Mataram (ANTARA) - Kasus tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang menampilkan narasi satir tentang pesantren dan kyai tidak bisa direduksi sebagai kekhilafan redaksi yang selesai dengan permintaan maaf formal. Peristiwa ini merefleksikan persoalan yang lebih dalam yaitu krisis etik dan struktural dalam sistem media (penyiaran) Indonesia, di mana logika korporasi telah menggeser tanggung jawab moral media penyiaran.

Dalam segmen yang menjadi kontroversi itu, tayangan membingkai kehidupan pesantren melalui diksi dan visual yang sarat sinisme. Ucapan seperti “santri minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?”, “santri mau minum susu? Ayo jalan jongkok dulu!, bukan sekadar narasi deskriptif, melainkan perangkat retoris yang mengonstruksi santri sebagai figur yang tunduk ekstrim. Sementara, narasi “Kyai yang kaya raya, tapi umat yang kasih amplop” digambarkan sebagai sosok kaya raya dan seolah mengeksploitasi kesetiaan santrinya. Framing ini merepresentasikan relasi guru–santri dengan logika ekonomi dan hierarki sosial, menghapus konteks spiritual dan adab yang menjadi fondasi pendidikan pesantren. 

Melalui reduksi makna semacam itu, media memindahkan relasi etis menjadi relasi transaksional, menilai penghormatan sebagai penindasan, dan secara tak langsung menempatkan tradisi pesantren dalam posisi inferior. Narasi tersebut bukan hanya gagal memahami konteks budaya pesantren, tetapi juga memperlihatkan cara pandang salah yang menilai kesalehan hanya dari permukaan simbol, bukan dari makna etik yang dikandungnya.

Kesalahan Trans7 bukan semata pada representasi visualnya, tetapi pada penghapusan konteks kultural dan epistemik dari tradisi pesantren. Ketika konteks dihilangkan, pesantren direduksi menjadi objek tontonan—bukan subjek pendidikan nilai dan karakter. Dalam kerangka critical discourse analysis Teun A. van Dijk (1997), bahasa dalam tayangan ini menjadi bentuk kekuasaan simbolik, ia tidak netral, melainkan mereproduksi pandangan dunia tertentu yakni pandangan yang menempatkan tradisi keagamaan sebagai irasional, kolot, feodal, dan eksploitatif. Dengan demikian, media massa tidak lagi menjadi ruang reflektif, melainkan alat produksi makna yang mengukuhkan cara pandang sepihak.

Kegagalan memahami pesantren sebagai sistem nilai dan praksis kultural menandakan hilangnya cultural competence dalam ruang redaksi. Dalam McQuail (2010), media massa seharusnya beroperasi di bawah prinsip tanggung jawab sosial yaitu memastikan bahwa kebebasan pers diimbangi oleh kewajiban etis untuk menghormati martabat, nilai, dan keragaman masyarakat. Ketika prinsip ini ditinggalkan, media massa kehilangan fungsi etiknya dan berubah menjadi mesin sensasi yang menjadikan simbol keagamaan sebagai komoditas visual.

Media massa semestinya menjadi ruang edukasi publik, bukan sekadar mesin sensasi yang memperjualbelikan emosi. Ketika Trans7 menayangkan narasi yang merendahkan lembaga keagamaan, ini menunjukkan hilangnya kesadaran etik dan tanggung jawab moral media massa. Dalam kondisi ketika logika pasar mengalahkan idealisme nilai, media massa kehilangan fungsinya sebagai institusi moral dan berubah menjadi produsen viralitas yang miskin empati. Fenomena ini menandai krisis moral industri penyiaran, ketika media massa tidak lagi berorientasi pada kebenaran dan kemanusiaan, melainkan tunduk pada logika komersial yang menyingkirkan akal sehat dan etika publik.

Dari sudut pandang ekonomi politik media (Herman & Chomsky, 1988), kesalahan Trans7 bukan kasus individual, melainkan gejala struktural dari media korporat yang dikendalikan oleh kepentingan modal. Dalam sistem penyiaran komersial, program televisi diperlakukan sebagai komoditas, sementara khalayak diposisikan sebagai produk yang dijual kepada pengiklan. Tekanan rating dan persaingan pasar mendorong redaksi lebih mengejar atensi daripada akurasi. Dalam logika ini, sensasi lebih laku dibandingkan pemahaman; konflik lebih menjual daripada kontekstualisasi. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya rasional justru dikomodifikasi menjadi arena produksi emosi massal.

Sementara itu, gerakan #BoikotTrans7 tidak bisa direduksi sebagai ledakan emosional, melainkan harus dibaca sebagai ekspresi partisipasi moral publik dalam ruang demokrasi digital. Dalam perspektif komunikasi dan ruang publik Habermas (1989), aksi kolektif ini mencerminkan munculnya kesadaran etis warga untuk menuntut akuntabilitas media massa yang dinilai melanggar batas moral dan kultural. Publik tidak lagi menjadi penonton pasif, melainkan aktor yang menegakkan norma sosial melalui affective mobilization, solidaritas emosional yang menjelma menjadi tindakan simbolik. 

Dalam konteks ini, tagar boikot berfungsi sebagai bentuk connective action (Bennett & Segerberg, 2012), di mana jejaring digital memungkinkan masyarakat mengartikulasikan perlawanan terhadap hegemoni wacana media korporat. Gerakan ini menandai kembalinya publik etis yang menuntut agar media tidak sekadar mencari sensasi, tetapi juga menghormati nilai-nilai yang membentuk kohesi sosial bangsa.

Permintaan maaf formal Trans7 tidak dapat menutup luka masyarakat yang telah tercipta. Media massa, sebagai institusi profesional, memiliki kewajiban etis untuk melakukan refleksi struktural, menjelaskan rantai tanggung jawab editorial, mengaudit bias dalam produksi konten, dan mengembangkan mekanisme ethical gatekeeping agar kasus serupa tidak terulang. Transparansi dan akuntabilitas semacam itu merupakan prasyarat dari ethical communication yang sensitif terhadap nilai dan budaya lokal.

Kasus Trans7 semestinya menjadi titik kritis untuk memperkuat komitmen terhadap prinsip media massa yang etis. Di tengah masyarakat Indonesia yang plural, media massa tidak boleh mengabaikan konteks nilai-nilai dan keyakinan yang dianut masyarakat. Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat pembentukan pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas yang menjadi fondasi kehidupan sosial bangsa. Menghapus atau menyederhanakan konteks ini sama artinya dengan menghilangkan dimensi kemanusiaan dari ruang publik.

*) Penulis adalah Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Mataram


Pewarta : Athik Hidayatul Ummah *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025