JAM-Pidum setujui enam pengajuan Hentikan penuntutan

id kejaksaan akung,jam pidum,restorative justice,keadilan restoratif

JAM-Pidum setujui enam pengajuan Hentikan penuntutan

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memberikan keterangan kepada wartawan terkait perkembangan penanganan kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfor di ruang Puspenkum Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (16/10/2023). ANTARA/Laily Rahmawaty.

Jakarta (ANTARA) - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejaksaan Agung telah menyetujui enam pengajuan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau restorative justice.

“Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana menyetujui enam permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu.

Ketut menyebutkan keenam pengajuan penghentian penuntutan yang diterima hari ini adalah tersangka Sariyal Pgl Yal bin Mudarman dari Kejaksaan Negeri Dharmasraya, yang disangka melanggar Pasal 480 KUHP tentang Penadahan, dan tersangka Desi Sitorus anak perempuan dari Henri Sitorus dari Kejaksaan Negeri Sukamara, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.

Selanjutnya ada tersangka Agung Nugroho bin (Alm.) Sunaryo dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, tersangka Melvin Setiadi Baskoro bin Agus Baskoro dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta tersangka Tjoi Tjhoen bin Wong Thoeg Fan dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) Jo. Pasal 112 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

“Kemudian ada tersangka Muhammad Mahfud alias Mahfud bin Tahek dari Kejaksaan Negeri Situbondo, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3, ke-5 tentang Pencurian dengan Pemberatan Jo. Pasal 53 Ayat (1) KUHP,” ujarnya.

Menurut dia, pemberian penghentian penuntutan yang berdasarkan pada keadilan restoratif itu diberikan dengan berbagai alasan. Dia mencontohkan telah melaksanakan proses perdamaian yaitu tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum atau tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana.

Alasan lain yang ia sebutkan adalah ancaman pidana denda atau penjara yang tidak lebih dari lima tahun, tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya hingga proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

Baca juga: Kejagung selamatkan uang negara Rp74,7 triliun sepanjang 2023
Baca juga: Sepanjang 2023, Kejaksaan Agung telah eksekusi 99.224 perkara


“Bisa juga dikarenakan tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, adanya pertimbangan sosiologis dan masyarakat merespon positif,” kata Ketut.

Ketut melanjutkan, setelahnya JAM-Pidum akan memerintahkan kepada para kepala kejaksaan negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), berdasarkan keadilan restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020.

Aturan lain yakni Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.