Mataram (ANTARA) - Ngobrol dengan Mas Doktor M. Haris Miftahul Fajar, ahli geologi dari Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, sangat mengasyikkan.
Kami dipertemukan karena harus tampil dalam satu forum di pelatihan menulis feature tentang pertambangan untuk teman-teman wartawan di Kabupaten Dompu, yang diselenggarakan oleh LKBN ANTARA Biro Nusa Tenggara Barat.
Mas Haris berbicara tentang potensi mineral dan segala perhitungannya di Bumi Dompu dan Pulau Sumbawa pada umumnya.
Perjalanan dari Kota Mataram menuju Kabupaten Dompu memerlukan waktu sekitar 12 jam. Perjalanan darat terpotong oleh perjalanan laut melintasi Selat Alas dari Pelabuhan Kayangan ke Poto Tano.
Perjalanan meliuk-liuk dari Poto Tano ke Dompu sejauh sekitar 287 km membuat kami nyambung untuk bicara tentang pertambangan, tentang menulis, dan tentu diselipi guyon.
Pulang dari Dompu, Senin (25/11/2024) sekitar pukul 14 WITA, kami berhenti di Kota Kabupaten Sumbawa untuk makan malam. Pilihannya di Warung makan Lamongan.
Selesai makan, kami ngobrol asyik, termasuk dengan mas Doktor Haris. Lelaki berkumis tipis yang murah senyum itu mengulang cerita tentang kebumian, sebagaimana disampaikan pada waktu pelatihan.
Mas Doktor Haris, dosen muda asal Blitar yang menempuh pendidikan dari S1 hingga S3 di Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta, ini menjelaskan bagaimana daratan itu selalu bergerak atau bergeser. Ia menjelaskan daratan Australia bergerak ke arah utara, demikian juga dengan Pulau Jawa dan Sumatera.
"Ketika merenungi mengenai keteraturan yang sangat presisi terkait pergerakan alam (Bumi) ini, saya menjadi betul-betul yakin bahwa ada Tuhan, pengatur semua ini. Ini sangat presisi," kata ayah dari seorang anak ini.
Ahli Geologi dari Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya Doktor M. Haris Miftahul Fajar (kiri) bersama Redaktur Karkhas Kantor Berita ANTARA Masuki M. Astro (kanan atas), Kepala ANTARA Biro NTB Abdul Hakim dan Karyawan ANTARA NTB M.Khaerul saat diskusi di Kantor ANTARA Biro NTB, Mataram, Selasa (26/11/2024). (ANTARA/Dok. Abdul Hakim)
Sebagaimana anak muda pada umumnya, Mas Doktor Haris juga pernah mengalami pergulatan pemikiran terkait pencarian makna hakikat tentang Tuhan.
Ia "menjumpai" Tuhan lewat ilmu mengenai Bumi yang sangat teratur. Tentu saja, perjumpaan ini bukan dalam pengertian secara fisik. Ia betul-betul menjumpai "tajalli" alias tampakan sifat kuasanya Tuhan dalam mengatur alam semesta.
Saya mengguyoni Mas Doktor Haris bahwa ketika dia merenungi secara mendalam alias tafakur terkait pola keteraturan dari Bumi, itu adalah momen dia "bersyahadat" kembali. Kami tertawa bersama.
Ia menjadi haqqul yaqin bahwa Tuhan itu memang ada. Bukan sekadar menjadi pengetahuan, sebagaimana pemahaman yang diperoleh dari pelajaran agama.
Kalau mengingat firman Allah yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad berisi perintah iqra' alias membaca, maka apa yang dijalani Mas Doktor Haris ini juga bagian dari menjalankan perintah iqra'. Dia membaca, bukan hanya tentang Bumi, tetapi apa dan siapa yang menggerakkan Bumi dan alam ini hingga kehidupan terus berjalan dengan keteraturan sempurna.
Atas hasil kontemplasinya itu, Mas Doktor Haris kemudian mengingatkan mahasiswanya bahwa mendalami ilmu tentang Bumi ini sesungguhnya sedang menyelami kekuasaan Tuhan.
Karena itu, kalau dengan belajar geologi ini, mahasiswanya masih ada yang berpikiran ateis, termasuk pilihan menjadi agnostik, maka, bagi dia, mahasiswa yang belajar tentang geologi itu ada yang "salah". Entah apanya yang salah dan dimana salahnya.
Obrolan terus mengalir. Mas Haris yang hobi mendaki gunung mengaku sering kali tidak bisa langsung menikmati indahnya gunung yang dia daki.
Pikirannya selalu terseret pada kalkulasi ilmiah, sesuai bidang keahliannya. Di gunung ini ada kandungan mineral apa, berapa potensi kandungannya dll. Itu pertanyaan yang pertama dan selalu muncul.
"Setelah pertanyaan itu terjawab, baru pikiran dan perasaan saya plong, dan mulai bisa menikmati sisi indah dari gunung itu," kata pria berusia 35 tahun ini.
Mas Doktor Haris sempat berpikir apakah ini kutukan atau anugerah. Tentu saja pertanyaan soal itu tidak bisa dikalkulasi seperti isi Bumi. Jiwa manusia lebih rumit dari isi Bumi.
Mau kutukan atau anugerah, yang jelas ia sudah "berjumpa" dengan Tuhan lewat penyelaman hingga ke dalam perut Bumi dengan segala macam kerumitan sekaligus keteraturannya yang sangat presisi.
Terima kasih Mas Doktor Haris.
Terima kasih Mas Hakim (Kepala Biro ANTARA NTB) dan teman-teman biro yang semua mengasyikkan.
