Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Titi Eko Rahayu mengatakan pemberdayaan perempuan, terutama secara ekonomi dapat meminimalkan terjadinya kekerasan, eksploitasi anak, dan perkawinan anak.
"Bagi para perempuan, pemberdayaan ekonomi tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pendapatan semata, tetapi juga alat untuk memerdekakan diri dari jerat kekerasan dan diskriminasi yang mengikat mereka," kata Titi Eko Rahayu dalam siaran pers Kongres Nasional Perempuan Khonghucu Indonesia (Perkhin) I, di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, dengan membuka peluang dan peran serta kelompok perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk ekonomi, maka akan mendorong distribusi sumber daya pembangunan lebih adil dan merata kepada seluruh lapisan.
"Kesetaraan akan menihilkan berbagai dampak buruk yang muncul akibat mengakarnya budaya patriarki seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, hingga praktik-praktik eksploitasi terhadap perempuan dan anak," kata Titi.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari populasi Indonesia dan sekitar 54 persennya berusia produktif. Meski perempuan memegang setengah kekuatan SDM Indonesia, kata dia, masih terjadi ketimpangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki.
Baca juga: Pemberdayaan perempuan minimalkan kekerasan-diskriminasi
Baca juga: Wagub NTB mengingatkan warga setop diskriminasi terhadap disabilitas
"Hal itu masih terlihat dari berbagai indeks dan data, seperti pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)," katanya.
Titi mengatakan Kementerian PPPA terus melakukan upaya untuk mendukung pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan secara luas, seperti perempuan kepala keluarga, perempuan prasejahtera, dan perempuan penyintas, baik penyintas kekerasan maupun bencana. "Hal ini dilakukan, antara lain melalui sinergi dengan berbagai kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat yang membawahi para perempuan pengusaha serta dunia usaha," katanya.
"Bagi para perempuan, pemberdayaan ekonomi tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pendapatan semata, tetapi juga alat untuk memerdekakan diri dari jerat kekerasan dan diskriminasi yang mengikat mereka," kata Titi Eko Rahayu dalam siaran pers Kongres Nasional Perempuan Khonghucu Indonesia (Perkhin) I, di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, dengan membuka peluang dan peran serta kelompok perempuan dalam berbagai bidang pembangunan, termasuk ekonomi, maka akan mendorong distribusi sumber daya pembangunan lebih adil dan merata kepada seluruh lapisan.
"Kesetaraan akan menihilkan berbagai dampak buruk yang muncul akibat mengakarnya budaya patriarki seperti kekerasan berbasis gender, perkawinan anak, hingga praktik-praktik eksploitasi terhadap perempuan dan anak," kata Titi.
Berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2020, perempuan mengisi 49,42 persen dari populasi Indonesia dan sekitar 54 persennya berusia produktif. Meski perempuan memegang setengah kekuatan SDM Indonesia, kata dia, masih terjadi ketimpangan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki.
Baca juga: Pemberdayaan perempuan minimalkan kekerasan-diskriminasi
Baca juga: Wagub NTB mengingatkan warga setop diskriminasi terhadap disabilitas
"Hal itu masih terlihat dari berbagai indeks dan data, seperti pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)," katanya.
Titi mengatakan Kementerian PPPA terus melakukan upaya untuk mendukung pemberdayaan ekonomi kelompok perempuan secara luas, seperti perempuan kepala keluarga, perempuan prasejahtera, dan perempuan penyintas, baik penyintas kekerasan maupun bencana. "Hal ini dilakukan, antara lain melalui sinergi dengan berbagai kementerian/lembaga dan lembaga masyarakat yang membawahi para perempuan pengusaha serta dunia usaha," katanya.