Mataram (ANTARA) - Tiada hari berlalu tanpa berita baru tentang berbagai temuan menyedihkan seputar pidana korupsi, tidak terlalu nyaman rasanya mendengar berita kematian akibat kelaparan, dan tidaklah mudah untuk mendiskusikan nyawa yang hilang karena kebijakan.
Sebuah lembaga riset di Jakarta, Ecosoc Rights meluncurkan laporan penelitian yang menyedihkan sekaligus menggelisahkan. Setidaknya 6.815 jiwa melayang karena kemiskinan, kelaparan, dan tekanan ekonomi selama 10 tahun terakhir yang seharusnya merupakan tanggung jawab negara.
Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (GHI) 2024, Indonesia berada di peringkat ke-77 dari 125 negara di dunia. Skor GHI Indonesia pada tahun 2024 adalah 16,9 poin.
Sebanyak 7,2 persen masyarakat Indonesia mengalami kekurangan gizi; 26,8 persen anak balita Indonesia masuk kategori tengkes 10 persen; anak Indonesia bermasalah dalam indikator berat dan tinggi badan yang tidak ideal; 2,1 persen anak-anak meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka.
Bencana kelaparan akibat krisis pangan global, tidak menjadi alasan bagi maraknya kasus korupsi di Indonesia. Berbagai temuan baru-baru mengenai tindak pidana korupsi pada tahun 2025, hampir setara dengan pendapatan negara sesuai besaran Produk Domestik Bruto (PDB).
Mega korupsi yang terjadi pada PT Timah yang merugikan negara sekitar Rp300 triliun, disusul Rp900 triliun lebih oleh PT Pertamina menjadi bukti bahwa negara yang memiliki standar religiusitas tinggi tidak dapat menjadi benteng anti korupsi.
Padahal, menurut teori Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905), keberhasilan suatu negara dalam mencapai kemajuan ekonomi dan sosial berakar pada etos kerja serta rasionalitas yang didorong oleh agama.
Dalam fenomena ini konteks negara-negara yang memiliki tingkat religiusitas tinggi, semisal Indonesia, korupsi bukan lagi hal yang tabu bagi elit kekuasaan. Berbagai temuan pidana korupsi berkembang di tengah angka kemiskinan yang semakin meroket.
Pada September 2024, angka kemiskinan Indonesia mencapai 8,57 persen. Kondisi itu diperparah oleh lemahnya sistem hukum yang sangat tidak ideal-bahkan seringkali tumpang tindih.
Seorang koruptor hanya divonis enam tahun penjara dengan merugikan negara sekitar Rp300 triliun, itu sangat tidak adil. Keputusan tersebut menuai kritikan dari masyarakat, lalu akhirnya ditinjau kembali dengan hukuman 20 tahun penjara.
Jual beli hukum tidak dapat terelakkan. Istilahnya the survival of the fittest (orang punya kekuatan yang menang). Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham.
Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Dengan kata lain kepentingan bertemu kepentingan dan keinginan bersua kebutuhan.
Korupsi menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan.
Pemiskinan di negara korup
Dinamika penciptaan kekayaan bagi segelintir elit pun berkembang secara signifikan. Kepuasan tanpa batas, imaji-imaji yang renyuk, lapar, memicu elit kuasa untuk lebih politis dalam koalisi elektoral pada waktu pemilu.
Tampaknya korupsi tidak lagi membutuhkan pendefinisian karena hampir setiap hari koruptor kian muncul di setiap berita maupun siaran televisi. Disusul dengan gambar anak-anak dan orang renta, kurus-ceking, mangkal di jalan dengan harapan belas kasihan pengguna jalan.
Inilah kemiskinan absolut dari mereka yang tidak punya apa-apa, orang yang hidup di tengah bahaya berupa kekurangan sumber daya pokok untuk bertahan hidup.
Kemiskinan menetap tepat di muka kita dan kemiskinan adalah teman yang mengiringi kita setiap waktu. Bahkan, mengilhami orang untuk melakukan kedermawanan.
Kemiskinan itulah sejatinya menjadi perhatian bagi institusi dan pemerintahan untuk berkomitmen mengurangi angka kemiskinan. Lantas bagaimana mungkin kemalangan itu masih ada?
Kelaparan dan kekurangan adalah simbol yang paling potensial dari kemiskinan. Terjadinya kelaparan secara periodik di sebuah negara yang korup dapat merusak sistem yang menjadikan kekayaan di atas segalanya.
Dengan begitu, para elit tidak lupa juga partai berbondong-bondong berbagi makanan yang sifatnya sementara (tidak berkelanjutan), dengan harapan tebar moral telah tunai.
Kebijakan berbentuk subsidi sosial berharap kemiskinan dapat dikurangi. Di tengah beragam kebijakan-kebijakan bersubsidi, korupsi tumbuh secara organik.
Ironi baru-baru ini Kementerian Keuangan merilis catatan dari total realisasi pendapatan negara hingga Februari 2025 yang sangat disayangkan karena hanya sebesar Rp316,9 triliun atau terealisasi 10,5 persen dari target APBN 2025.
Penerimaan negara mengalami definisi hingga Rp31,2 triliun. Kondisi itu terjadi akibat penerimaan pajak yang tidak sesuai target realisasi.
Hal ini juga diakibatkan oleh korupsi yang dapat menurunkan pendapatan negara dari sektor pajak, sehingga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi dapat mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi negara, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Jika kita tulus, kemiskinan mungkin dapat teratasi karena kemiskinan di Indonesia bukanlah soal kekurangan sumber daya melainkan suatu akibat dari genggaman perilaku pejabat yang korup.
Bukan orang miskin yang menentukan kebutuhan mereka, penaksiran atas kemiskinan justru tetap berada di tangan pakar, seperti hakim, jaksa, juga dan lembaga terkait. Merekalah yang ingin menguranginya, menghukum orang karenanya, bahkan membuatnya semakin parah.
Dengan keseriusan menjalankan sistem hukum yang ideal, bebas dari korupsi, kita mungkin dapat merasakan negara dengan rakyatnya yang sejahtera dan terlepas dari belenggu kemiskinan. Hanya saja dalam berbagai praktik, korupsi masih menjadi transaksi politik secara personal maupun kelompok.
Tukar tambah kekuasaan sejauh ini masih berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual.
*) Penulis adalah penggiat demokrasi Indonesia.