Menelusuri penyebab kekalutan remaja "Saat Menghadap Tuhan"

id saat menghadap tuhan,rudi soedjarwo,pola asuh keluarga,bullying,kekerasan seksual

Menelusuri penyebab kekalutan remaja  "Saat Menghadap Tuhan"

Suasana press screening dari film "Saat Menghadap Tuhan" yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo yang digelar di Jakarta, Rabu (29/5/2024). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Jakarta (ANTARA) - “Ketika ada yang minta tolong, kita diam saja dengan alasan itu bukan anak-anak kita,”

“Ketika ada masalah yang bisa kita selesaikan bersama, kita memalingkan muka karena itu bukan urusan kita,”

 

Pesan itu merupakan bentuk kegelisahan dari seorang sutradara bernama Rudy Soedjarwo, terhadap kondisi remaja di Tanah Air, saat ini.

Selama lebih dari 25 tahun berkarya, Rudy mengaku miris karena para remaja harus mengalami berbagai momok mengerikan, seperti perundungan, kekerasan seksual, gangguan kesehatan mental, sampai dampak atas kesalahan pola asuh dalam keluarga.

Masalah-masalah tersebut pun telah menjadi "makanan" sehari-hari yang disaksikan masyarakat di berbagai platform media sosial.

Alhasil, muncul sisi gelap dalam diri anak muda yang tak jarang menyesatkan mereka untuk mengambil sebuah keputusan yang salah, bahkan ketika masih duduk di bangku sekolah.

Sisi gelap itulah yang ingin ia tampilkan betul dalam film terbarunya, berjudul “Saat Menghadap Tuhan”.

Menampilkan empat tokoh utama bernama Damar (Rafi Sudirman), Gito (Abielo Parengkuan), Nala (Denisha Wahyuni) dan Marlo (Dede Satria), penikmat film bakal mengikuti perasaan kalut dan cara mereka dalam menghadapi masalah masing-masing.

Intinya, semua berangkat dari satu sumbu yang sama. Sumbu itu biasa kita sebut dengan nama “penyesalan”.


Perasaan terpendam

Dalam adegan pembuka, kita diajak untuk merasakan kembali suasana di sekolah yang bangunannya dapat dikatakan amat sederhana. Ada guru yang mengajar dan anak-anak duduk sambil memperhatikan.

Tak lama bel sekolah dibunyikan, sebagai tanda waktu pembelajaran usai. Masuklah adegan dimana Damar dan Gito yang merupakan teman sedari kecil, duduk di balkon atas sebuah bangunan tua sambil bermain saksofon.

Pada adegan ini penikmat film diperlihatkan betapa besar kecintaan Damar untuk menjadi pemain saksofon profesional, meneruskan jejak sang ayah yang telah meninggal dunia. Sebagai bentuk dukungan, Gito merekamnya dengan sebuah kamera kecil.

Meski menjadi sahabat, keduanya menjalani kehidupan yang jauh berbeda. Damar bisa dikatakan tumbuh dalam keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang. Walaupun karakternya digambarkan sebagai remaja yang setia kawan, senang mengamati sekitar dan peduli terhadap sesama, namun insiden mengerikan yang ia alami ketika kecil membuatnya tumbuh menjadi pemuda yang suka memendam perasaan, layaknya “bom waktu”.

Tak jarang dalam beberapa adegan kita bakal diperlihatkan perilaku ibunya yang cemas dan khawatir anaknya melakukan hal buruk tanpa diketahui.

Sementara Gito, merupakan sosokn dengan karakter yang bisa dibilang mempunyai kehidupan yang paling biasa dibandingkan teman-temannya. Ia anak yang gemar bermain kamera, selalu berada di sekitar Damar, lembut dan amat sabar.

Sayangnya, akibat tidak adanya komunikasi yang baik dengan kedua orang tuanya yang telah bercerai membuat Gito selalu merasa sendirian dan menjadi sasaran perundungan Marlo dan teman-temannya di sekolah.

