Banda Aceh (ANTARA) - Beri tahu aku jika kau tak tahu Lilies Handayani, satu dari tiga legenda srikandi panahan yang berhasil menyumbang medali internasional pertama bagi Indonesia di ajang Olimpiade.Lilies bersama dua rekan srikandinya, Nurfitriyana Saiman dan Kusuma Wardhani berhasil mendulang perak pada Olimpiade Seoul 1988.

Prestasi Lilies dan kedua rekannya itu hingga kini menjadi inspirasi bagi perkembangan dunia keolahragaan Indonesia, baik di level nasional maupun level internasional.

Sayangnya, sejak medali perak Olimpiade Seoul 1988 itu berhasil diraih, tak ada lagi sumbangan medali Olimpiade dari olahraga panahan bagi Indonesia dalam 36 tahun terakhir.

Pada Olimpiade Paris 2024, Indonesia dengan atletnya Diananda Choirunisa sempat mendekati medali perunggu di nomor recurve putri, namun langkah wanita asal Jawa Timur harus terhenti di babak perempat final setelah kalah dari atlet tuan rumah Paris, Lisa Brabelin.

Kali ini, Diananda pun kembali tampil dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI/2024 Aceh-Sumatera Utara untuk mewakili Jawa Timur.

Ibu satu anak itu berhasil mendulang tiga emas dari tiga divisi berbeda, yakni divisi recurve putri, recurve beregu putri dan recurve beregu campuran dalam perhelatan besar olahraga Indonesia itu. Lilies pun kali ini tampil sebagai pelatih Diananda dan atlet panahan Jawa Timur lainnya.

Di venue pertandingan, Lilies mengenakan baju hijau khas warna Jawa Timur. Rambutnya nampak bergaya 'cornrows' tanda dirinya menolak tua dan tetap bisa berkontribusi bagi panahan Indonesia.

Lilies mengenakan topi berwarna putih untuk menghalau terik dan sepatu putih sebagai alas kaki.

Pada kedua telinganya, tergantung anting eksotis serupa busur panah berwarna perak. Anting itu berbentuk lengkung busur pada bagian bawahnya yang dihiasi aksen pola-pola putaran. Kemudian bagian atasnya berbentuk semacam tali busur yang ditarik.

Sekilas, anting itu bicara banyak soal betapa panahan sudah menjadi bagian dari identitasnya sekaligus menjadi memoar medali perak yang didapatnya dalam Olimpiade Seoul 36 tahun lalu.

Dalam setiap pertandingan, Lilies terlihat selalu berada di belakang para atlet binaannya. Wanita kelahiran Surabaya, 15 April 1965 itu berdiri dengan sebuah teropong di sampingnya.

Setiap kali Diananda melesatkan anak panah, Lilies selalu menengok ke corong teropong untuk melihat hasil yang ditorehkan Diananda pada papan target.

Pembawaan diri Lilies di venue pertandingan begitu tenang, seakan perhelatan olahraga panahan nasional adalah hal biasa baginya.

Bahkan tak ada ekspresi 'luar biasa' di wajahnya ketika Diananda atau atlet Jawa Timur lainnya mencetak angka sempurna.

"Memang itu yang mesti dilakukan seorang atlet," demikian tersirat dari ekspresi wajah Lilies setelah meneropong target.

Teriakan pendukung tim lain pun tak mengganggunya sama sekali. Lilies tahu betul bahwa panahan pada dasarnya adalah pertandingan melawan diri sendiri, tak peduli siapa lawan yang dihadapi.

Gelar juara Diananda dan Riau Ega Agatha misalnya, adalah hal wajar yang diraih lantaran kedua atlet Jawa Timur sudah pernah tampil dalam pertandingan panahan internasional, termasuk Olimpiade Paris.

Sebaliknya, menurut Lilies adalah malu jika mereka tak mendapat juara. Tak perlu heran standar ambisius itu dianggap biasa oleh Lilies, mengingat Lilies adalah peraih perak Olimpiade.

Dari segala ekspresinya yang datar, muncul sejumlah pertanyaan dari publik Indonesia yang belum 'move on' dari momen Olimpiade Seoul 1988.

Pertanyaan-pertanyaan itu seperti masihkah Lilies menyimpan mimpi tersembunyi untuk kembali menyumbang medali Olimpiade bagi Indonesia?

Tidakkah medali perak Olimpiade Seoul 1988 yang diraihnya merengek kesepian tanpa teman baru selama 36 tahun? Ataukah jangan-jangan misi medali Olimpiade itu sudah dimulai sejak lama?

