Jakarta (ANTARA) - Sebanyak enam lembaga yang bergabung dalam Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) mengapresiasi keterbukaan dan transparansi upaya berbagai instansi yang berwenang dalam melakukan perbaikan substansial untuk mencegah dan menghindari berulangnya tindak penyiksaan.
"KuPP mengapresiasi keterbukaan dan transparansi dari berbagai instansi yang berwenang," ujar Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina dalam Konferensi Pers Hari Anti Penyiksaan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin.
KuPP terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman RI (ORI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
KuPP yang telah diinisiasi sejak tahun 2016 berkomitmen untuk mencegah penyiksaan dengan berbagai kegiatan, seperti pemantauan lapas/rutan, kantor Kepolisian, rumah detensi imigrasi (rudenim), dan rumah aman bagi pengungsi.
Langkah lainnya adalah melalui riset, pengembangan kesadaran publik maupun peningkatan kapasitas pejabat pemerintah, serta melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kementerian dan lembaga. Dalam kesempatan tersebut, KuPP juga mengajak masyarakat sipil untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghentikan praktek-praktek tersebut, termasuk yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat atas nama tradisi, budaya, bahkan agama untuk hidup bersama tanpa penyiksaan.
Selain itu, KuPP mendorong lahirnya mekanisme pencegahan penyiksaan di Indonesia, meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman, dan Perlakuan Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya (CAT).
Baca juga: Polda NTB berkoordinasi dengan LPSK terkait kasus pelecehan di ponpes
Baca juga: Ketua MPR siap jadikan rumah aspirasinya cabang LPSK
"Ratifikasi protokol opsional ini akan memperkuat mekanisme nasional untuk pencegahan penyiksaan, sekaligus meneguhkan komitmen negara bagi pemenuhan hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun," ucapnya.
KuPP juga hendak mengingatkan pemerintah untuk membuat laporan periodik pelaksanaan konvensi tertunda sejak tahun 2012. "Laporan Indonesia terakhir di tahun 2008," tuturnya.
"KuPP mengapresiasi keterbukaan dan transparansi dari berbagai instansi yang berwenang," ujar Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina dalam Konferensi Pers Hari Anti Penyiksaan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin.
KuPP terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman RI (ORI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND).
KuPP yang telah diinisiasi sejak tahun 2016 berkomitmen untuk mencegah penyiksaan dengan berbagai kegiatan, seperti pemantauan lapas/rutan, kantor Kepolisian, rumah detensi imigrasi (rudenim), dan rumah aman bagi pengungsi.
Langkah lainnya adalah melalui riset, pengembangan kesadaran publik maupun peningkatan kapasitas pejabat pemerintah, serta melakukan dialog konstruktif dengan berbagai kementerian dan lembaga. Dalam kesempatan tersebut, KuPP juga mengajak masyarakat sipil untuk bersama-sama mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menghentikan praktek-praktek tersebut, termasuk yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat atas nama tradisi, budaya, bahkan agama untuk hidup bersama tanpa penyiksaan.
Selain itu, KuPP mendorong lahirnya mekanisme pencegahan penyiksaan di Indonesia, meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman, dan Perlakuan Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya (CAT).
Baca juga: Polda NTB berkoordinasi dengan LPSK terkait kasus pelecehan di ponpes
Baca juga: Ketua MPR siap jadikan rumah aspirasinya cabang LPSK
"Ratifikasi protokol opsional ini akan memperkuat mekanisme nasional untuk pencegahan penyiksaan, sekaligus meneguhkan komitmen negara bagi pemenuhan hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun," ucapnya.
KuPP juga hendak mengingatkan pemerintah untuk membuat laporan periodik pelaksanaan konvensi tertunda sejak tahun 2012. "Laporan Indonesia terakhir di tahun 2008," tuturnya.