Mataram (ANTARA) - Tidak terasa sudah setahun lebih kami menjabat sebagai anggota DPRD kabupaten Lombok timur pasca resmi dilantik akhir tahun 2024 kemarin. Berhubung ini juga sudah akhir tahun, layaknya generasi zaman now, kami merasa ini waktu yang tepat juga untuk menyampaikan sebuah refleksi, refleksi akhir tahun melalui sebuah tulisan, meskipun sebetulnya tulisan ini hanya sebagai catatan curahan isi hati pribadi saja dalam merekam berbagai persoalan selama menjalankan tugas sebagai wakil rakyat selama kurang lebih satu tahun berjalan.

Penggunaan kata “dilematis” dalam judul tulisan ini memang terkesan sangat subjektif, karena bisa saja ada perspektif lain, tapi ini hanya sekedar istilah dalam mengungkapkan sekaligus menggambarkan situasi kompleks yang sering dihadapi penulis sendiri sebagai salah satu anggota DPRD di Kabupaten Lombok Timur: dimana di satu sisi kita harus memenuhi aspirasi masyarakat dengan cepat, sementara di sisi lain kita terikat oleh aturan, keterbatasan anggaran dan wewenang, dan tak jarang adanya benturan kepentingan politik internal maupun external. Karena berbeda dengan DPR RI yang tinggal dan ngantor di Jakarta sana, kami anggota DPRD di daerah khususnya di kabupaten/kota sebagai ujung tombak yang tinggal bersama, berbaur dan berhadapan langsung dengan masyarakat (konstituen). Sehingga masyarakat bisa menyampaikan secara langsung aspirasi, keluhan maupun curhatan berbagai persoalan kapan saja dan dimana saja, dan kitapun dituntut untuk menjawab dan bertindak dengan cepat.

Masyarakat menaruh ekspektasi besar pada DPRD mulai dari tuntutan untuk menyelesaikan persoalan personal maupun komunal, peningkatan layanan publik, transparansi, keterlibatan pengawasan di semua unsur pemerintahan mulai dari level dusun sampai kabupaten, seolah apapun masalahnya, dewan solusinya. Publik ingin hasil yang cepat dan nyata, apa yang diusulkan harus segera terlaksana, apa yg dikeluhkan harus segera terselesaikan, dan apa yang diminta harus segera ditunaikan, meskipun proses politik dan birokrasi yang harus ditempuh terkait itu semua begitu panjang dan penuh tahapan.

Akan tetapi dalam hal ini tentu kita tidak bisa juga menyalahkan masyarakat sepenuhnya karena keterbatasan literasi atau sudah tradisi dari sebelum sebelumnya, tp setidaknya itu merupakan cerminan bahwa betapa besar harapan masyarakat kepada para dewan selaku perwakilan mereka meskipun terkadang keluar dari tugas dan fungsi maupun wewenang sebagai bagian legislative dalam sebuah system pemerintahan. Dan di sinilah letak dilematisnya, Jika ditolak, dianggap tidak pro-rakyat; jika disetujui semua, bisa menyalahi aturan dan wewenang.

Masing masing tentu mempunyai pengalaman dan persoalan yang berbeda dan tulisan ini tentu tidak bisa mewakili semua. Tapi setidaknya ada beberapa hal yang hingga saat ini menurut kami seringkali menjadi kesulitan atau kendala dalam menjawab dan mengakomodir apa yang menjadi aspirasi maupun permintaan-permintaan masyarakat sehingga kadang terkesan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

1.     Antara Serapan Aspirasi dan Realitas Anggaran

      Masyarakat berharap DPRD menjadi corong utama dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Namun realitas di balik meja anggaran seringkali berbeda. Kapasitas fiskal daerah -dalam konteks ini daerah Kabupaten Lombok Timur- masih sangat terbatas, PAD masih relatif kecil dan sangat bergantung kepada dana transfer pusat; sebagian besar APBD terserap untuk belanja pegawai dan kebutuhan rutin pemerintahan sehingga ruang fiskal untuk menampung aspirasi masyarakat menjadi sempit dan terbatas.

