Banda Aceh (ANTARA) - Kalangan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang pengolahan tembakau di Provinsi Aceh mengharapkan pencegahan rokok ilegal ditingkatkan, sehingga rokok lokal terlindungi.
"Kami mengharapkan pencegahan rokok ilegal ditingkatkan. Rokok yang kami produksi sulit bersaing di pasaran karena harga rokok ilegal lebih murah," kata Fendi Syahputra, pelaku UMKM tembakau di Aceh Besar, Kamis (27/7).
Pemilik usaha linting rokok dengan merek Rencong Aceh itu mengaku penjualan rokok yang diproduksinya sempat merosot ketika maraknya peredaran rokok ilegal. Akan tetapi, kini produksi rokoknya kembali meningkatkan seiring program Gempur Rokok Ilegal yang dilaksanakan bea cukai. Walau produktivitas, belum seperti sebelumnya. "Sebelumnya, kami bisa memproduksi hingga 12 ribu batang per hari. Akan tetapi, kini masih di kisaran 1.200 batang per hari. Kendati begitu, jumlahnya lebih baik dari sebelumnya," katanya.
Fendi mengakui rokok produksi UMKM di Aceh agak sulit bersaing dengan rokok ilegal karena harganya murah. Rokok ilegal di pasaran dijual dengan harga Rp10 ribuan per bungkus. Sedangkan harga rokok produksi UMKM di Aceh di atas harga rokok ilegal. "Kalau rokok kami, harga dari pabrik Rp8.500 per bungkus. Dan biasa, pedagang menjual di kisaran Rp11 ribu hingga Rp12 ribuan per bungkus," katanya.
Menyangkut dengan pasar, katanya, rokok lokal agak sedikit kesulitan bersaing dengan rokok yang mereknya sudah dikenal masyarakat. Kendati begitu, rokok yang diproduksinya bisa dipasarkan di sejumlah di daerah di Aceh, bahkan hingga ke Samosir, Sumatera Utara. "Untuk promosi, kami mengandalkan media sosial. Kalau promosi melalui baliho, biayanya terlalu mahal. Promosi perlu untuk mengenalkan merek, tetapi kalau mahal lebih digunakan untuk membeli bahan baku," kata Fendi Syahputra.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Provinsi Aceh Safuadi mengatakan pihaknya terus meningkatkan pencegahan dan penindakan peredaran rokok ilegal. "Kampanye program gempur rokok ilegal terus dilakukan. Termasuk operasi pasar rokok Ilegal. Rokok ilegal tersebut adalah rokok tidak dilekati cukai, menggunakan cukai palsu, dan lainnya," kata Safuadi.
Safuadi mengatakan Aceh memiliki potensi tembakau yang menjanjikan dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat apabila dikembangkan dengan optimal. "Tembakau Aceh memiliki ciri khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tembakau tersebut belum dikembangkan dengan optimal," kata Safudi. "Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, luas tanaman tembakau mencapai 2.888 hektare dengan produksi 2.597 ton pada 2022.
Baca juga: Perlu dorongan pemasaran kewirausahaan UMKM naik kelas
Baca juga: Pemkot Medan bangun Mal UMKM
Lahan tembakau tersebut tersebar di 11 kabupaten kota di Provinsi Aceh. Sedangkan usaha tembakau di Aceh, baru tujuh, yakni tiga di Kota Banda Aceh dan tujuh di Kabupaten Aceh Besar. "Padahal, jika melihat produksi tembakau yang mencapai 2.597 ton, maka usaha pengolahan tembakau lebih dari tujuh. Jika tembakau ini dikelola optimal, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh," kata Safuadi.
"Kami mengharapkan pencegahan rokok ilegal ditingkatkan. Rokok yang kami produksi sulit bersaing di pasaran karena harga rokok ilegal lebih murah," kata Fendi Syahputra, pelaku UMKM tembakau di Aceh Besar, Kamis (27/7).
Pemilik usaha linting rokok dengan merek Rencong Aceh itu mengaku penjualan rokok yang diproduksinya sempat merosot ketika maraknya peredaran rokok ilegal. Akan tetapi, kini produksi rokoknya kembali meningkatkan seiring program Gempur Rokok Ilegal yang dilaksanakan bea cukai. Walau produktivitas, belum seperti sebelumnya. "Sebelumnya, kami bisa memproduksi hingga 12 ribu batang per hari. Akan tetapi, kini masih di kisaran 1.200 batang per hari. Kendati begitu, jumlahnya lebih baik dari sebelumnya," katanya.
Fendi mengakui rokok produksi UMKM di Aceh agak sulit bersaing dengan rokok ilegal karena harganya murah. Rokok ilegal di pasaran dijual dengan harga Rp10 ribuan per bungkus. Sedangkan harga rokok produksi UMKM di Aceh di atas harga rokok ilegal. "Kalau rokok kami, harga dari pabrik Rp8.500 per bungkus. Dan biasa, pedagang menjual di kisaran Rp11 ribu hingga Rp12 ribuan per bungkus," katanya.
Menyangkut dengan pasar, katanya, rokok lokal agak sedikit kesulitan bersaing dengan rokok yang mereknya sudah dikenal masyarakat. Kendati begitu, rokok yang diproduksinya bisa dipasarkan di sejumlah di daerah di Aceh, bahkan hingga ke Samosir, Sumatera Utara. "Untuk promosi, kami mengandalkan media sosial. Kalau promosi melalui baliho, biayanya terlalu mahal. Promosi perlu untuk mengenalkan merek, tetapi kalau mahal lebih digunakan untuk membeli bahan baku," kata Fendi Syahputra.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea Cukai Provinsi Aceh Safuadi mengatakan pihaknya terus meningkatkan pencegahan dan penindakan peredaran rokok ilegal. "Kampanye program gempur rokok ilegal terus dilakukan. Termasuk operasi pasar rokok Ilegal. Rokok ilegal tersebut adalah rokok tidak dilekati cukai, menggunakan cukai palsu, dan lainnya," kata Safuadi.
Safuadi mengatakan Aceh memiliki potensi tembakau yang menjanjikan dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat apabila dikembangkan dengan optimal. "Tembakau Aceh memiliki ciri khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tembakau tersebut belum dikembangkan dengan optimal," kata Safudi. "Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, luas tanaman tembakau mencapai 2.888 hektare dengan produksi 2.597 ton pada 2022.
Baca juga: Perlu dorongan pemasaran kewirausahaan UMKM naik kelas
Baca juga: Pemkot Medan bangun Mal UMKM
Lahan tembakau tersebut tersebar di 11 kabupaten kota di Provinsi Aceh. Sedangkan usaha tembakau di Aceh, baru tujuh, yakni tiga di Kota Banda Aceh dan tujuh di Kabupaten Aceh Besar. "Padahal, jika melihat produksi tembakau yang mencapai 2.597 ton, maka usaha pengolahan tembakau lebih dari tujuh. Jika tembakau ini dikelola optimal, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh," kata Safuadi.