Menariknya, masalah yang menimpa mereka justru mempererat persahabatan keduanya, termasuk dengan Nala, seorang anak perempuan yang merasakan kebungkaman keluarga saat ia harus menjadi korban kekerasan seksual.

Bersama dengan sang adik, Maya (Cindy Sebastiani), Nala banyak menghabiskan masa remaja yang indah dengan Damar dan Gito. Alur pertemanan yang dibumbui dengan sedikit romansa antartokoh membuat tiap adegan empat sekawan ini seperti menampilkan adanya harapan di tengah kesengsaraan.

Secercah harapan itu juga ditampilkan lewat sosok salah satu guru di sekolah, Kak Is (Alit Aryani Willems), yang berupaya melindungi para siswa lewat orasi heroiknya di kalangan guru maupun komunikasi dua arah dengan orang tua yang bersangkutan.


Kekalutan dan amarah

Bukan Rudi namanya, kalau dalam karyanya tidak menyelipkan adegan menohok dengan dialog yang kuat.

“Ketika kita yang kena musibah, dunia diam seakan itu tidak ada,” contohnya.

Kehadiran Marlo sebagai anak tunggal dari salah satu donatur terkaya di yayasan sekolahnya, membuatnya tumbuh sebagai sosok angkuh, semena-mena dengan emosi yang tidak stabil.

Sikap ayahnya yang selalu mengintimidasi serta mengecilkan kepercayaan diri Marlo, mendorongnya untuk melakukan hal serupa kepada sejumlah siswa lain. Sosok Marlo inilah yang mempertajam perasaan kalut dan amarah di dalam hati Damar maupun Gito.

Perundungan yang dilakukan oleh Marlo digambarkan dengan cara yang tepat. Sebagaimana sifat remaja yang cenderung labil, ia mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Amarah yang menguasainya mendorong untuk menyewa seorang preman untuk membunuh Damar ketika malam tiba.

Di saat yang sama, Damar dan Gito mengetahui bahwa Nala membutuhkan pertolongan, baik dari pihak berwajib maupun pendampingan secara mental. Di sini, perasaan Damar makin berkecamuk menjadi brutal.

Konflik kian meningkat, setelah Maya tidak sengaja melihat sebuah video yang direkam oleh Gito secara diam-diam. Perbuatan ini jugalah yang menguji persahabatan Gito dan Damar, setelah sekian lamanya mereka bina bersama. Sesuai dengan analogi “bom waktu”, Damar akhirnya mengambil keputusan ekstrem untuk mengulang kesalahan yang sama semasa kecil. Apalagi setelah gagal melindungi Gito dari perbuatan Marlo.

Selama pertunjukan diputar, beberapa adegan mungkin terlalu ekstrem untuk dilihat oleh penonton yang berusia di bawah 17 tahun. Hal ini dikarenakan Rudi dengan apa adanya menyorot tiap permasalahan dari jarak yang begitu dekat, seakan kita dapat merasakan ketakutan korban.

Terkait dengan audio, Rudi dan tim dari rumah produksi RexCorp memilih menggunakan alunan melodi yang ringan dan membuat pendengarnya merasakan kedekatan dengan para tokoh yang ditampilkan.

Baca juga: Film "Catatan Harian Menantu Sinting" rilis trailer
Baca juga: Film horor "Temurun", kisah tentang warisan pembawa bencana

Walaupun demikian, mereka tetap berhasil menggambarkan kepedihan yang digunakan sebagai penghias alur cerita. Begitu audio yang mencekam diputar, mereka juga berhasil dengan tegas menyuguhkan sebuah pertunjukan yang isunya layak untuk lebih banyak dibincangkan pada era ini.

Melalui film “Saat Menghadap Tuhan” kita dapat menyaksikan betul bagaimana para remaja tidak berani mengutarakan isi hatinya, bahkan sekadar untuk meminta tolong. Ketidakpedulian orang tua dan tenaga didik yang disorot dalam film akan menuntun kita pada pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab atas semua masalah ini?

Film “Saat Menghadap Tuhan”, dapat disaksikan di bioskop kesayangan anda mulai 6 Juni 2024.