Mataram (ANTARA) - Di sebuah desa di Lombok Tengah, seorang anak perempuan berusia sebelas tahun terpaksa belajar mengenal dunia dengan cara paling kejam. Ia menjadi korban kekerasan seksual oleh orang dewasa yang seharusnya melindunginya.
Kasus seperti ini bukan lagi kisah tunggal di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam beberapa bulan terakhir, kepolisian dan kejaksaan mencatat peningkatan kasus rudapaksa terhadap anak, dengan pelaku berasal dari berbagai latar mulai dari ayah kandung, guru ngaji, tetangga, bahkan aparatur sipil negara (ASN).
Fakta itu mengguncang kesadaran kita tentang betapa rentannya ruang tumbuh anak di daerah yang dikenal religius dan berbudaya kuat itu.
Data dari laporan aparat penegak hukum di Lombok Tengah dan Lombok Timur menunjukkan sedikitnya belasan kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang 2025, dengan korban berusia antara tiga hingga lima belas tahun.
Di balik angka itu, ada trauma yang tak kasatmata, ada masa depan yang hancur sebelum sempat berkembang.
Kekerasan seksual terhadap anak bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai sosial dan moral yang selama ini dijunjung masyarakat.
Ketika ruang aman untuk anak tidak lagi terjamin, maka yang terancam bukan hanya generasi muda, tetapi juga masa depan komunitas.
Lombok, yang dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid”, kini juga menyimpan luka-luka sunyi di balik tembok rumah dan ruang kelas.
Hukum ditegakkan
Kabar baiknya, aparat penegak hukum di NTB mulai menunjukkan ketegasan. Beberapa pelaku sudah dijatuhi hukuman berat hingga 14 tahun penjara disertai denda dan restitusi bagi korban.
Penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi bukti bahwa negara hadir melindungi mereka yang paling lemah.
Kejaksaan di Lombok Tengah, misalnya, menolak segala bentuk perdamaian antara keluarga pelaku dan korban karena kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan secara damai.
Namun, penegakan hukum saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kepastian proses yang transparan dan berpihak pada korban.
Lembaga perlindungan anak menegaskan, restorative justice tidak boleh diterapkan pada kasus kekerasan seksual terhadap anak, karena tindakan itu menghapus makna keadilan dan membuka ruang bagi impunitas.
Setiap pelaku harus menerima hukuman setimpal, tanpa pandang status sosial atau jabatan.
Masalah lain terletak pada proses pendampingan korban yang masih minim. Banyak korban datang dari keluarga miskin atau lingkungan pedesaan yang belum memahami hak-hak hukum mereka.
Tak jarang, tekanan sosial membuat korban bungkam. Dalam beberapa kasus, pelaku adalah orang terdekat yang berkuasa secara ekonomi dan emosional.
Di sinilah pentingnya kolaborasi lintas sektor, yakni pemerintah daerah, lembaga sosial, sekolah, dan tokoh agama untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan yang menyeluruh, bukan hanya keadilan di atas kertas.
Perlindungan anak
Penegakan hukum yang tegas hanyalah bagian dari solusi. Akar masalah kekerasan seksual terhadap anak ada pada lemahnya sistem perlindungan sosial dan pendidikan karakter di masyarakat.
Anak-anak tumbuh di lingkungan yang belum sepenuhnya sadar akan pentingnya keamanan tubuh dan batas interaksi pribadi. Pendidikan seksualitas yang sesuai usia masih dianggap tabu, sementara pengawasan keluarga sering kali longgar.
Lombok Timur dan Lombok Tengah mulai menggagas langkah kecil dengan menguatkan sinergi antara dinas pendidikan, kepolisian, dan lembaga perlindungan anak.
Namun, upaya ini perlu didorong menjadi kebijakan yang sistematis. Pemerintah daerah harus membangun sistem deteksi dini kekerasan terhadap anak di sekolah-sekolah dan komunitas lokal.
Guru, tenaga kesehatan, dan aparat desa harus dibekali kemampuan mengenali tanda-tanda kekerasan agar penanganan bisa cepat dan tepat.
Selain itu, program literasi perlindungan anak harus menjangkau keluarga. Orang tua perlu didorong untuk menjadi benteng pertama dengan memahami bagaimana mendidik anak agar berani bicara ketika merasa tidak aman.
Kampanye publik tentang kekerasan seksual perlu dirancang dengan bahasa lokal yang membumi agar pesan pencegahan dapat diterima di semua lapisan masyarakat.
Teknologi juga bisa menjadi alat bantu. Layanan pelaporan berbasis digital yang mudah diakses, cepat, dan rahasia dapat menjadi terobosan penting untuk memutus rantai diam di kalangan korban.
Setiap laporan harus direspons oleh tim terpadu lintas sektor, dengan perlindungan identitas korban yang ketat.
Pada tingkat nasional, pemerintah perlu memperkuat implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual melalui pembentukan unit layanan terpadu di seluruh kabupaten dan kota.
Unit ini harus memiliki tenaga ahli psikologi, hukum, dan sosial yang siap mendampingi korban dari proses awal hingga pemulihan.
Pendanaan publik untuk pemulihan trauma anak korban kekerasan juga harus menjadi prioritas anggaran daerah, bukan sekadar tambahan kegiatan sosial.
Akhirnya, penegakan hukum yang tegas harus berjalan seiring dengan transformasi budaya.
Masyarakat Lombok, dengan nilai-nilai religius dan adatnya, memiliki potensi besar untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak jika mampu menghidupkan kembali semangat gotong royong dan kepedulian sosial.
Ulama dan tokoh adat dapat memainkan peran penting dalam mengubah pola pikir masyarakat bahwa kekerasan seksual bukan aib yang disembunyikan, melainkan kejahatan yang harus diungkap.
Kasus rudapaksa terhadap anak di Lombok bukan sekadar potret kriminalitas, tetapi cermin kegagalan kolektif dalam melindungi generasi penerus.
Setiap kasus yang terjadi menunjukkan bahwa kejahatan semacam ini tidak akan berhenti jika hanya direspons dengan hukuman, tanpa perbaikan sistem dan kesadaran sosial.
NTB membutuhkan keberanian baru untuk menegakkan keadilan, membangun mekanisme perlindungan yang berpihak pada korban, dan menumbuhkan budaya yang tidak lagi menoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun.
Ketika anak-anak bisa kembali bermain tanpa takut, dan ketika masyarakat tidak lagi diam terhadap kekerasan, barulah kita bisa mengatakan bahwa hukum benar-benar berpihak kepada manusia.
Sebab, dalam setiap wajah kecil yang terluka, tersimpan harapan akan masa depan yang lebih beradab. Tugas kita adalah memastikan harapan itu tidak mati di tangan mereka yang kehilangan nurani.
Refleksi
Baca juga: Tajuk ANTARA NTB - Tangis anak di Bumi Seribu Masjid