Mataram (ANTARA) - Luka sunyi perempuan di ruang digital
Pada era ketika ponsel menjadi benda yang paling sering digenggam, muncul ancaman baru yang bergerak diam-diam dan tanpa suara, namun meninggalkan luka yang panjang: kekerasan berbasis gender secara online.
Dari ruang-ruang obrolan media sosial hingga kanal rekrutmen kerja palsu, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan dieksploitasi oleh pelaku yang memanfaatkan celah digital.
Di berbagai daerah, fenomena ini kian terasa. Di Dompu, ratusan siswa SMA dikumpulkan di lapangan upacara untuk satu pesan penting, yakni waspadai kekerasan seksual di dunia siber.
Ketua TP PKK Kabupaten Dompu, Onti Farianti Bambang Firdaus, mengingatkan para remaja agar tidak terperangkap dalam jebakan media sosial yang makin liar peredarannya.
“Gunakan media sosial dengan bijak. Berani melaporkan jika mengetahui ada kekerasan,” ujarnya dalam kegiatan sosialisasi di SMAN 3 Dompu.
Kegiatan itu bukan sekadar seremoni. Ini adalah peringatan bahwa ruang digital kini menjadi ladang subur bagi bentuk-bentuk kekerasan baru seperti penyebaran foto intim, perundungan, ancaman seksual, manipulasi data pribadi, hingga pemerasan digital.
Ledakan penggunaan internet di Indonesia menciptakan paradoks. Di satu sisi, ia membuka akses informasi dan ekonomi; di sisi lain, ia memunculkan kekerasan digital yang sulit dilacak, disembunyikan di balik anonimitas akun dan enkripsi ruang privat.
Kementerian PPPA menegaskan bahwa fenomena ini bukan lagi kasus-kasus terpisah, tetapi pola yang semakin masif. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Desy Andriani, menyatakan bahwa kampanye 16 Hari Anti Kekerasan harus membuat isu kekerasan lebih terlihat ke permukaan.
“Apakah setelah 16 hari digelorakan, isu kekerasan terhadap perempuan semakin tampak? Apakah ada peningkatan kesadaran publik untuk mengambil langkah konkret?” katanya.
Faktanya, data kekerasan perempuan memang terus naik. Komnas Perempuan mencatat ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2024. Banyak di antaranya menyangkut pelecehan dan kejahatan seksual di ruang digital mulai dari modus lowongan kerja palsu hingga jebakan aplikasi.
Salah satu kasus yang mencuri perhatian terjadi ketika seorang perempuan pelamar kerja menjadi korban pemerasan. Video perkenalan yang diminta pelaku dengan kedok proses rekrutmen kemudian disalahgunakan sebagai alat ancaman.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengingatkan seluruh perempuan agar lebih waspada dalam berbagi data pribadi. “Pentingnya bersikap kritis dan tidak mudah percaya terhadap pihak yang tidak dikenal,” ujarnya.
Kasus itu hanyalah satu dari puluhan modus kekerasan digital yang terus bermetamorfosis mengikuti perkembangan teknologi.
Kesadaran baru
Di tingkat daerah, meningkatnya laporan kekerasan justru menjadi indikator positif bahwa masyarakat mulai berani bersuara.
Di Kota Mataram, Dinas PPPA mencatat sebanyak 98 kasus kekerasan perempuan dan anak yang ditangani sejak Januari sampai September 2025 itu. Kasus kekerasan perempuan dan anak yang ditangani DP3A saat ini sama dengan total kasus sepanjang tahun 2024.
"Semoga tidak ada lagi tambahan kasus. Masyarakat sudah aktif mau angkat bicara dan melapor ketika mengalami tindak kekerasan," kata Plt Kepala DP3A Kota Mataram, Yunia Arini.
Dari total kasus itu, dua di antaranya adalah kekerasan gender berbasis online, yakni penyebaran foto dan video tanpa izin. Meski jumlahnya kecil secara statistik, pakar menyebut bahwa angka itu bisa jauh lebih besar mengingat banyak korban memilih diam.
Para remaja, terutama pelajar SMP dan SMA, juga menjadi kelompok rawan karena intensitas penggunaan gawai yang tinggi. Dari laporan DP3A Mataram, bullying digital termasuk yang paling banyak dilaporkan.
Literasi digital di banyak daerah masih lemah. Meski ponsel telah menjadi kebutuhan primer, kemampuan memahami risiko keamanan digital belum sejalan.
Ketua Pokja 1 TP PKK NTB, Asri, mengingatkan para siswa di Dompu bahwa dunia siber penuh konten berbahaya. “Banyak konten kekerasan dan pornografi yang berseliweran. Karena itu, bijaklah bermedia,” ujarnya.
KemenPPPA memperjelas bahwa celah literasi ini berkaitan langsung dengan peningkatan kekerasan digital. Dalam sebuah agenda koordinasi nasional, Menteri Arifah Fauzi menegaskan bahwa penggunaan gawai yang tidak bijak adalah salah satu penyebab utama kekerasan.
