Kupang (ANTARA) - Kepala Dinas Kesehatan Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Timur Ruth Laiskodat mengatakan jumlah anak yang mengalami stunting (gagal tumbuh) di provinsi berbasis kepulauan itu mengalami penurunan dari 81.434 anak pada 2018 menjadi 77.338 orang anak pada 2022 atau tersisa 17,7 persen.
"Pemerintah Provinsi NTT menginginkan agar persoalan kekerdilan terus berkurang sesuai target yang ditetapkan pemerintah pusat mencapai 14 persen ," kata dia di Kupang, Senin.
Ruth Laiskodat mengatakan hal itu terkait upaya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam menangani anak-anak balita yang mengalami kekerdilan. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak tahun 2022 gencar melaksanakan operasi timbang anak balita guna memudahkan pemerintah dalam mendeteksi adanya anak-anak yang sedang mengalami stunting di setiap desa maupun kelurahan di NTT.
Ia mengatakan kerja keras yang dilakukan pemerintah NTT dalam mewujudkan percepatan penurunan stunting telah membuahkan hasil yang optimal terlihat dari persentase stunting NTT turun signifikan selama lima tahun berturut-turut dari tahun 2018 sampai tahun 2022, turun rata-rata setiap tahun sebesar 4,4 persen.
Mantan Kepala BPOM Provinsi NTT itu menambahkan pada 2018 terdapat 35,4 persen atau 81.434 orang anak balita di NTT mengalami gagal tumbuh pada anak namun setelah dilakukan berbagai intervensi program seperti pemberian makanan tambahan dan pembangunan infrastruktur maupun melalui penyediaan air bersih bagi kebutuhan masyarakat sehingga jumlah anak yang mengalami stunting di NTT turun menjadi 17,7 persen atau tersisa 77.338 anak balita yang mengalami stunting.
Menurut dia perkembangan data stunting periode bulan Agustus 2021 dan Agustus 2022 cenderung mengalami penurunan dari 20,9 persen tahun 2021 menjadi 17,7 persen pada 2022.
Kendati demikian kata dia terdapat dua kabupaten yang mengalami peningkatan prosentase penambahan jumlah anak yang mengalami stunting yaitu Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Sumba Tengah. Sedang kabupaten dengan stunting tertinggi adalah Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) yaitu 28,3 persen atau 11.642 balita dan terendah adalah Kabupaten Nagekeo 8,4 persen dengan balita yang mengalami stunting sebanyak 946 anak balita.
Dia menambahkan pada Februari 2022 dan Agustus 2022 terjadi penurunan stunting di NTT sebesar 2,3 persen yaitu dari 22,0 persen periode bulan Februari menjadi 17,7 persen pada bulan Agustus 2022.
Baca juga: Diskes Tangerang minta apotek dan toko obat sementara tak jual obat sirop
Baca juga: Diskes: Mataram tunggak Dana Kesehahatan Ibu Hamil
"Hanya Kabupaten Sumba Barat yang mengalami sedikit peningkatan stunting meskipun hanya 0,6 persen yaitu dari 22,7 persen periode Februari 2022 atau 2.306 balita menjadi 23,3 persen atau 2.611 balita pada periode Agustus 2022," kata Ruth Laiskodat.
Menurut dia Pemerintah Proivinsi Nusa Tenggara Timur terus berupaya untuk menekan jumlah anak yang mengalami stunting sehingga pada 2023 turun lagi dari 17,7 persen menjadi 14 persen atau mendekati target RPJMD Provinsi NTT pada 2023 mencapai 10-12 persen. "Kami sangat optimis jumlah anak-anak yang mengalami kekerdilan di NTT mengalami penurunan yang signifikan pada 2023 ini," kata Ruth Laiskodat.
"Pemerintah Provinsi NTT menginginkan agar persoalan kekerdilan terus berkurang sesuai target yang ditetapkan pemerintah pusat mencapai 14 persen ," kata dia di Kupang, Senin.
Ruth Laiskodat mengatakan hal itu terkait upaya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam menangani anak-anak balita yang mengalami kekerdilan. Menurut dia, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak tahun 2022 gencar melaksanakan operasi timbang anak balita guna memudahkan pemerintah dalam mendeteksi adanya anak-anak yang sedang mengalami stunting di setiap desa maupun kelurahan di NTT.
Ia mengatakan kerja keras yang dilakukan pemerintah NTT dalam mewujudkan percepatan penurunan stunting telah membuahkan hasil yang optimal terlihat dari persentase stunting NTT turun signifikan selama lima tahun berturut-turut dari tahun 2018 sampai tahun 2022, turun rata-rata setiap tahun sebesar 4,4 persen.
Mantan Kepala BPOM Provinsi NTT itu menambahkan pada 2018 terdapat 35,4 persen atau 81.434 orang anak balita di NTT mengalami gagal tumbuh pada anak namun setelah dilakukan berbagai intervensi program seperti pemberian makanan tambahan dan pembangunan infrastruktur maupun melalui penyediaan air bersih bagi kebutuhan masyarakat sehingga jumlah anak yang mengalami stunting di NTT turun menjadi 17,7 persen atau tersisa 77.338 anak balita yang mengalami stunting.
Menurut dia perkembangan data stunting periode bulan Agustus 2021 dan Agustus 2022 cenderung mengalami penurunan dari 20,9 persen tahun 2021 menjadi 17,7 persen pada 2022.
Kendati demikian kata dia terdapat dua kabupaten yang mengalami peningkatan prosentase penambahan jumlah anak yang mengalami stunting yaitu Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Sumba Tengah. Sedang kabupaten dengan stunting tertinggi adalah Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) yaitu 28,3 persen atau 11.642 balita dan terendah adalah Kabupaten Nagekeo 8,4 persen dengan balita yang mengalami stunting sebanyak 946 anak balita.
Dia menambahkan pada Februari 2022 dan Agustus 2022 terjadi penurunan stunting di NTT sebesar 2,3 persen yaitu dari 22,0 persen periode bulan Februari menjadi 17,7 persen pada bulan Agustus 2022.
Baca juga: Diskes Tangerang minta apotek dan toko obat sementara tak jual obat sirop
Baca juga: Diskes: Mataram tunggak Dana Kesehahatan Ibu Hamil
"Hanya Kabupaten Sumba Barat yang mengalami sedikit peningkatan stunting meskipun hanya 0,6 persen yaitu dari 22,7 persen periode Februari 2022 atau 2.306 balita menjadi 23,3 persen atau 2.611 balita pada periode Agustus 2022," kata Ruth Laiskodat.
Menurut dia Pemerintah Proivinsi Nusa Tenggara Timur terus berupaya untuk menekan jumlah anak yang mengalami stunting sehingga pada 2023 turun lagi dari 17,7 persen menjadi 14 persen atau mendekati target RPJMD Provinsi NTT pada 2023 mencapai 10-12 persen. "Kami sangat optimis jumlah anak-anak yang mengalami kekerdilan di NTT mengalami penurunan yang signifikan pada 2023 ini," kata Ruth Laiskodat.