Lebih jauh lagi, bagaimana Lilies menyoroti regenerasi atlet panahan? Apakah Lilies melihat bayang-bayang medali Olimpiade dalam diri Diananda dan atlet muda lainnya?

Bicara regenarasi

Lilies mulai memelankan suaranya saat berbicara soal regenerasi atlet panahan. Menurutnya, untuk kembali melahirkan srikandi panahan Indonesia, tak cukup dengan mengandalkan Diananda seorang.

Menurut Lilies, setidaknya butuh empat atlet seperti Diananda untuk memodali mimpi medali di Olimpiade, dalam hal ini Olimpiade Los Angeles 2028.

Oleh karena itu, untuk memicu terwujudnya regenarasi, setidaknya satu atlet putri atau satu atlet putra harus berhasil menjuarai atau mendapat medali di 'World Archery Cup' selama tiga tahun berturut-turut terlebih dahulu.

Menjuarai tiga kejuaraan dunia, mulai dari 'World Archery Cup 2025' akan membentuk ketahanan mental atau 'mental endurance' atlet senior.

Lilies yakin jika habitus juara itu terwujud, dapat dipastikan atlet-atlet junior di pemusatan latihan nasional (pelatnas) dapat mengikuti dan kemudian melakoni jejak juara itu.

Lebih lagi jika ada atlet junior panahan yang bisa bersama seniornya dapat menginjakkan kaki di semifinal 'World Archery Cup'. Di titik itulah, kata Lilies, kepastian regenarasi atlet panahan dimulai.

Secara teknis, terdapat lima aspek latihan yang menurut Lilies dapat mewujudkan regenerasi tersebut, yakni penguasaan teknik, kondisi fisik, kondisi mental, kondisi peralatan dan pemahaman kondisi angin.

Oleh karena itu, Lilies secara khusus menyodorkan program latihan terus-menerus untuk menggodok regenerasi atlet. Oleh karena itu, evaluasi PON salah satunya harus menghasilkan program latihan berkelanjutan bagi para atlet.

Pelatnas pun, kata Lilies, hingga kini belum memiliki kepastian akan pelatihan berkelanjutan. Meskipun tidak menyebut detail, Lilies menegaskan perlunya dana yang cukup untuk mewujudkan regenarasi atlet.

Jadi pelatnas tidak hanya menjadi arena latihan atlet senior, tetapi juga tempat mencetak atlet-atlet muda berkualitas. Hal itu menjadi semakin vital karena masalah pelatnas kini adalah absennya 'atlet lapis' berkualitas.

Lilies mengakui banyak atlet muda panahan Indonesia yang potensial, namun atlet-atlet itu tidak dibina oleh program latihan berkelanjutan.

Dengan adanya dana yang stabil serta manajemen atlet yang bagus, misalnya soalnya pembagian waktu sekolah dan latihan memanah atlet-atlet muda, maka Lilies yakin regenerasi dapat terwujud.

Bagaimana kata KONI?

Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pun menyoroti optimalisasi pelatnas untuk mewujudkan regenerasi atlet panahan Indonesia.

Wakil I Ketua Umum KONI Pusat Mayjen TNI Purn Suwarno menyebut bahwa regenerasi atlet panahan bukan merupakan proses instan. Perlu pembangunan kualitas atlet dari bawah, dari atlet-atlet junior.

Dalam hal ini, pembenahan kurikulum pelatnas perlu dilakukan dengan memasukkan variabel regenarasi atlet.

Dengan kata lain, kurikulum pelatihan atlet harus memiliki ruang khusus untuk menempa atlet-atlet muda sebagai bagian dari proses regenerasi.

Baca juga: Dua atlet squash Bekasi sumbang emas PON untuk Jabar
Baca juga: PON 2024 langkah awal pembinaan perenang perairan terbuka

Selain itu, kata Suwarno, tempat latihan para atlet mesti rutin dipindah agar referensi para atlet mengenai kondisi lapangan, seperti angin dan terik matahari bisa diperkaya.

Lebih jauh, Suwarno juga meminta kerja sama klub-klub panahan Indonesia untuk memperhatikan regenerasi atlet panahan.

Bagaimana pun, kata Suwarno, klub-klub itulah yang bersentuhan langsung dengan bakat dan latar belakang kehidupan para atlet, sehingga peran klub untuk regenarasi atlet nasional sangatlah penting.

 

 


Pewarta : Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024