Setiap kali anggota dewan turun ke masyarakat saat masa reses ataupun agenda lainnya, berbagai aspirasi mengalir deras: permintaan perbaikan jalan, peningkatan irigasi pertanian, perbaikan gedung sekolah, bantuan modal usaha, bansos, dan yang hampir wajib adalah permintaan fasilitas perangkat banjar, semacam wireless, terop, perabot dan sebangsanya. Dan semua itu bersifat materi yang tentunya menyangkut anggaran, dan semuanya mau tidak mau harus ditampung dan segera ditunaikan. Sehingga terlalu banyak turun berimplikasi kepada banyaknya janji yang harus ditunaikan yang secara otomatis berakibat pada potensi adanya janji yang tidak terpenuhi.

Di satu sisi ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki harapan besar terhadap wakilnya meskipun di balik harapan itu, terselip persoalan lain yang terus menghantui peran DPRD: antara memenuhi aspirasi publik dan menjaga konsistensi terhadap aturan, prioritas pembangunan, serta keterbatasan anggaran daerah. DPRD pun berada dalam posisi dilematis: menolak aspirasi rakyat berarti dianggap tidak peka, sementara menyetujui semua usulan tanpa dasar teknis justru bisa menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Situasi ini sering mengemuka bahkan kadang menimbulkan ketegangan dalam pembahasan anggaran tahunan antara eksekutif dan legislatif.

Memang ada dana Pokir (Pokok Pikiran) yang bisa dialokasikan oleh masing-masing anggota dewan, tapi dengan keterbatasan anggaran hari ini dan dengan banyaknya permintaan masyrakat itu sangat jauh dari cukup. Dan proses prosedur maupun waktu pengalokasian dana Pokir ini tetap menjadi wewenang eksekutif melalui OPD masing-masing, ini yang terkadang juga sering disalah artikan seolah dana Pokir ini langsung didistribusi anggota dewan yang bersangkutan. Tapi urusan pokir-memokir ini nanti kita bahas di lain kesempatan.

2.     Dinamika Politik dan Benturan Kepentingan

Sebagai lembaga politik, DPRD juga tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan partai dan kelompok, internal maupun external. Ada kalanya keputusan strategis lebih dipengaruhi oleh konstelasi politik ketimbang pertimbangan substansi kebijakan, dan ini merupakan sebuah keniscayaan karena bagaimanapun anggota DPRD merupakan “utusan” dari Partai Politik.
Anggota DPRD pun sering berada di persimpangan antara mengikuti garis fraksi (internal partai) dengan koalisi lintas partai dalam menyepakati sebuah kebijakan maupun penganggaran, meskipun kadang ini hanya persoalan prioritas mana yang harus didahulukan dan mana yang ditangguhkan dulu.

Kondisi ini tentu menimbulkan tekanan moral dan politik yang tidak ringan karena menyangkut tentang perbedaan kondisi sosial politik dan kebutuhan di daerah pemilihan masing-masing, dan hal ini tidak jarang menimbulkan tuduhan anggota dewannya tidak bisa mengakomodir aspirasi masyarakatnya. Lebih rumit lagi, sebagian masyarakat menilai kinerja DPRD dari seberapa besar “bantuan proyek” yang bisa mereka salurkan di daerah pemilihan masing~masinng, bukan dari seberapa kuat fungsi pengawasan dan legislasi dijalankan. Padahal, ukuran keberhasilan DPRD sejatinya bukan pada besarnya proyek, melainkan pada sejauh mana kebijakan daerah dikawal agar benar-benar berpihak pada masyarakat dan sampai kepada masyarakat. Sebagian masyarakat masih menganggap DPRD sebagai lembaga pengambil keputusan tunggal dan penguasa anggaran atau “penyambung aspirasi proyek”, bukan sebagai institusi yang berperan strategis dalam perencanaan kebijakan secara kolektiv.