“Ketika saya bertanya kepada salah satu terduga pelaku, mereka ternyata belajar dari media sosial,” katanya.
Artinya, kekerasan digital tidak hanya soal korban yang rentan, tetapi juga soal perilaku pelaku yang tumbuh dari paparan konten berbahaya.
Penegakan masih tertinggal
UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah memberi landasan kuat untuk menindak pelaku kekerasan digital. KemenPPPA bahkan telah menerbitkan enam aturan turunan sebagai panduan teknis penanganan kasus.
Namun, implementasinya masih menghadapi kendala klasik, yakni kurangnya tenaga ahli digital, minimnya fasilitas forensik siber di daerah, dan kerumitan pembuktian.
Komnas Perempuan menyebut bahwa penegakan hukum terkait kekerasan digital masih tertinggal dibanding laju kejahatannya. Anggota Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menegaskan perlunya perlindungan holistik bagi perempuan, termasuk mereka yang aktif sebagai pembela HAM di ruang digital.
“Banyak perempuan masih rentan mengalami ancaman, teror, bahkan kriminalisasi dari aktivitas advokasinya,” ujarnya.
Jika aktivis saja tidak sepenuhnya aman, apalagi perempuan biasa yang menjadi korban penyebaran foto pribadi atau pemerasan melalui media sosial.
Strategi penanganan kekerasan digital tidak bisa berhenti pada penindakan pelaku. Upaya itu harus menyentuh akar persoalan, yakni rendahnya literasi digital, kuatnya budaya diam, serta minimnya dukungan pemulihan bagi korban.
Sejumlah langkah mulai dilakukan pemerintah daerah dan organisasi masyarakat, meski cakupannya masih perlu diperluas.
Penguatan literasi digital sejak sekolah menjadi fondasi penting. Pendidikan ini tidak berhenti pada kemampuan menggunakan internet, tetapi mencakup pemahaman tentang tanda-tanda kekerasan digital, cara menjaga privasi data, dan kesadaran bahwa setiap jejak digital memiliki konsekuensi.
Melalui pendidikan yang tepat, siswa dapat memahami risiko dan lebih siap melindungi diri.
Di tingkat layanan, pengaduan 24 jam yang disiapkan sejumlah daerah menjadi jembatan pertama bagi korban.
DP3A Kota Mataram, misalnya, telah mengaktifkan nomor darurat UPTD PPA yang memungkinkan korban mendapatkan pertolongan kapan saja. Inisiatif seperti ini perlu diperluas ke kabupaten dan kota lain agar akses korban semakin mudah.
Sementara pada level nasional, layanan terpadu seperti SAPA 129 seharusnya dapat menjadi pintu cepat pelaporan kekerasan, termasuk kekerasan digital.
Namun masih banyak masyarakat yang belum mengenalnya. Sosialisasi yang lebih intensif diperlukan agar layanan ini benar-benar dimanfaatkan.
Kolaborasi pentahelix juga penting karena kekerasan digital terlalu kompleks untuk ditangani satu lembaga saja.
Pemerintah, kepolisian, sekolah, platform digital, dan komunitas perempuan perlu bergerak dalam satu irama untuk memastikan pencegahan, penanganan, hingga pemulihan korban berjalan lebih efektif.
Di tingkat paling dasar, komunitas desa memiliki peran strategis. Kader PKK, pembina posyandu, dan tokoh masyarakat dapat menjadi garda awal yang membantu korban menyimpan bukti digital, mengakses dukungan hukum, dan melaporkan kasus.
Dengan pemberdayaan yang tepat, desa dapat menjadi ruang aman pertama bagi perempuan yang terancam di dunia digital maupun di dunia nyata.
Saat perempuan terlindungi
Kekerasan berbasis gender online adalah refleksi dari wajah baru kekerasan yang tidak lagi terikat ruang fisik. Ia dapat terjadi kapan saja, oleh siapa saja, dan dampaknya kerap lebih panjang daripada kekerasan fisik yang terlihat.
Karena itu, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan bukan sekadar rangkaian acara, melainkan momentum untuk menggelorakan kembali kesadaran publik bahwa perempuan berhak merasa aman, baik di jalanan maupun di balik layar ponselnya.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah, menekankan bahwa mengembalikan ruang aman bagi perempuan bukanlah tanggung jawab semata negara, melainkan tanggung jawab semua pihak secara bersama-sama.
Kekerasan digital memang senyap, tetapi perlawanan terhadapnya tidak boleh sunyi.
Kampanye ini adalah pengingat bahwa perjuangan melindungi perempuan tidak berhenti pada 16 hari. Ia harus berlangsung sepanjang tahun, di setiap rumah, sekolah, kantor, dan ruang digital yang kita tempati bersama.
Baca juga: Membaca ulang kekerasan terhadap perempuan (Bagian 1)
Baca juga: Membaca ulang kekerasan terhadap perempuan (Bagian 2)