB NTB.
Oleh sebab itu, DP3AP2KB NTB datang langsung ke rumah empat ibu rumah tangga itu untuk memberikan konseling traumatik. Tindakan itu dilakukan bersama dengan dua psikolog dari Universitas Mataram yang memang sudah menjalin kerja sama.
Dua orang konselor tersebut secara tertutup berbicara langsung dengan para terdakwa terkait dengan kondisinya dan memetakan permasalahan untuk kemudian diberikan jalan keluarnya.
"Jadi, DP3AP2KB NTB selaku pembantu gubenrur dan wakil gubernur diarahkan untuk memastikan kondisi mereka dan menyiapkan pendamping (konselor)," ucap Eni.
Pendampingan, menurut dia, tentu tidak bisa satu kali, tapi dilakukan sampai kondisi mental mereka betul-betul pulih. Sebab, mereka juga masih harus berhadapan dengan sidang-sidang di Pengadilan Negeri Praya.
"Selama proses sidang, mereka perlu pendampingan. Saya melihat teman-teman pemerhati perempuan dan lembaga swadaya masyarakat serta teman-teman yang bergabung di pengacara sudah berhimpun untuk bersama-sama memberikan pendampingan," kata Eni.
Sementara itu, NR (38), salah seorang terdakwa mengaku sangat trauma karena sudah merasakan ruang penjara bersama anak balitanya.
"Tidak saya sangka-sangka, saya kira tindakan yang kami lakukan akan menjadi kebaikan ternyata tembus penjara," tutur NR sambil menitikkan air mata.
Ia menceritakan bagaimana rasanya berada di dalam ruang tahanan Polsek Praya Tengah bersama tiga rekannya serta tiga orang anak balita.
NH menjalani masa penitipan tahanan oleh Kejaksaan Negeri Praya di sel tahanan Polsek Praya Tengah selama dua hari. Setelah itu dipindah ke Rumah Tahanan Praya, menjelang persidangan di pengadilan.
Di dalam ruang tahanan polisi berukuran relatif kecil tersebut, NH mengaku sangat tersiksa dan tidak bisa tidur semalaman karena mengurus anak balitanya yang sering menangis.
"Ya allah rasanya di sel tersiksa karena ruangan kecil bersama tujuh orang dan anak-anak. Di dalamnya ada WC, sakit, tersiksa, lengkap saya rasakan di sel tahanan," kata NH sambil menggendong anak balitanya yang menangis.
Ia bersama tiga ibu lainnya yang menjadi terdakwa berharap diberikan keadilan seadil-seadilnya dan dibebaskan dari tahanan penjara.
"Kami juga berharap pemerintah mempertimbangkan keberadaan pabrik tembakau di dekat rumahnya karena berpotensi mengganggu kesehatan anak-anak," kata NH.
Untuk diketahui, empat ibu rumah tangga berinisial HT (40), NR (38), MR (22), dan FT (38) warga Desa Wajegeseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, masuk penjara bersama anak balita yang merupakan anaknya.
Keempat ibu itu diduga melakukan perusakan atap gudang pabrik tembakau yang ada di desa setempat pada Desember 2020. Mereka diduga melempar atap gudang menggunakan batu, karena merasa terganggu dengan bau tembakau yang menyengat.
Warga setempat juga melakukan penolakan terhadap keberadaan pabrik tembakau tersebut, karena mengeluhkan dampak lingkungan pabrik terkait bau yang dikeluarkan dari lokasi pabrik.
Adapun kerugian material yang ditimbulkan akibat perusakan tersebut sekitar Rp4,5 juta, sehingga empat ibu rumah tangga itu dijerat dengan pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.