3.     Transparansi dan Framing Sosial

Di era digital ini arus informasi begitu cepat tersebar luas meskipun kadang tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi politik yang sesungguhnya, bahkan terkadang informasi yang beredar tidak seusai dengan kenyataannya. Publik kini lebih kritis, mudah mengakses informasi, dan cepat menilai kinerja wakilnya walau hanya lewat dunia maya. DPRD dituntut untuk lebih terbuka, akuntabel, dan komunikatif dalam setiap proses pembahasan kebijakan maupun program yang diturunkan. Namun keterbukaan ini juga menjadi pedang bermata dua: di satu sisi meningkatkan kepercayaan publik, di sisi lain membuka ruang bagi salah tafsir atau politisasi isu oleh oknum tertentu. Membuka semua proses berisiko disalahpahami atau dipelintir sementara menutup sebagian dengan alasan prosedural berisiko dianggap tidak transparan.

Terlalu terbuka juga kadang menimbulkan kecemburuan sosial dalam pelayanan. Ketika menurunkan bantuan dan mendokumentasikan kegiatan di wilayah/desa tertentu bisa berakibat kecemburuan bagi wilayah/desa lainnya. Wilayah/desa A diberikan bantuan, sementara wilayah/desa B tidak mendapatkan bantuan, begitu seterusnya. Padahal ini hanya persoalan waktu saja.

Resiko menjadi pejabat public memang demikian adanya, menjadi sorotan. Tapi terkadang seperti diintip dan dicari-cari kesalahan, keseleo sedikit bisa langsung diframing dan ancamannya, diviralkan. Public seperti gampang sekali tersulut hanya dengan konten-konten medsos yang belum tentu kebenarannya kadang bahkan yang tidak sesuai konteksnya. Yang joget-joget di pusat, kami di daerah ikut didemo berjilid-jilid, bahkan sampai disumpak senak. Beberapa hal tersebut yang kadang membuat kami tidak leluasa “berimprovisasi” dalam hal berkegiatan dan cenderung lebih hati-hati dalam mendokumentasikan kegiatan.

Proyeksi

Adanya refleksi, tentu mensyaratkan adanya sebuah proyeksi. Menghadapi situasi “dilematis” ini bukanlah diartikan sebagai kesalahan atau penyesalan tapi lebih kepada acuan untuk terus  memperkuat kapasitas secara personal maupun kelembagaan agar lebih baik lagi kedepannya di tahun-tahun berikutnya. Aspirasi masyarakat harus diolah menjadi data kebijakan yang rasional, bukan sekadar daftar permintaan.

Selain itu, perlu juga ditingkatkan budaya komunikasi publik yang aktif antara anggota dewan dengan masyarakat dalam setiap kesempatan, formal maupun nonformal, untuk memberikan pemahaman dan menjelaskan kepada masyarakat apa yang sedang diperjuangkan, apa kendalanya, dan apa yang menjadi kewenangan lembaga legislatif beserta batasan~batasannya. Dengan begitu, harapan kami kepercayaan publik bisa tumbuh dari pemahaman yang utuh, bukan dari ekspektasi berlebihan yang keliru.

Sebagai penutup, dilema DPRD dalam menjawab harapan publik sejatinya mencerminkan tantangan demokrasi lokal yang sedang tumbuh. Masyarakat berhak berharap setinggi-tingginya, dan kami di DPRD selaku wakil masyarakat (rakyat) tentunya wajib menjawab dan mengakomodir harapan tersebut. Namun jawaban yang paling dibutuhkan bukan sekedar janji, melainkan keberanian untuk bersikap jujur, rasional, dan berpihak pada kepentingan jangka panjang yang tentunya sesuai undang undang. Karena kami sadar, dengan segala keterbatasan tentu tidak semua harapan itu bisa terpenuhi, tapi setidaknya ada upaya maksimal dalam mencari solusi. Dan harapan kami, kepercayaan masyarakat terhadap DPRD tidak tumbuh dari banyaknya janji yang terpenuhi, melainkan dari integritas, kapasitas, transparansi, dan keberanian politik sesuai dengan tupoksinya dalam rangka menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Dengan begitu, kedepannya kita berharap tidak ada lagi kita dengar istilah “RAOS CALEG” dalam menggambarkan atau mengistilahkan sesuatu yang tidak terpenuhi.

Wallahua’lam…

Selamat Tahun Baru 2026…

Terara, 31-12-2025

*) Penulis adalah Anggota DPRD Lombok Timur dari Partai Persatuan Pembangunan


Pewarta : Saeful Bahri *)
Editor : Abdul Hakim
Copyright © ANTARA 2025