Baca juga: Bukit gundul di Sumbawa memanggil penyelamat
Baca juga: Mengunjungi pulau Seribu Matahari, Seribu Bukit
*) Penulis adalah Redaktur Karkhas Kantor Berita ANTARA
Kami dipertemukan karena harus tampil dalam satu forum di pelatihan menulis feature tentang pertambangan untuk teman-teman wartawan di Kabupaten Dompu, yang diselenggarakan oleh LKBN ANTARA Biro Nusa Tenggara Barat.
Mas Haris berbicara tentang potensi mineral dan segala perhitungannya di Bumi Dompu dan Pulau Sumbawa pada umumnya.
Perjalanan dari Kota Mataram menuju Kabupaten Dompu memerlukan waktu sekitar 12 jam. Perjalanan darat terpotong oleh perjalanan laut melintasi Selat Alas dari Pelabuhan Kayangan ke Poto Tano.
Perjalanan meliuk-liuk dari Poto Tano ke Dompu sejauh sekitar 287 km membuat kami nyambung untuk bicara tentang pertambangan, tentang menulis, dan tentu diselipi guyon.
Pulang dari Dompu, Senin (25/11/2024) sekitar pukul 14 WITA, kami berhenti di Kota Kabupaten Sumbawa untuk makan malam. Pilihannya di Warung makan Lamongan.
Selesai makan, kami ngobrol asyik, termasuk dengan mas Doktor Haris. Lelaki berkumis tipis yang murah senyum itu mengulang cerita tentang kebumian, sebagaimana disampaikan pada waktu pelatihan.
Mas Doktor Haris, dosen muda asal Blitar yang menempuh pendidikan dari S1 hingga S3 di Universitas Gajahmada (UGM) Yogyakarta, ini menjelaskan bagaimana daratan itu selalu bergerak atau bergeser. Ia menjelaskan daratan Australia bergerak ke arah utara, demikian juga dengan Pulau Jawa dan Sumatera.
"Ketika merenungi mengenai keteraturan yang sangat presisi terkait pergerakan alam (Bumi) ini, saya menjadi betul-betul yakin bahwa ada Tuhan, pengatur semua ini. Ini sangat presisi," kata ayah dari seorang anak ini.
Sebagaimana anak muda pada umumnya, Mas Doktor Haris juga pernah mengalami pergulatan pemikiran terkait pencarian makna hakikat tentang Tuhan.
Ia "menjumpai" Tuhan lewat ilmu mengenai Bumi yang sangat teratur. Tentu saja, perjumpaan ini bukan dalam pengertian secara fisik. Ia betul-betul menjumpai "tajalli" alias tampakan sifat kuasanya Tuhan dalam mengatur alam semesta.
Saya mengguyoni Mas Doktor Haris bahwa ketika dia merenungi secara mendalam alias tafakur terkait pola keteraturan dari Bumi, itu adalah momen dia "bersyahadat" kembali. Kami tertawa bersama.
Ia menjadi haqqul yaqin bahwa Tuhan itu memang ada. Bukan sekadar menjadi pengetahuan, sebagaimana pemahaman yang diperoleh dari pelajaran agama.
Kalau mengingat firman Allah yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad berisi perintah iqra' alias membaca, maka apa yang dijalani Mas Doktor Haris ini juga bagian dari menjalankan perintah iqra'. Dia membaca, bukan hanya tentang Bumi, tetapi apa dan siapa yang menggerakkan Bumi dan alam ini hingga kehidupan terus berjalan dengan keteraturan sempurna.
Atas hasil kontemplasinya itu, Mas Doktor Haris kemudian mengingatkan mahasiswanya bahwa mendalami ilmu tentang Bumi ini sesungguhnya sedang menyelami kekuasaan Tuhan.
Karena itu, kalau dengan belajar geologi ini, mahasiswanya masih ada yang berpikiran ateis, termasuk pilihan menjadi agnostik, maka, bagi dia, mahasiswa yang belajar tentang geologi itu ada yang "salah". Entah apanya yang salah dan dimana salahnya.
Obrolan terus mengalir. Mas Haris yang hobi mendaki gunung mengaku sering kali tidak bisa langsung menikmati indahnya gunung yang dia daki.
Pikirannya selalu terseret pada kalkulasi ilmiah, sesuai bidang keahliannya. Di gunung ini ada kandungan mineral apa, berapa potensi kandungannya dll. Itu pertanyaan yang pertama dan selalu muncul.
"Setelah pertanyaan itu terjawab, baru pikiran dan perasaan saya plong, dan mulai bisa menikmati sisi indah dari gunung itu," kata pria berusia 35 tahun ini.
Mas Doktor Haris sempat berpikir apakah ini kutukan atau anugerah. Tentu saja pertanyaan soal itu tidak bisa dikalkulasi seperti isi Bumi. Jiwa manusia lebih rumit dari isi Bumi.
Mau kutukan atau anugerah, yang jelas ia sudah "berjumpa" dengan Tuhan lewat penyelaman hingga ke dalam perut Bumi dengan segala macam kerumitan sekaligus keteraturannya yang sangat presisi.
Terima kasih Mas Doktor Haris.
Terima kasih Mas Hakim (Kepala Biro ANTARA NTB) dan teman-teman biro yang semua mengasyikkan.
Baca juga: Bukit gundul di Sumbawa memanggil penyelamat
Baca juga: Mengunjungi pulau Seribu Matahari, Seribu Bukit
*) Penulis adalah Redaktur Karkhas Kantor Berita ANTARA