Ambon (ANTARA) - Badan Karantina Pertanian (Barantan) menemukan kandungan aflatoksin buah pala dari Indonesia melebihi ambang batas. "Ini menjadi salah satu alasan penolakan dari negara Uni Eropa (UE) terhadap pala Indonesia saat akan diekspor," ujar Analis Perakarantinaan Tumbuhan Ahli Utama Badan Karantina Pertanian Barantan Antarjo Dikin dalam keterangan tertulis yang diterima di Ambon, Minggu.
Antarjo Dikin menyampaikan hal itu saat memaparkan materinya dalam rapat teknis mitigasi cemaran alfatoksin secara daring. Ia menjelaskan aflatoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder dari jamur Aspergillus sp, yang mempunyai sifat toksik atau racun bagi kesehatan manusia atau hewan.
Ambang batas kadar aflatoksin total (aflatoksin B1, B2, G1 dan G2) ≤ 20 μg per kilogram dengan syarat aflatoksin B1 ≤ 5 μg per kilogram tidak boleh mengandung pengawet, pengharum, dan pewarna. Menurut dia, hal itu terjadi lantaran sebagian besar pala Indonesia dari perkebunan tradisional yang masih belum memerhatikan mutunya.
"Kemungkinan besar kontaminasi cendawan dan ketidaksesuain produk pun cukup tinggi," kata dia.
Pasalnya, berdasarkan data dari Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) dan Berita Faksimile (BRAFAKS) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di UE mencatat sepanjang 2016 hingga Juli 2022, pala Indonesia mendapatkan Notification of Non-Compliance (NNC) sebanyak 95 persen dari negara UE.
Disebutkan pula dalam kurun waktu 2019 sampai dengan 2021, total ekspor pala biji tujuan UE sebanyak 6.864 ribu ton dengan jumlah yang dinotifikasi 92.074 ton atau 1,34 persen. Tercatat pada sistem Barantan, IQFast, jumlah ekspor pala asal Maluku pada tahun 2022 sebanyak 3.114 ton.
Tindak lanjut stabilitas ekspor bebas cemaran aflatoksin, kata Antarjo, dengan panen buah tidak menyentuh tanah, penjemuran pala dengan oven, serta pengemasan dengan silika gel dan kemasan kedap udara, kebersihan kontainer.
Oleh sebab itu, koordinasi beberapa instansi, seperti dinas perkebunan, OKKPD, Barantan dan eksportir, laporan monitoring perkembangan, dan klinik ekspor sangat diperlukan. Dikemukakan bahwa penerapan standar harus dimulai dari hulu hingga hilir agar pala yang dihasilkan bebas dari cemaran aflatoksin dan sesuai dengan persyaratan negara tujuan.
Setiap rantai pasok mulai dari petani, pengumpul, eksportir, hingga distribusi, menurut dia, memiliki andil yang tinggi terhadap keberhasilan ekspor pala Indonesia.
Sementara itu, Kepala Stasiun Karantina Pertanian (SKP) Kelas I Ambon Kostan mengatakan bahwa pihaknya tengah melakukan berbagai langkah strategis untuk memperbaiki kualitas pala sebagai bentuk upaya menyukseskan agrobisnis pertanian di Maluku.
Baca juga: Negara tujuan ekspor nonmigas Riau dominan ke Tiongkok
Baca juga: Kemendag kembangkan empat sektor ekraf
Ia menyebutkan salah satunya dengan terus melakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusia (SDM) dari pejabat fungsional hingga memberikan bimbingan teknis kepada petani serta percepatan layanan ekspor.
Untuk itu, pihaknya pun selalu menjalin sinergitas dengan instansi terkait di Maluku. "Kami menyatakan siap mendukung penuh upaya keberhasilan dan peningkatan ekspor komoditas pertanian bersama dengan seluruh pihak terkait di Maluku," katanya.